“Hah? Serena mau tinggal di apartement sendiri?!”
Jasmine yang baru di beritahu orang tuanya sontak saja terkejut bukan main. Kembarannya itu bahkan baru pulang dari acara menginap dadakan di rumah Helena selama tiga hari lamanya. Pulang-pulang justru membawa kabar yang sama sekali tidak pernah Jasmine duga sebelumnya.
Nyonya Esther, selaku ibu dari si kembar Reinhart itu mengangguk pelan seraya menyesap teh hangat yang baru dibawakan salah seorang ART di kediaman mereka.
“Baguslah. Biar dia bisa belajar mandiri. Nggak bergantung sama orang tua terus,” pendapat Nyonya Esther terkait keputusan Serena yang tiba-tiba.
Keluarga Reinhart cukup terpandang di kota mereka dan terkenal sebagai pengusaha sukses di jaman ini. Mencarikan satu unit apartement dengan fasilitas terbaik bukanlah perkara sulit bagi keluarga itu. Sayangnya, Nyonya Esther tidak mengijinkan suaminya membeli satu unit apartement mewah untuk Serena.
Alasannya klasik; Serena masih terlalu muda untuk di beri tanggung jawab besar mengurus tempatnya tinggal sendiri. Jadi, pada akhirnya satu unit apartement sederhana dengan fasilitas seadanya lah yang menjadi ‘hadiah’ untuk Serena.
Namun bukan itu yang membuat Jasmine keberatan atas keputusan tiba-tiba ini.
“Terus, Ma...kalau aku minta tolong sesuatu sama Serena gimana? Makin susah dong buat nyamperin Serenanya!?” protes gadis bertubuh semampai itu.
Nyonya Esther berdecak pelan lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca ruang tamu. “'Kan ada Bibi yang bisa bantu kamu. Kenapa sih kamu sepanik itu?”
Jasmine menggeram marah dalam hatinya. Tidak ada Serena, berarti tidak ada seseorang yang bisa dia mintai tolong mengerjakan tugas kuliahnya lagi. Oh, tidak...ini jelas malapetaka bagi Jasmine!
“Pokoknya jangan biarin Serena keluar dari rumah ini deh, Ma! Jasmine butuh dia banget!”
“Ya nggak bisa gitu. Semua udah di urus, Bahkan Serena udah tanda tangan kontrak apartementnya juga. Lagian Mama bisa bantu kamu kalau kamu butuh sesuatu. Apa sih yang kamu takutin?” Nyonya Esther heran dengan sikap Jasmine.
Jasmine mengacak rambutnya bak orang frustasi, sebelum melangkahkan kakinya naik menuju ke kamarnya sendiri sambil dihentak-hentakkan. Hancur sudah semua rencananya! Tanpa bantuan Serena, semua tugas kuliahnya pasti tidak akan beres tepat waktu atau lebih parahnya lagi, dia tidak bisa meraih nilai sempurna seperti semester-semester sebelumnya.
Arrgh! Jasmine ingin meledak saja rasanya.
Tapi apa sebenarnya yang mempengaruhi otak Serena sampai-sampai tercetus ide untuk angkat kaki dari rumah mereka?
Jasmine mencoba memikirkan segala kemungkinan yang menjadi penyebab hengkangnya Serena dari kediaman mereka.
Tapi apa?
Apa karena Serena sudah tidak kuat lagi menghadapi semua sikapnya terhadap kembarannya itu?
Atau Serena sudah tidak mau lagi membantunya mengerjakan tugas kuliah?
Atau ada alasan khusus mengapa tiba-tiba Serena pergi dari rumah seakan berniat mengasingkan diri?
Itu semua bisa menjadi garis besarnya sih. Jasmine sendiri menyadari, bila terkadang dirinya kelewatan memerintah dan menyuruh Serena ini-itu seenak hatinya. Tapi salah sendiri Serena tidak pernah protes atau bahkan mengeluhkan sikapnya ini, jadi Jasmine berpikir bila saudara kembarnya itu sama sekali tidak keberatan memenuhi semua permintaannya.
Begitu masuk ke dalam kamar pribadinya yang di dominasi warna pink, Jasmine langsung menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas ranjang yang empuk. Seketika kepalanya pening hanya gara-gara memikirkan saudara kembarnya dan keputusan tak terduga yang di ambil oleh gadis itu.
Drrttt drrtt
Ponsel yang masih tersimpan dalam kantong celana tiba-tiba bergetar. Dengan malas Jasmine merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan benda pipih tersebut.
Nama Jevano tertera pada ID si penelpon. Senyum lebar seketika terukir di bibir Jasmine sebelum jarinya menggeser tombol hijau pada layar.
“Ya, sayang? Ada apa?” Tumben-tumbenan Jevano menghubunginya terlebih dulu, tentu ini membuat Jasmine senang bukan main.
“Kamu udah denger belum? Kalau Serena sekarang tinggal sendiri di apartement?”
Pertanyaan yang sama sekali tidak ingin Jasmine dengar. Moodnya kembali buruk dalam sekejap. Senyum langsung sirna dari wajah cantik gadis tersebut. “Tau. Kenapa memangnya?” Tanpa sadar Jasmine menjawab dengan nada ketus.
Oh, ayolah! Dirinya sudah lelah, dan lagi memikirkan soal Serena yang tak lagi tinggal serumah dengannya semakin membuat Jasmine pusing.
