Ada semacam ketertarikan satu sama lain di setiap persahabatan, tidak ada persahabatan tanpa ketertarikan. Itu adalah kebenaran yang pahit. Bahasa persahabatan bukanlah kata-kata semata, tapi bahasa persahabatan adalah penuh makna. Dan banyak orang yang akan keluar masuk di dalam hidup kita, tapi hanya sahabat sejatilah yang akan meninggalkan jejak di dalam hati kita.
Seperti malam ini aku merasa sedih melihat sosok ceria mas Araf terbaring lemah di atas tempat tidur, aku merasa terikat dengannya dan aku merasa sedih atas ketidak berdayaannya.
"Sabina, dugaanku benar! Araf memang mengalami alergi parah. Entah makanan apa yang tidak bisa ia makan sampai wajahnya di penuhi bintik merah. Demam memperburuk kondisinya. Aku berharap kau bisa merawatnya dengan baik. Aku sudah memberinya obat, Insya Allah bintik-bintik merahnya akan segera menghilang.
Jangan biarkan dia memakan makanan berat, untuk sarapan besok pagi kau harus memberinya bubur hangat. Mungkin dengan mendapat perlakuan manis dari istrinya dokter Araf akan lekas sembuh." Ucap dokter Alam panjang kali lebar, bukannya memberi semangat padaku dia malah terkekeh sambil menepuk pundakku.
Perlakuan manis!
Setelah dokter Alam pergi, dua kata itu terus saja menari di memori otakku. Bagaimana aku bisa memberi perlakuan manis pada mas Araf saat jiwanya belum menerima kehadiranku. Entah apa isi amplop yang ia berikan sampai-sampai aku merasa bergetar saat memegangnya.
"Hmmm... Aku harus apa jika kau seperti ini? Kau tidak menolakku, kau juga belum menerima kehadiranku. Aku marah padamu. Tapi, saat melihatmu tertidur, kau terlihat seperti kucing menggemaskan, seketika amarahku langsung menguap keangkasa. Dan aku tidak akan pernah menghina mu di belakang pungggungmu.
Aku juga bukan wanita yang akan menyembunyikan perasaanku. Kau bisa menolakku sekuat yang kau bisa, tapi kau harus ingat jangan pernah menjalin hubungan dengan wanita lain selama kau masih terikat dengan ku. Jika kau berani melakukan itu, aku tidak tahu seburuk apa tingkah yang akan ku tunjukan di depanmu." Celotehku sambil menatap jemariku yang masih di genggam erat oleh mas Araf.
Sementara itu tangan ku yang satunya lagi mengusap puncak kepala mas Araf. Mama biasanya melakukan hal yang sama saat beliau ingin menenangkan ku. Dan anehnya aku malah melakukan hal yang sama pada dia sosok rupawan yang saat ini telah resmi menjadi pendamping hidupku.
Sungguh, moment ini terasa sangat manis. Lebih manis dari madu. Apa lagi yang lebih baik dari ini? Saling menggenggam jemari dan terlelap di atas tempat tidur yang sama.
Entah dari mana datangnya keberanianku, aku menatap wajah rupawan mas Araf yang masih terlelap dengan tatapan penuh kasih sayang dan Cinta, tanpa berpikir panjang aku malah mendaratkan ciuman di puncak kepalanya.
Sabina... Kau benar-benar nakal. Berani sekali kau mencuri ciuman. Aku tidak pernah tahu ternyata kau pencuri ulung. Bagaimana jika mas Araf tahu kalau kau menciumnya saat dia sedang tidak sadar? Jika itu sampai terjadi kau tidak akan sanggup menatap wajahnya. Aku bergumam di dalam hati sambil mengangkat kepalaku dan menghentikan ciumanku di puncak kepala mas Araf.
...***...
Allah akbar... Allah akbar...
Allah akbar... Allah akbar...
Aku terbangun tepat saat Azan subuh mulai bekumandang di seantaro kota, sekujur tubuhku terasa mati rasa namun sekuat tenaga aku berusaha untuk bangkit dari ranjang tempatku tidur semalaman.
Aku tidak sadar kalau aku tertidur sambil menggenggam jemari lentik Sabina. Aku harus kekamar mandi, membersihkan diri kemudian menghadapkan wajahku pada dia yang maha pemberi kehidupan, Allah.
Baru saja aku akan bangkit dari tempat tidur, aku menyadari Sabina mulai terbangun, perlahan ia melepaskan jemari lentiknya dari genggaman tanganku, entah kenapa aku memilih berpura-pura tidur disaat Sabina menyentuh keningku dengan tangannya.
"Kau tidak demam lagi, syukur lah." Ucap Sabina dengan nada suara pelan.
Huammmm!
Sabina menguap sambil menutup bibir dengan tangan kanannya. Berjalan perlahan menuju kamar mandi sambil menggerakkan tubuhnya yang mungkin saja terasa ngilu karena ia tidur sambil duduk. Aku tidak pernah membayangkan akan menjadi gangguan untuk Sabina di malam pertamanya tinggal di rumahku.
Tak butuh waktu lama untuk sabina berada di kamar mandi, ia keluar hanya dengan handuk yang melilit setengah tubuhnya. Wajahnya terlihat berseri-seri, aku yakin dia pasti berpikir kalau aku masih tidur, nyatanya aku sedang berpura-pura tidur.
Araf... Ada apa dengan mu? Apa kau pria sejati? Kenapa kau berpura-pura tidur sementara kau tahu kau tidak tidur? Apa kau ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan? Dasar payah! Aku bergumam di dalam hati sambil menatap tubuh Sabina yang berdiri di depan lemari.
