Tangisan yang terdengar pilu, memecah keheningan bilik toilet perempuan. Nadira terus menghapus air matanya yang dengan senang hatinya terus terjun menciptakan titik-titik basah pada rok abu-abu Nadira.
"Aku ingin melawannya, akan tetapi sangat sulit untuk kulakukan," gumam Nadira, yang seakan menyadari kelemahannya.
Tidak pernah ada yang memperhatikan mata sembab Nadira saat gadis tersebut keluar dari toilet. Sesungguhnya Nadira sangat ingin ada seseorang yang memberikannya perhatian, walau hanya sekadar basa-basi mungkin itu akan lebih menyenangkan hatinya karena kehadirannya dihargai. Namun, kenyataannya adalah nihil, tidak ada yang memberikan basa-basi itu. Jangankan untuk sebuah basa-basi, bahkan Nadira tidak pernah mendengar seseorang menyapanya saat berpapasan.
Duduk di bangku taman, seraya menyibak tiap lembar halaman buku novel yang dibacanya. Hanya novel teman sejatinya, lalu bagaimana dengan Farhan? Sebenarnya Nadira tidak begitu menganggap kesediaan Farhan menjadi sahabatnya dengan sungguh-sungguh. Baginya, manusia adalah makhluk yang mudah datang dan mudah pergi walau tanpa ada alasan dibaliknya. Lalu tentang Farhan, Nadira menganggap lelaki tersebut sama dengan ungkapannya.
"Hai," sapa seseorang, yang tanpa sengaja menghentikan kegiatan Nadira menuju alam penuh ilusi dalam novel.
Nadira menurunkan buku novel yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Gadis tersebut mendapati Farhan telah tersenyum lebar seraya menatapnya dengan binar yang jelas. Nadira juga melihat Farhan membawa sebungkus roti dan satu botol air mineral bersamanya.
"Tidak makan?" tanya Farhan.
"Tidak." Geleng kepala Nadira, nyatanya semakin melebarkan lengkungan pada bibir Farhan.
"Kalau begitu, kita makan roti ini berdua," usul Farhan, sembari menyibukkan tangannya untuk membuka bungkus roti, lalu membagi roti tersebut menjadi dua, untuk diberikannya satu pada Nadira.
"Temani aku sarapan, ya," sambung Farhan, seraya menyodorkan separuh roti yang dibelinya kepada Nadira.
"Kamu belum sarapan? Kalau begitu, kamu habiskan saja semuanya." Nadira sebenarnya enggan menerima roti yang diberikan Farhan untuknya. Mendengar lelaki di sampingnya telah melewatkan makan paginya, Nadira tidak ingin Farhan membagi roti hanya untuk dirinya.
"Aku tidak berselera menghabiskan roti ini sendirian," tutur Farhan. "Lagi pula aku sudah mencuci tangan sebelum memegang roti ini," sambungnya, berusaha meyakinkan Nadira.
Nadira menerima roti pemberian Farhan untuk menyenangkan lelaki tersebut, dan benar saja, Farhan dengan lahap memakan separuh roti yang dimilikinya saat melihat Nadira ikut memakan separuh roti yang diberikannya. Mereka berdua lekas menghabiskan satu roti yang dibagi menjadi dua tersebut, lalu meminum air mineral yang telah dibeli oleh Farhan.
Sinar matahari tidak begitu terik, hanya menghangatkan dan itu sangat nyaman untuk Nadira. Berbincang berdua bersama Farhan untuk menghabiskan waktu istirahat, ternyata mampu menghapus kesedihan Nadira pada hari itu. Mendengar kelakar Farhan yang tiada henti, membuat Nadira memiliki alasan untuk tertawa. Hari itu sangat menyenangkan, bersama Farhan adalah hal yang menyenangkan, dan Nadira bersyukur untuk itu.
...----------------...
