Wei duduk di depan cermin lonjong yang besar. Di kayu tepian cermin terdapat ukiran bunga krisan. Sepertinya bunga krisan adalah ciri khas dari kediaman permaisuri. Sejak Wei menginjakkan kakinya di kediaman permaisuri, dia disuguhi dengan ukiran bunga krisan yang ada dimana-mana.
Dua orang pelayan kini sedang membersihkan wajah Wei dengan ramuan kecantikan. Entah apa namanya, yang pasti saat ini Wei merasakan sensasi dingin di wajahnya. Seolah saat ini wajahnya sedang di terpa oleh bongkahan salju.
"Ini adalah ramuan kecantikan khusus dibuat untuk permaisuri. Setiap minggu para pedagang pilihan akan datang ke istana untuk mengantarkan ramuan kecantikan ini. Mereka berkata jika ramuan kecantikan ini bisa membuat wajah menjadi lebih segar dan bersih sempurna. Mereka juga berkata jika ramuan kecantikan ini dibuat dengan bahan utamanya yaitu daun mint." jelas Kilin sambil memperhatikan wajah Wei dari cermin.
Wajah yang tadinya kotor itu sudah bersih setelah dia mandi. Membuat mereka terkejut dan masing-masing berkata dalam hati 'Ternyata gadis ini tidak jelek'.
"Kalian pakailah juga, aku tidak ingin menikmati ini sendirian." ucapan Wei barusan membuat mereka semua terkejut. Lantas para pelayan langsung bersujud di lantai dan Kilin berlutut. Hal itu membuat Wei kebingungan. Dia merasa tidak ada yang membuat kesalahan, lalu kenapa mereka semua bersujud?
"Kami tidak pantas memakai apa yang dipakai calon permaisuri! Mohon ampuni kami, calon permaisuri!"
"Mohon ampuni kami..."
"Ah, jadi itu masalahnya? Aku hanya ingin kalian merasakan apa yang aku pakai. Apa kalian lupa aku berasal darimana? Jika hanya aku yang merasakannya, itu benar-benar tidak adil." suara lembut itu seolah menyihir hati semua wanita yang sujud di lantai.
Mereka semua mulai membandingkan sikap Wei dengan para putri bangsawan. Mereka tidak pernah di perlakukan selembut itu. Meskipun Wei anak dari budak miskin, seharusnya gadis itu menikmati kemewahan yang baru dia rasakan. Tapi kenapa gadis itu memilih untuk berbagi? Selembut itukah hati calon permaisuri yang akan mereka urus ini?
"Apa istana memang menakutkan sehingga kalian selalu sujud di lantai walaupun tidak melakukan kesalahan?" Wei membantu satu-persatu pelayannya untuk berdiri. Meskipun mereka terkejut tapi tidak ada yang berani membantah.
Sedari tadi Wei menunggu jawaban dari semua orang yang ada di depannya, tapi tidak ada yang berani membuka suara. Wei yang mengerti itu hanya tersenyum. Iya, sepertinya istana memang menakutkan. Mulai sekarang dia harus berhati-hati agar tidak membuat kesalahan fatal.
Wei mengambil mangkuk berisi ramuan kecantikan, kemudian dia mengoleskan ramuan itu ke wajah Kilin. "Jangan menolak," ucap Wei tidak ingin di bantah.
Perempuan setengah tua itu mulai memejamkan mata saat sensasi sejuk memijat wajahnya. Kulit wajahnya yang dulu sangat kasar itu menjadi kencang dan mulus. 'Sebegitu hebatkah ramuan kecantikan ini?' batinnya.
Setelah selesai mengoleskan ramuan kecantikan itu kepada Kilin, Wei tersenyum puas. "Bukankah ramuan kecantikan ini membuat kulit wajah nyaman?"
"Nyaman sekali, calon permaisuri." ucap Kilin langsung membuatnya gagap seketika. Dia kemudian menundukkan kepala. "Maafkan kelancangan hamba, calon permaisuri." Gadis itu tidak menanggapi dan hanya sedikit tertawa.
"Kalian semua pakailah ramuan kecantikan ini. Maaf karena aku tidak bisa memakaikan ke kalian satu persatu." Wei memberikan ramuan kecantikan itu kepada pelayan yang tadi mengoleskan ramuan itu ke wajahnya.
"Terima kasih atas kemurahan hati calon permaisuri!"