"Mas araf masih tidur, apa sebaiknya aku mengganti baju disini saja? Tidak. Tidak. Bagaimana jika mas Araf pura-pura tidur seperti yang ada dalam drama?" Celoteh Sabina sambil menenteng pakaian di tangannya.
Jujur, mendengar ucapan Sabina rasanya aku ingin tertawa lepas. Ini lah efek buruk terlalu sering menonton drama, seorang istri selalu saja curiga pada suaminya. Perlahan Sabina berjalan kearah ranjang tempat tidur, ia menatapku dengan tatapan penuh curiga. Sedetik kemudian ia melambaikan tangannya di depan wajahku.
Tuhan... Ini benar-benar tantangan besar, berikan aku kekuatan agar aku tidak tertawa. Jika tidak, Sabina akan tahu kalau aku sedang berpura-pura. Ucapku lirih dalam hati sambil menggigit bibir bawahku agar tawaku tidak keluar.
"Syukurlah mas Araf masih tidur. Kekhawatiran ku benar-benar tidak berguna." Gerutu Sabina sambil berjalan mundur. Sabina mulai melepaskan handuk di kepalanya kemudian perlahan menyingkap handuk yang ada di tubuhnya.
Sebelum bertindak terlalu jauh aku segera memperbaiki posisi tidurku, berusaha menahan gejolak di hatiku kemudian membelakangi Sabina yang saat ini sedang sibuk dengan aktivitas berganti pakaian.
...***...
Aku berjalan pelan sambil menuruni anak tangga, dadaku masih terasa sesak namun aku berusaha memaksakan diri untuk bersiap dan berangkat kerumah Mama.
"Mas Araf ada disini? Maafkan aku, seharusnya aku lebih cepat membawakan sarapan untukmu. Lihatlah diriku, aku bahkan terlihat seperti ibu rumah tangga yang kurang cekatan. Ternyata aku gagal di hari pertamaku." Ujar Sabina sambil melipat kedua lengannya di depan dada.
"Gagal? Siapa bilang kau gagal? Justru aku sangat salut padamu, aku salut karena kau berperan sangat baik, merawatku dan menyiapkan sarapan untukku." Ucapku sambil duduk di meja makan.
"Apa kau yakin akan menggunakan itu?" Aku menunjuk kepala Sabina.
"Aahhh... Ini?" Balasnya singkat sambil memegang kain penutup kepalanya.
Untuk kedua kalinya aku melihat Sabina menutupi kepalanya dengan kain penutup, dia terlihat anggun mengenakannya. Hanya saja aku tidak ingin dia memaksakan diri untuk menggunakannya karena berada disisiku, aku tidak ingin melihatnya menggunakan kain penutup kepala jika dia berniat membukanya lagi. Bagiku, setiap wanita itu terlihat anggun saat dia menutupi bagian tubuh yang seharusnya tidak mereka tampakkan di depan pria lain. Jika Sabina telah memutuskan menggunakan jilbab maka aku tidak akan membiarkannya melepasnya lagi.
Aku memang playboy, tapi aku tidak pernah berpikiran sempit, apa lagi sampai berpikiran buruk pada wanita manapun.
"Iya... Aku memutuskan untuk memakainya. Aku tidak akan pernah melepasnya. Jika mas Araf marah karena aku memakai jilbab, maka jawabannya bukan aku yang salah melainkan ada yang salah dengan hatimu." Ucap Sabina menegaskan. Tatapan matanya tajam.
Entah kenapa aku membayangkan sedang berdebat dengan Sabina, aku yakin jika itu benar-benar terjadi aku pasti akan kalah. Menatap mata indahnya saja aku mulai menciut.
"Tidak. Aku tidak akan melarang mu. Kau bisa memakainya." Ucapku singkat, bibirku memamerkan senyuman.
"O iya, Mama telpon. Beliau meminta kita berkunjung kerumahnya. Ada tradisi penyambutan menantu. Aku sendiri tidak tahu kalau ada tradisi seperti itu dalam keluargaku." Sambungku lagi. Sabina yang mendengar ocehanku hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.
"Habiskan sarapanmu, setelah itu kita akan berangkat."
Sekarang giliranku yang mengangguk mendengar ucapan Sabina, apa pernikahan itu sungguh sesimpel ini? Bicara di meja makan, tersenyum bersama, dan saling menatap dalam diam? Entahlah aku sendiri tidak tahu itu. Saat ini aku memikirkan Alan, aku berharap dia menjadi penasihatku dalam urusan cinta dan rumah tangga, karena tidak ada pria yang lebih mencintai istrinya melebihi dirinya.
Untuk sesaat aku kembali fokus. Aku yakin Sabina belum membaca amplop itu, jika dia sudah membacanya dia pasti akan mengabaikanku.
Ooohhhh tidak, bagaimanapun caranya aku harus mengambil amplop itu. Hal pertama yang harus ku lakukan adalah mengenalnya, memulai persahabatan dan berbagi suka dan duka. Aku yakin rasa cinta akan tumbuh laksana mawar di taman bunga, merekah indah dan subur untuk selama-lamanya. Aku bergumam di dalam hati sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ku tatap wajah Sabina, ia terlihat biasa-biasa saja. Sementara diriku? Aku seperti cacing kepanasan, aku bahkan tidak bisa mengontrol hati ku agar tidak berdegup kencang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
AdeOpie
apa isi amplop'nya yah
2022-03-08
0