Berita di televisi yang sering menayangkan perihal bencana meletusnya Gunung Merapi hingga menyebabkan tiga ratus lima puluh tiga korban meninggal dunia, cukup membuat resah para pendengarnya. Ada yang turut bersedih membayangkan nasib sanak saudara mereka yang mungkin ada di sana. Ada juga yang bersedih walau tanpa ada sanak saudara mereka di tempat kejadian tersebut, karena anggapan orang seperti itu adalah semua yang terlahir di tanah Nusantara adalah saudara mereka.
Nadira turut merasakan kesedihan yang serupa, walau tidak ada saudaranya di sana. Membayangkan berapa banyak hati yang patah saat orang tersayang mereka dinyatakan sudah tak bernyawa. Membayangkan betapa pilunya tangisan anak-anak saat mendapati kedua orang tua mereka mungkin telah berpulang pada pelukan Sang Maha Kuasa. Masih banyak syukur yang dapat Nadira lantunkan untuk berterimakasih atas segala nasib baiknya jika dibandingkan dengan orang-orang di lokasi kejadian.
"Berkumpulnya kita di sini adalah untuk merancang program kerja yang sasarannya untuk para korban bencana alam meletusnya Gunung Merapi," ucap Sang Ketua Osis untuk mengutarakan maksud dan tujuannya mengumpulkan para anggota Osis.
"Kami meminta sebanyak-banyaknya usulan untuk dipertimbangkan demi memberikan yang terbaik untuk saudara kita di lokasi bencana alam," sambung Wakil Ketua Osis.
"Naufal, aku akan menjadi yang pertama mengutarakan usulanku," ucap Kesya dengan girang, dan langsung mendapat perhatian dari Sang Ketua Osis.
Naufal adalah nama dari Sang Ketua Osis, lelaki tersebut sangat berwibawa dan layak memegang jabatannya sebagai Ketua Osis SMA Cakra Buana. Kesya yang begitu mengidolakan Naufal sejak pertama kali dirinya mengenal Naufal saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, tidak pernah kehabisan akal untuk mencari perhatian dari Sang Ketua Osis tersebut.
"Katakan," pinta Naufal dengan serius, karena program kerja tersebut ia rancang dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita mengadakan bakti sosial, dengan menarik sumbangan di lingkungan sekolah kita untuk menjadi langkah yang pertama, lalu disambung dengan melakukan hal yang serupa di lingkungan masyarakat sekitar," ucap Kesya dengan lugas mengutarakan usulannya.
"Baik, dapat dimengerti. Lalu untuk mengadakan bakti sosial di lingkungan masyarakat, kita akan melakukannya dengan cara seperti apa?" tanya Naufal.
"Untuk di lingkungan masyarakat, kita dapat mendatangi rumah-rumah, atau meminta bantuan RT setempat, serta mengadakannya di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, atau yang lainnya," jawab Kesya.
"Bagaimana apa ada yang bisa menambahkan?" Naufal kembali bertanya.
Hanya hening yang didapatkan Naufal dari pertanyaannya. Ditatapnya satu-persatu para rekan organisasinya. Ada yang bungkam menundukkan kepalanya, ada yang pura-pura berpikir, ada yang pura-pura menulis, dan ada yang pura-pura berdiskusi. Naufal hanya memperhatikan para rekannya selama sepuluh menit dengan harapan akan mendapatkan usulan selanjutnya. Namun semua itu kosong, kenyataannya memang mereka semua hanya berpura-pura, hingga tatapan Naufal akhirnya tertuju pada gadis berkacamata yang menundukkan kepalanya di bangku paling sudut.
"Kamu, yang duduk di sudut." Suara Naufal memecah keheningan, membuat Nadira yang merasa terpanggil mendongakkan kepalanya.
Banyak yang mengucapkan syukur dalam hati karena akting mereka dalam berpura-pura sibuk, akhirnya berhasil. Sebenarnya tidak ada yang melintas di benak mereka hingga berpura-pura sibuk dijadikannya sebagai jurus paling ampuh untuk terhindar dari pertanyaan sulit yang dilontarkan Naufal.
