“Udah lah, Ren. Aku bilang juga apa. Nggak bakal aman kalau kau bawa si Jevano berkenalan sama adikmu itu. Lihat kan akhirnya gimana? Direbut juga sama tuh cewe kecentilan. Cih.”
Serena sama sekali tidak merasa marah atas perkataan pedas yang dilontarkan oleh sahabat baiknya yang bernama Helena, atau yang akrab dia panggil dengan sebutan Helen.
Serena benar-benar pergi ke kediaman Helen ketimbang pulang ke rumahnya sendiri. Masa bodoh nanti Jasmine akan mencari keberadaannya atau tidak. Serena masih ingin menumpahkan semua kekecewaannya kedalam tangisan yang sudah dia tahan disepanjang perjalanan.
Helena mendengus panjang. Kasihan juga melihat sahabatnya yang selalu terlihat tegar dan kuat sekarang jadi lemah tak berdaya hanya karena patah hati yang disebabkan oleh adik dan orang yang empat tahun ini disukai oleh gadis itu.
Entah sudah berapa banyak tisu yang terbuang untuk mengusap airmata Serena yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Untung sahabat, untung sayang. Jadi Helena merelakan tisu rumahnya habis untuk menyeka airmata Serena saja.
“Hiks―rasanya sakit banget...nggak nyangka Jasmine bener-bener tega ngerebut Jevano seutuhnya..” racau Serena untuk kesekian kalinya.
Kuping Helena sampai gerah mendengar hal yang sama berulangkali. Kalau tidak nama Jevano ya Jasmine yang terus Serena sebutkan.
“Ya kamu sih. Nggak cepet-cepet tembak Jevanonya. Sekarang nyesel kan udah diambil duluan sama adikmu.”
Ini kalau posisi Serena sedang tidak bersedih, bakal dia tampol itu mulutnya si Helen yang pedas. Hobinya menyindir terus bukannya membantu atau menghibur hatinya yang lagi sedih begini.
“Kalau segampang itu, udah dari dulu aku lakuin. Kamu tau jelas apa sebabnya aku selalu urung mau ngungkapin perasaanku ke Jevano..” Suara Serena terdengar bergetar. Menunjukkan seberapa sedihnya gadis itu pada kenyataan yang terjadi.
Semua mungkin akan berjalan baik dan lancar-lancar saja jika bukan karena Jasmine. Serena sudah memiliki tekad hendak menembak Jevano sedari awal mereka dekat, sayangnya pertemuan tidak disengaja Jevano dengan Jasmine lah yang membuat semua rencana Serena kacau balau dan selalu gagal.
“Ya sih. Andai dulu mereka nggak pernah berjumpa, kayaknya Jevano udah jadi pacar kamu. Yah..mungkin ini jawaban dari Tuhan, kalau Jevano bukan jodohmu kali.”
Tidak ada yang bisa menebak bagaimana takdir itu berjalan. Termasuk Serena dan Jevano. Andai dulu Serena tidak mengajak Jevano berkunjung sebentar di rumahnya, mungkin takdir mereka akan berbeda.
Namun memutarbalikkan waktu juga mustahil dilakukan. Serena hanya bisa merutuki kebodohannya dimasa lalu dan menangisi kegagalannya meraih cinta pertamanya. Sudah jalan empat tahun ini, dan sekarang Serena benar-benar telah kehilangan Jevano.
“Empat tahun, Ren. Kamu udah berjuang demi menarik perhatian Jevano. Tapi apa? Jevano cuma anggap kamu sahabat doang, nggak lebih. Udah saatnya kamu berhenti ngejar cinta yang mustahil kamu raih itu dan move on.” Nasehat Helen sedikit meredakan tangisan Serena.
Perkataan Helena seakan baru saja menamparnya keras-keras dan memaksa dirinya untuk membuka mata lebar-lebar dan menerima kenyataan yang ada. Jevano telah memilih Jasmine dan Jasmine adalah satu-satunya orang dimuka bumi ini yang tidak bisa Serena kalahkan.
Ini sama saja menyuruh dirinya untuk mengakui kekalahan telak dan mundur.
“Gapapa kalau kamu masih mau nangis. It's okay, itu bentuk pelampiasan emosi kamu. Tapi nanti, kamu nggak boleh nangis lagi karena udah nggak ada gunanya lagi nangisin orang yang bukan milik kita,” kata Helena sambil mengusapi rambut lurus Serena.