Wei tersenyum seraya berjalan menuju tempat tidur. Dia duduk disana sambil memperhatikan para pelayan saling memakaikan ramuan kecantikan di wajah mereka. Hatinya menghangat, merasa senang karena berhasil membuat orang-orang di sekitarnya bahagia.
Anehnya Wei tidak merasa miliknya di ambil. Melihat tawa para pelayan saat memakai ramuan kecantikan itu membuat Wei ingin melakukan hal yang lebih lagi. Jika bisa setiap hari dia akan membuat para pelayannya bahagia seperti ini.
"Jam berapa sekarang, dayang?" tanya Wei saat Kilin sudah berada di hadapannya.
"Sekarang jam sembilan, calon permaisuri."
"Apa aku boleh pergi ke paviliun? Sejak tadi aku ingin menikmati keindahan kediaman permaisuri."
"Tentu saja boleh, calon permaisuri. Hamba akan mempersiapkan pakaian calon permaisuri terlebih dahulu. Di luar dingin, permaisuri harus memakai pakaian yang lebih tebal."
***
Wei memakai gaun polos warna ungu dengan jaket panjang tebal warna putih. Dia kini sedang berjalan di jembatan untuk menuju paviliun. Memang benar jika udara sangat dingin, sedari tadi dia terus mengeratkan jaket di tubuhnya.
Di depannya ada Kilin yang berjalan sambil membawa lentera, sedangkan di belakangnya ada 25 pelayan yang mengikutinya.
Mata Wei benar-benar di manjakan saat melihat ke sekeliling. Danau buatan itu seperti danau asli dengan banyak bunga teratai di permukaan airnya. Wei juga baru tahu jika saat malam di danau buatan ini akan di beri lampu. Hal itu memudahkan untuk melihat apa yang ada di dalam air. Langit malam ini juga bersahabat. Bintang-bintang memenuhi langit dengan bulan bulat sempurna yang bersinar paling terang.
Sampailah mereka kini di paviliun yang berbentuk bulat dengan banyak ukiran bunga krisan. Di lantai paviliun itu terlukis bunga krisan besar. Naik ke lantai 1, Wei di suguhi dengan banyak meja kecil untuk satu orang yang semuanya berwarna putih. Dia juga melihat ada alat untuk menyulam di dekat tangga. Naik ke lantai 2, Wei disuguhi dengan banyaknya alat musik berwarna-warni. Naik ke tingkat 3, lantai paling atas, Wei disuguhi dengan alat untuk melukis. Di dinding juga terpajang banyak lukisan.
"Paviliun ini benar-benar sangat indah." puji Wei yang kali ini berjalan ke dinding pembatas lantai 3 untuk menikmati keindahan kediaman permaisuri.
Dari lantai tiga, terlihatlah berbagai keindahan di kediaman permaisuri. Masing-masing di atap terdapat gambar bunga krisan juga lampu-lampu kecil yang menerangi di sekitarnya. Dia juga melihat pohon bunga krisan yang diberi lampu. Benar-benar pemandangan yang indah dan juga memanjakan mata.
"Aku pikir kau kabur diam-diam." seru Fengying yang baru tiba di lantai 3.
Wei terlonjak kaget dan langsung membungkukkan badannya diikuti oleh Kilin. "Kami memberi hormat untuk kaisar."
Fengying berdehem, kemudian berjalan mendekati Wei. Dia sedikit terpana melihat kecantikan wajah Wei. Sungguh dia memang menemukan berlian di lumpur.
"Tinggalkan kami berdua," perintah Fengying yang langsung dilaksanakan Kilin.
Sepeninggal Kilin, Fengying mendudukkan Wei di kursi. Disana hanya ada satu kursi dan meja karena memang lantai itu khusus untuk melukis saja.
Wei merasa tidak enak saat dirinya harus duduk di kursi sedangkan Fengying kini duduk di atas meja, tepat di depannya.
"Hamba sangat lancang jika duduk di kursi ini, kaisar. Biarkan hamba berlutut di lantai untuk memberi hormat pada kaisar." Wei akan berdiri, namun Fengying langsung menahannya. Matanya yang lembut itu menatap Wei dalam, membuat gadis itu segera menundukkan kepalanya.
"Saat aku melihatmu, aku seperti menemukan berlian di dalam lumpur. Kau sangat berharga, Wei." tutur Fengying dengan lembutnya seraya menyelipkan anak rambut ke daun telinga Wei.
Jantung Wei berdetak dengan cepat, kedua pipinya bersemu merah. Perasaannya saat ini campur aduk apa lagi saat Fengying mengucapkan namanya dengan lembut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments