"Sayang... Hari ini kau terlihat sangat cantik. Lebih cantik dari wanita mana pun yang pernah Mama kenal. Mama benar-benar beruntung memiliki menantu seperti diri mu. Uppsss, bukan menantu, tapi putri." Ucap Mama Riska meralat ucapannya. Beliau memeluk ku sangat erat.
Aku rasa Mama Riska tidak berbohong, hal itu terlihat dari raut wajah beliau. Wajah beliau memamerkan senyuman menawan, tidak ada sikap arogan atau pun kekesalan dalam setiap tindakan yang beliau perlihatkan.
Sejujurnya aku yang lebih bersyukur mendapatkan ibu mertua seperti Mama Riska. Sejauh yang ku tahu, beliau sosok berhati tulus, tidak pernah membedakan antara si kaya dan si miskin. Namun satu hal yang pasti, saat beliau marah beliau terlihat seperti Singa betina yang akan menerkam mangsanya, aku rasa hanya alasan itu yang mas Araf punya karena itulah dia tidak berani menentang Mama Riska.
"Kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri, apa Araf bersikap baik padamu? Jika dia berani mengganggumu, katakan pada Mama, Mama berjanji Mama akan mematahkan lengannya untuk mu. Kau mengerti?"
Mendengar ucapan Mama Riska membuatku merasa tenang. Aku tersenyum sambil mengagguk pelan.
"Mama apaan, siihhh! Mama pikir putra Mama ini pria macam apa? Aku tidak akan melakukan hal yang akan membuat ku terlibat dalam masalah. Jika aku sampai mengganggu menantu Mama ini, apa Mama pikir aku akan membawanya ketempat ini?"
Mama Riska yang mendengar ucapan mas Araf hanya bisa menatap putranya itu dengan tatapan selidik. Aku yakin Mama Riska belum sepenuhnya percaya pada putra kesayangannya.
"Mbak Riska, ternyata menantumu sangat cantik. Aku pikir dia akan memakai pakaian selutut seperti wanita sebelumnya, ternyata..."
Aku terdiam sambil menatap wanita yang seusia dengan Mama Riska itu. Mendengar ucapan spontannya, aku hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Mas araf dengan tatapan tak mengerti.
Apa Mas Araf memiliki seseorang di dalam hatinya? Mungkin saja, bahkan jika itu benar, bagiku itu bukan masalah besar. Masa lalu hanya-lah masa lalu. Aku bergumam di dalam hati sambil tersenyum tak terlalu perduli.
Berbeda dengan Mama riska, beliau langsung menutup mulut wanita itu dengan tangan kanannya. Tatapannya setajam belati, seolah mempringatkan agar wanita itu tak perlu mengatakan omong-kosong lagi.
"Jangan hiraukan ucapannya, nak. Dia hanya mengucapkan omong-kosong saja. Iya kan, Araf?" Ucap Mama Riska sambil mencubit lengan Mas Araf.
"Tidak apa-apa, Ma. Walau itu benar, itu bukan masalah besar." Guyon ku sambil menatap Mama Riska yang saat ini terlihat gagap.
"Tante, untuk apa mengenang masa lalu? Aku juga sudah melupakan segalanya." Ujar mas Araf dengan nada bicara ketus, setelah itu ia meninggalkan kami bertiga. Berjalan menuju anak tangga lantai dua.
"Sayang, ikuti suami mu. Kalian bisa istirahat."
"Iya, Mam." Balas ku, pelan.
Sedetik kemudian aku mulai berjalan meninggalkan Mama Riska dengan wanita itu, wanita yang baru saja bicara soal masa lalu mas Araf.
"Apa kau tidak waras? Untuk apa kau bicara seperti itu di depan istri Araf? Bagaimana jika dia kesal karena masalah itu? Mbak benar-benar tidak habis pikir kalau kau akan mengatakan semua omong-kosong itu."
Aku menghentikan langkah kakiku begitu mendengar omelan Mama Riska, aku tidak pernah tahu kalau Mama Riska punya saudara perempuan. Sekarang aku baru menyadari, ternyata aku tidak tahu apa pun soal Mas Araf dan anggota keluarganya yang lain.
...***...
Tok.Tok.Tok.
Suara ketukan yang bersumber dari daun pintu membuatku tersentak, entah sampai mana imajinasiku akan membawaku menuju masa lalu, masa lalu yang selalu membuatku merasakan kehangatan jika aku mengenangnya tanpa sengaja.
"Masuk!" Ucapku dengan nada suara keras. Tak butuh waktu lama, sepersekian detik kemudian paras ayu Sabina terpampang dengan jelas setelah pintu terbuka sempurna.
"Apa aku boleh masuk?"
Mendengar pertanyaan Sabina membuatku ingin mengelus dada.