Setidaknya Helena dapat memberikan dukungan emosional pada Serena supaya sahabatnya itu tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan. Selama ini Serena selalu merasa dirinya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan saudara kembar gadis itu, jadi disini adalah peranan Helena untuk mendorong sahabatnya melebarkan sayapnya sendiri.
“Kamu pasti bisa move on. Come on~ Cowo nggak cuma Jevano aja yang ganteng. Carilah cowo yang bener-bener cuma mandang kamu doang, nggak yang lainnya.”
Helena mungkin mengatakan hal itu dengan perasaan ringan dan tanpa beban. Namun berbeda dengan Serena yang menangkap hal itu sebagai sebuah pekerjaan yang berat dan sulit dilakukan.
Jaman sekarang sulit untuk menemukan sosok pasangan yang benar-benar tulus mencintai satu orang dan tidak menebar kebaikan pada banyak wanita di luar sana. Serena pesimis, apakah masih ada laki-laki seperti itu di sekitarnya.
Sejauh ini satu-satunya laki-laki yang paling baik dan tidak penuh kepalsuan hanyalah Jevano.
Bahkan lelaki itu sama sekali tidak berusaha menutupi ketertarikannya terhadap Jasmine sekalipun didepan Serena.
“Suatu saat nanti pasti ada. Selain mencari juga kita harus sabar menunggu. Tuhan sayang sama anaknya yang baik. Jadi jangan patah semangat.” Helena tersenyum lebar sambil mengangkat satu kepalan tangannya ke udara sebagai bentuk semangat darinya.
Tak salah memang Serena berkunjung ke rumah Helena alih-alih pulang ke rumahnya sendiri. Helena selalu bisa membuat moodnya menjadi lebih baik dengan cara-cara yang tak Serena duga. Meskipun perkataan pedas dan menyindir tak jarang dilontarkan juga, tetapi Serena tahu Helena tidak mempunyai maksud jahat atas perkataannya.
Mungkin hal itu jugalah yang membuat pertemanan Serena dan Helena tetap awet sampai detik ini.
“Dari tadi ponselmu bergetar terus. Kayaknya ada yang menghubungimu tuh.” Helena memberitahu. Soalnya ponsel milik Serena diletakkan begitu saja diatas meja belajar. Otomatis getaran ponsel itu mengganggu ketenangan dalam kamar.
Sayangnya, Serena sedang tidak dalam mood baik untuk menerima panggilan atau sekedar mengecek notifikasi yang masuk. Lagipula Serena sudah meminta ijin pada sang ibu untuk menginap di rumah Helena untuk beberapa hari kedepan dengan alasan mengerjakan tugas bersama.
Serena cukup sering menginap di rumah Helena sejak jaman SMA dulu, jadi Serena selalu menyimpan beberapa setel pakaian ganti di lemari Helena sebagai antisipasi keadaan darurat. Dan langkah itu sangat efektif digunakan untuk saat-saat seperti ini misalnya.
“Aku capek banget, Len..” gumam Serena sambil menidurkan kepalanya dipinggiran ranjang Helena yang empuk.
Sedari tadi Serena menangis sesenggukan sambil duduk diatas karpet bulu berwarna coklat milik Helena. Sementara si pemilik kamar hanya memandangi Serena dari kursi gaming miliknya yang diletakkan di depan komputer.
“Tidur gih. Matamu udah sembab banget itu. Jamin deh, besok pasti jadi bengkak.” Perkataan Helena yang satu ini sama sekali tidak membantu.
Serena mencibir pelan sambil merangkak menaiki ranjang berukuran King milik Helena. Semenjak Serena sering menginap di kamar Helena, orangtua Helena memutuskan untuk mengganti kasur Helena yang semula hanya berukuran Queen jadi King. Beruntung orangtua Helena sangat pengertian dan sudah menyayangi Serena seperti anak sendiri. Jadi kedatangan Serena di kediaman Alford selalu disambut hangat oleh seisi rumah.
Bahkan kakak laki-laki Helena yang bernama Hendery juga sangat perhatian pada Serena.
Aneh sih, Serena yang hanya orang asing saja diperlakukan begitu baik oleh keluarga Helena. Sementara di rumahnya sendiri, eksistensi Serena hanya dianggap sebagai bayangan Jasmine semata. Mau sebagus apa nilainya, sebanyak apa piala yang Serena raih, orangtuanya hanya terpusat pada Jasmine seorang. Pujian yang mereka berikan pada Serena juga hanya berupa ucapan yang terkesan hambar. Serena jauh merasa nyaman berada di rumah orang lain daripada rumahnya sendiri.