"Saya?" Tunjuk Nadira pada dirinya sendiri.
"Iya, kamu." Naufal mengangguk. "Nadira, saya minta usulan kamu untuk program kerja Osis kali ini," sambungnya.
Dengan ragu-ragu dan kecanggungan yang besar hinggap dalam dirinya, Nadira tetap memberanikan diri untuk mengutarakan usulan yang terpendam dalam otaknya sejak awal. "Usulan saya adalah dengan mengadakan sebuah pameran seni," ucapnya, disambut gelak tawa dari Kesya dan kedua temannya.
"Pameran seni? Naufal, usulan itu sama sekali tidak masuk akal. Kita membicarakan tentang bencana alam, tapi dia justru ingin mengadakan pameran. Kita membahas rencana untuk ajang belasungkawa, bukan ajang untuk mencari apresiasi," sanggah Kesya dengan cepat.
"Diam, Kesya! Kita bisa dengarkan dulu maksudnya," tegas Naufal. "Lanjutkan, Nadira," sambungnya memberi kesempatan Nadira untuk menjelaskan.
Nadira mengangguk mantap, sebelum melanjutkan penjelasannya. "Diingat salah tujuan pameran adalah untuk ajang sosial kemanusiaan, kita dapat kaitkan tujuan ini dengan topik pertama kita. Kita akan mengadakan pameran, yang akan melibatkan banyak sekolahan di dalamnya. Lalu hasil dari penjualan karya yang kita peroleh akan kita alokasikan untuk para korban bencana alam," paparnya.
"Itu hanya akan membuang-buang waktu saja!" sanggah Kesya dengan cepat.
"Jangan hiraukan dia, lanjutkan saja, Nadira," ucap Naufal, yang tampak mulai tertarik dengan usulan Nadira.
"Yang ingin saya dapatkan dari rencana ini bukanlah besaran anggaran yang akan kita peroleh. Melainkan dari kesungguhan para generasi muda untuk membantu para korban bencana alam. Di sini bukan hanya kita yang akan berperan penting, melainkan akan ada banyak siswa dari banyak sekolahan, dan juga para kolektor serta pengunjung yang berkenan membeli karya para seniman muda kita." Dengan bersemangat Nadira kembali memaparkan maksudnya.
"Beri tepuk tangan untuk Nadira," ucap Naufal, yang disambut oleh tepuk tangan dengan antusias dari para rekan-rekan organisasi.
Nadira merasa tersanjung dengan apresiasi yang diberikan Naufal atas usulannya. Gadis tersebut tidak menyangka jika idenya akan mendapat tepuk tangan meriah dari rekan organisasinya. Namun kebahagiaan tersebut mendadak sirna, saat melihat tatapan tajam Kesya yang seperti hendak menelannya hidup-hidup.
"Baiklah terima kasih, Nadira. Jika program kerja yang kamu usulkan tadi mendapat persetujuan dari Kepala Sekolah, maka kamu harus siap-siap sibuk mempersiapkan rencana ini dengan saya," pesan Naufal, dibalas anggukan oleh Nadira.
"Terima kasih juga untuk semuanya, kehadiran kalian sangat berarti untuk kesuksesan organisasi kita," sambung Naufal. "Kalau begitu saya tutup rapat ini, dan kalian dapat kembali ke rumah masing-masing, sekarang," lanjutnya.
Meja rapat mulai ditinggalkan oleh para empunya. Nadira juga ikut keluar dari ruang Osis tersebut dengan langkah cepat untuk segera pulang, dengan tujuan agar terhindar dari amukan Kesya yang mungkin akan diberikan untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Kak Icha
Semoga sukses Thor Niffi 🥰
2022-07-23
0
Kymilla Cania Juita
Semangat Thor
2022-03-31
0
Alitha Fransisca
Lanjut Thor semangat!!!
2022-03-13
1