Mobil mas Araf melesat dengan cepat, menembus jalanan yang lumayan sepi. Sejak dia duduk di kursi kemudi dan aku duduk di sampingnya tidak ada percakapan berarti yang keluar dari lisan kami berdua.
Kami hanya bicara seadanya. Saat mas Araf bertanya, aku menjawab dengan jawaban singkat dan tidak berbelit-belit. Baru kali ini aku merasa irit bicara, biasanya aku selalu antusias dalam segala hal. Aku bersikap seperti ini karena aku belum terbiasa dengan kondisi yang masih terasa canggung.
"Apa Mama tahu kau mulai menggunakan jilbab? Apa pendapatmu jika dia menentang?" Tanya mas Araf tanpa menatap ku, pandangannya lurus kedepan.
Aku menatap mas Araf dengan tatapan heran, kening ku berkerut. Menurutku pertanyaannya sedikit aneh.
"Aku yakin tidak ada yang akan menentang, menutup aurat adalah perintah Allah dalam Al-Qur'an. Sebelum ini aku tidak pernah berpikir untuk menggunakannya.
Berkat Fazila aku mulai sadar menutup aurat harus di lakukan. Tidak ada paksaan dari siapapun, pilihan menutup aurat murni datang dari hati sebagai bentuk ketaatanku pada yang Kuasa, bukan karena menganggap diriku lebih baik melebihi siapa pun, yang benar adalah aku harus memperbaiki kualitas diriku dan kualitas ibadahku.
Aku tidak pernah mengatakan apa pun pada Mama dan Papa. Aku hanya mengatakannya pada kakak ipar Fatimah. Dia mendukung ku, dan itu sudah cukup bagiku." Ucapku panjang kali lebar, Mas Araf yang mendengar penuturanku hanya bisa mengangguk pasrah.
Entah apa yang di pikirkan otak kecilnya sampai wajah tampannya mengukir senyuman. Haruskah aku bertanya kenapa dia terlihat bahagia? Hmmm, aku rasa aku tidak akan pernah bisa melakukan itu.
"Hari ini semua keluarga dan tetangga dekat akan berkumpul di rumah Mama, ku katakan padamu, dalam keluarga besar kami ada beberapa orang yang mungkin saja akan bersikap keras padamu. Jika dia mengatakan hal buruk tentangmu, kemudian aku tidak bisa membelamu karena tidak ada bersama mu, kau boleh membalasnya entah dengan cacian ataupun dengan tamparan."
"Cacian? Tamparan? Itu sangat berlebihan! Aku tidak sejahat itu. Ku akui emosiku terkadang bisa saja meledak, tapi aku tidak akan bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua." Ujar ku sambil menatap wajah rupawan mas Araf.
Bukannya membalas ucapanku, lagi-lagi dia hanya bisa tersenyum dalam diam. Aku bukan peramal, aku tidak tahu masa depannya begitu juga dengan makna di balik senyuman indahnya. Entah apa yang ada dalam pikiran mas Araf, apa pun itu aku berharap hal itu bukanlah hal buruk.
...***...
Mobil yang ku kendari melesat dengan cepat tanpa ada gangguan. Syukurlah aku tidak sampai terjebak dalam kemacetan panjang seperti hari-hari biasa.
Seorang Sekuriti separuh baya dengan cepat membuka gerbang besi kediaman megah tempat keluarga ku bernaung, Mama, Papa, dan dua adik ku, Nilam dan Rey.
"Selamat pagi Mas Araf, apa kabar?"
"Kabar saya baik pak Gus. Setelah sekian lama tidak bertemu, pak Gus semakin tampan saja." Guyonku tanpa melepas tatapan dari pria separuh baya yang sudah mengabdikan setengah hidupnya untuk keluargaku. Tidak ada balasan darinya selain suara gelak tawa. Dia tahu aku suka bercanda.
Ternyata Sabina bukan gadis yang manja. Dia bahkan menolak dengan lembut saat pak Gus ingin membuka-kan pintu mobil untuknya, hal itu berhasil memancing senyuman ku. Walau terlihat sederhana, namun aku bisa menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
"Selamat datang Nona, semua orang sudah menunggu anda." Ucap bi Isah begitu dia muncul entah dari mana.
"Ohhh astaga. Apa kau tidak bisa memberi salam saat kau tiba-tiba muncul seperti ini? Bagaimana jika aku serangan jantung?" Pak Gus berucap sambil menatap wajah menyesal bi Isah.