"Masuk saja! Ini juga kamar mu." Balasku singkat sambil menatap Sabina yang saat ini berdiri di depan pintu. Dia terlalu sopan, jika itu orang lain pasti mereka akan menerobos masuk.
"Apa kau butuh sesuatu? Katakan saja! Aku akan meminta Mbok membawakan apa pun yang kau butuhkan."
"Tidak, terima kasih." Ucap Sabina cepat.
"Aku tidak butuh apa pun." Sambung Sabina lagi. Ia masuk kemudian duduk di sofa, ia duduk sambil melepas kaos kakinya.
"Aku harap kau tidak akan memikirkan ucapan tante Dinda, dia hanya mengatakan omong-kosong saja." Ucapku menjelaskan. Aku menatap wajah cantik Sabina sambil berjalan mendekati sofa tempat duduknya.
"Jangan hiraukan aku, bukankah mas Araf bilang kita tidak akan terlibat dalam urusan pribadi masing-masing? Aku tidak akan terlibat, tenang saja."
Glekkkkk!
Aku hanya bisa menelan saliva mendengar ucapan Sabina, aku ingin menjelaskan segalanya tapi dia sudah mendahului ku dengan ucapan tegasnya.
Ku akui, itu memang kesalahanku karena aku sendiri yang mengatakan itu padanya, entah kenapa mendengar ucapan Sabina rasanya ada perasaan sedih yang membelai lubuk hati terdalamku. Ada yang salah dengan ku? Aku sendiri tidak tahu jawabannya.
"Aku mau kekamar mandi, sholat kemudian istirahat. Apa aku bisa melakukan itu?"
"Untuk apa minta izin? Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan!" Jawabku tanpa melepas pandangan dari wajah cantik nan menenangkan milik Sabina.
"Walau hubungan kita tidak sehat, aku berjanji pada mas Araf, aku tidak akan melakukan hal yang akan membuatmu merasa terusik, aku juga tidak akan meninggalkan rumah tanpa seizin darimu."
Ucapan ketus Sabina membuatku ingin mengelus dada. Aku tidak pernah tahu dia akan terlihat menakutkan saat sedang marah.
"Syukurlah kau tidak mempermasalahkan ucapan tante Dinda, aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu." Celetuk ku sambil melipat lengan di depan dada.
"Aku tidak akan mengatakan apa pun. Aku juga tidak akan mengeluhkan setiap hal. Setiap orang punya masa lalu, begitu juga dengan diriku." Balas Sabina lagi, kali ini sambil bersiap menuju kamar mandi.
Sedetik kemudian Sabina benar-benar menghilang di balik daun pintu, kini yang terdengar hanya suara air yang bersumber dari kamar mandi saja. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Sabina, semenit, dua menit, bahkan sampai menit kelima berlalu, belum ada tanda-tanda Sabina akan keluar dari kamar mandi.
Apa dia kesal padaku? Aku tidak bisa menghiburnya, aku juga tidak bisa menenangkannya seperti pasangan lain pada umumnya. Hubungan ini masih terlalu rapuh, aku juga tidak bisa mengatakan kalau ini adalah cinta. Aku bergumam di dalam hati sambil memainkan buku yang ada di tanganku.
"Waw... Dia sangat cantik. Wajahnya terlihat menggemaskan." Ujarku dengan suara lantang, aku menatap Sabina dengan tatapan takjub, aku tidak sadar kalau aku bicara dengan suara cukup keras.
"Yaya... Aku tahu itu. Walau mas Araf sangat mengagumi wanita yang menjadi masa lalu mas Araf, satu pintaku, jangan pernah menyanjung wanita lain di depanku, karena aku tidak tahu sampai kapan sikap baik yang ada dalam diri ku akan bertahan." Celoteh Sabina yang baru saja keluar dari kamar mandi, dia mulai menggelar sajadahnya.
Jujur, rasanya aku ingin tertawa lepas. Namun sebisanya aku berusaha menahan diri agar tidak terlihat konyol di depan Sabina. Entah kenapa menghadapi Sabina saat ini terasa seperti sedang berhadapan dengan istri yang sedang cemburu. Bukankah itu sangat manis?
Jangan pernah menyanjung wanita lain di depanku! Ucapan Sabina masih terngiang di telingaku, entah kenapa kedamaian ini mulai memenuhi rongga dada ku. Aku yakin semua ini bukan lantaran aku sedang jatuh cinta, melainkan menyenangkan saja menggoda Sabina, wajah cantiknya sepuluh kali lipat terlihat sangat menggemaskan saat dia sedang cemburu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
AdeOpie
jangan sampai masalalu Araf datang terus Araf belom bisa move on lagi berabeh
2022-03-19
0