Dan sekarang, satu-satunya alasan dia bertahan di rumah itu sudah menjadi milik Jasmine. Rasa ingin keluar dari rumah semakin melonjak naik. Serena sempat membicarakan hal ini pada kedua orangtuanya, dan masih teringat jelas dalan memori Serena, bila kedua orangtuanya sama sekali tidak keberatan atas keputusannya.
“Kalau aku tinggal sendiri, kamu mau nggak nemenin aku di tempatku tinggal nanti?” Pertanyaan itu Serena lontarkan pada Helena yang asyik memakan camilan diatas meja komputer.
“Tinggal sendiri? Maksudmu?” Alis Helena otomatis berkerut mencerna pertanyaan Serena yang tiba-tiba.
“Ya, sendiri. Aku pernah diskusi sama orangtuaku. Seperti yang kuduga, mereka sama sekali nggak keberatan semisal aku pengen hidup mandiri dan tinggal sendiri di apartemen,” jelas Serena panjang lebar.
Ini adalah kali pertamanya Serena memberitahu Helena. Gadis itu nyaris menggebrak meja komputernya gara-gara kaget bukan main. “Gila! Memangnya kamu berani?!”
Helena tahu jelas kalau Serena itu sedikit penakut. Tapi sampai senekat ini mau hidup mandiri, Helena sama sekali tidak menyangka Serena memiliki keberanian sebesar itu. “Nanti kita berjauhan dong? Jangan deh!” Yang tentunya sedikit membuat Helena dilema.
Nanti kalau tempat tinggal baru Serena semakin jauh dari rumahnya bagaimana? Helena belum berani mengendarai kendaraan sendiri, naik bus juga takut kalau cuma sendirian. Selama ini kan dirinya dan Serena selalu kemana-mana berdua.
“Nanti aku usahain nyari lokasinya yang deket-deket rumahmu deh. Kalau enggak gitu ya deket kampus biar kamu nggak kejauhan berkunjungnya. Gimana?” Keputusan Serena sudah bulat, Dia pengen hidup mandiri tanpa bayang-bayang sang adik dan Jevano lagi.
Untuk menyembuhkan patah hatinya, Serena harus hidup berjauhan dari orang yang membuatnya demikian. Mengingat seberapa manjanya Jasmine, Serena yakin sekali Jevano akan lebih sering berkunjung ke kediamannya lebih dari sebelumnya. Bertemu dengan Jevano dengan status barunya sebagai kekasih Jasmine, tentu itu menempatkan Serena dalam posisi yang tidak diuntungkan.
“Janji ya tapi? Jangan terlalu jauh! Atau aku paksa kamu tinggal di rumahku untuk selamanya!” ancam Helena yang tidak rela berjauhan dengan sang sahabat.
Serena tersenyum tipis menanggapi reaksi Helena. Mungkin hanya Helena satu-satunya orang yang merasa keberatan atas keputusannya yang tiba-tiba ini.
“Iya-iya. Aku janji. Aku istirahat dulu ya? Mataku udah berat banget dari tadi,” Serena meminta ijin untuk tidur lebih dulu. Menangis selama berjam-jam jelas menguras emosi dan tenaga.
Helena mengangguk mengiyakan. Serena menarik selimut bermotif bunga-bunga shabby lucu untuk membungkus seluruh tubuh gadis itu. Hanya dalam hitungan menit saja, Serena sudah terlelap dalam tidurnya.
Meninggalkan Helena yang memandang sendu sang sahabat yang selalu bernasib sial bila berputar disekitar adik kembarnya sendiri.
“Kasihan banget sih kamu, Ren. Mungkin dengan hidup sendiri, kamu bakal nemuin kebahagiaan dan kebebasan kamu. Gapapa, aku setuju kok, cuma kaget aja tadi. Asalkan kamu bahagia, aku juga turut bahagia,” ucap Helena dengan suara berbisik.
Apapun keputusan Serena, Helena akan menghargainya. Asalkan Serena senang, dia juga ikut senang. Sudah cukup lama Serena menderita di rumahnya sendiri yang selalu dibanding-bandingkan dengan Jasmine. Semoga ini menjadi keputusan terbaik untuk Serena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
May Keisya
ya udah sm kknya Helena aja😁
2025-02-06
0