"Maaf kang, saya tidak sengaja." Balas bi Isah sambil memegang bahu kakak sepupunya itu.
"Pak Gus pasti akan memaafkan bibi, sekarang ayo kita masuk!" Pinta Sabina sambil menggandeng lengan bi Isah.
Aku tidak bisa melepas pandangan ku dari dua wanita beda generasi yang saat ini berjalan meninggalkan ku. Entah kenapa aku merasa bangga pada Sabina, mereka berada di lepel berbeda namun dia sama sekali tidak merasa risih akan keberadaan pembantu yang ia gandeng tangannya. Sungguh, keadaan ini sangat berbeda di bandingkan dengan orang yang ku kenal dulu. Entah apa kabar dirinya, semoga dia baik-baik saja. Semenjak malam itu tidak ada lagi komunikasi di antara kami berdua.
Sedetik kemudian aku berjalan mengikuti langkah Sabina dari belakangnya, ku perhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia terlihat asing bagiku, mungkin karena selama ini aku tidak pernah melihatnya menggunakan pakaian longgar seperti yang ia gunakan saat ini, aku yakin lama kelamaan aku pasti terbiasa dengannya.
"Hay sayang... Selamat datang!" Mama berjalan mendekati Sabina kemudian memeluknya.
"Mama apa kabar?"
"Baik, sayang. Sejak kemarin Mama ingin menemui mu, tapi Papa mu selalu saja melarang Mama. Beliau bilang kami tidak boleh mengganggu pengantin baru." Celoteh Mama sambil menepuk lengan ku. Sedetik kemudian dia mulai berjalan tanpa melepas genggaman tangannya dari jemari Sabina. Berjalan menuju sofa.
"Sejak semalam Mama mu tidak bisa tidur karena menantikan kedatangan kalian. Yang membuat Papa heran, manager Hotel bilang kalian tidak tidur di kamar pengantin. Kalian pergi kemana?"
Glekkkkk!
Aku menelan saliva sambil menatap wajah heran Papa. Setiap huruf yang ia rangkai menjadi kata-kata terdengar sangat menakutkan di indra pendengaran ku.
Aku tidak takut pada Papa, yang ku takuti Mama akan mulai bertanya dengan pertanyaan intimidasi. Kemana aku pergi? Apa yang ku lakukan? Jangan begini! Jangan begitu! Entah pertanyaan apa lagi yang akan Mama tanyakan, jika beliau sampai mengetahui aku kembali kerumah maka aku tidak akan selamat dari amarahnya.
Untuk saat ini aku hanya bisa menatap Sabina dengan tatapan meminta pembelaan. Seolah tatapanku mengatakan 'Tolong selamatkan aku dari amarah Mama'
Sabina yang ku tatap hanya memberikan tanggapan biasa saja. Rasanya aku ingin mengelus dada, melampiaskan kekesalanku dengan cara pergi dari rumah seperti dulu lagi. Aku sudah bersiap untuk pergi. Namun aku menghentikan keinginanku saat mendengar Sabina mulai membuka suara di antara senyapnya udara.
"Mam... Sabina yang meminta Mas Araf agar tidak kembali ke Hotel. Karena lelah dengan semua prosesi yang kami jalani, Sabina meminta mas Araf ke tempat terbuka dengan Bintang dan Rembulan sebagai cahayanya."
"Waw sayang, ternyata kita tidak jauh berbeda. Mama juga seperti itu. Mama menarik Papamu agar tidak ke hotel. Kami pergi ke pantai untuk menikmati udara segar, kami tidur di dalam mobil. Paginya kami kembali ke hotel dan tidur seharian." Celoteh Mama penuh semangat. Ternyata alasan Sabina berhasil membawa Mama kembali pada memori indah yang mungkin saja sudah beliau lupakan.
Masih ada jarak di antara kita berdua, namun ku akui kekaguman ku semakin bertambah untuk mu. Akan seperti apa kisah kita selanjutnya aku juga tidak tahu itu, aku tidak bisa asal menebak. Aku bergumam di dalam hati sambil menatap wajah Sabina yang di penuhi dengan senyuman, mungkin saja itu hanya senyuman kepura-puraan atau bisa jadi senyuman yang bersumber dari hati, aku tidak tahu itu dan aku pun tidak ingin tahu. Yang ku inginkan hanya melihat Mama bahagia.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
AdeOpie
Sabina udah buka hati buat Araf dan semoga Araf juga sebaliknya Thor.
2022-03-10
1