“Kamu tau alasannya? Kalian bertengkar?”
Jasmine sama sekali tidak menyukai kekhawatiran yang tersirat dalam pertanyaan Jevano. Hei, sekarang Jevano adalah kekasihnya! Jasmine tidak suka bila Jevano terlalu memikirkan gadis lain yang bukan dirinya!
“Tanya aja sendiri. Aku sama dia nggak bertengkar sama sekali kok. Udah, kalau kamu menghubungiku cuma buat nanyain soal Serena, mending nggak usah telpon sekalian!” ketus Jasmine pada akhirnya.
Nyaris saja Jasmine memutuskan sambungan mereka secara sepihak, Jevano kembali bersuara dengan nada selembut mungkin guna menenangkan emosi Jasmine yang mulai meluap ke permukaan.
“Iya, iya. Nggak nanya lagi deh. Nanti mau dibawakan apa? Habis latihan band ini aku mau mampir bentar.”
Ini yang selalu membuat mood Jasmine membaik dengan cepat. Jevano selalu tahu cara ampuh apa yang berhasil meluluhkan emosi sang pujaan hati.
“Bawain kesukaanku aja. Aku tunggu di rumah ya?”
“Ya, sayang. Tunggu aku, hm. Jangan ngambek lagi. Aku cuma cinta sama kamu,” ucap Jevano di seberang sana.
Yang tentunya berhasil membuat jantung Jasmine berdebar sangat cepat dan kedua pipinya memerah panas.
“Iya, iya. Aku juga cinta kamu, Jevano~ Hati-hati di jalan, sayang.”
Panggilan pun terputus sampai di situ. Jasmine tersenyum lebar sembari membuka chatroom miliknya dengan Jevano. Jevano adalah lelaki idaman yang sudah lama dia impikan. Sejak pertemuan tak sengaja mereka di anakan tangga kediaman Reinhart, sukses membuat dunia Jasmine menjadi lebih berwarna dan dipenuhi bunga-bunga.
Dalam waktu sangat singkat, Jasmine sudah jatuh hati pada ketampanan Jevano. Maka dari itu, untuk bisa mendapatkan Jevano dan mempertahankan lelaki itu di sisinya, Jasmine rela melakukan segala cara.
Sekalipun itu artinya, dia harus merebut Jevano dari tangan kakaknya sendiri.
Jasmine sama sekali tidak merasa bersalah.
...***...
“Fiuh~ Ternyata capek juga ngedekor tempat tinggal sendiri..”
Serena meluruskan kedua kakinya yang sedari tadi berjinjit demi meletakkan jam bulat pada dinding kosong di atas meja televisi ruang tamu.
Semua perlengkapan rumah sudah dikirimkan oleh sang ayah, jadi Serena tinggal menata perabotan sesuai keinginannya.
“Ren, bagian dapur sama kamar mandi udah beres. Nanti kamu cek lagi, kali aja ada yang nggak sesuai seleramu.” Helena keluar dari dalam kamar mandi luar yang terletak di dekat dapur unitnya yang berukuran minimalis. Yah, cukup lah kalau untuk memasak dua orang saja.
“Makasi banyak, Len. Duduk dulu, kita istirahat di sini dulu ya. Plastik sofanya belum kubuka satu-satu.” Serena menepuk ruang kosong yang ada di sebelah kanannya, mengisyaratkan Helena agar duduk di sisinya.
Kali ini mereka terpaksa duduk bersila di atas lantai karena plastik yang membungkus sofa belum di buka oleh Serena.
Beberapa waktu yang lalu, Hendery sempat mampir sebentar untuk membantu menggeser perabotan yang lumayan berat. Kakaknya Helena itu tidak datang seorang diri, tetapi bersama salah satu teman baiknya, kalau tidak salah namanya Marcus.
Serena benar-benar terbantu sekali dengan kedatangan dua lelaki itu. Ini kalau dia sendiri bersama Helena yang menggeser atau mengangkat perabotan berat bisa tepar cepat mereka.
“Nanti kalau udah beres semua, aku traktir kamu, kakakmu sama temen kakakmu makan bareng deh,” kata Serena kemudian.
Kalau soal makanan sih, Helena dan Hendery mana pernah nolak. “Harus dong. Masa nggak ada bayarannya sama sekali,” gurau Helena sambil terkekeh jenaka.
Unit apartement yang dibelikan oleh orang tua Serena memang tidak mewah dan luas sekali, setidaknya pantaslah untuk di huni maksimal dua orang. Balkonnya juga ada dua; di kamar utama dan ruang tamu, sudah cukup bagus dan simpel sesuai keinginan Serena.
Sebenarnya Helena merasa ini tidak adil untuk Serena. Semua teman-teman satu kampus juga tahu siapa itu keluarga Reinhart dan seberapa kayanya keluarga itu. Tapi menghadiahkan satu unit apartement sederhana begini untuk Serena?
Helena semakin yakin kalau Serena cuma dianaktirikan oleh anggota keluarganya sendiri. Melihat kenyataan yang ada, Helena jadi merasa bersimpati atas nasib sahabat baiknya ini.
Namun seberapa besar Helena merasakan kesedihannya pada nasib malang yang menimpa Serena, dia berjanji tidak akan menunjukkan emosinya pada Serena secara terang-terangan karena tahu benar Serena benci dikasihani.
“Setelah ini, apa yang mau kamu lakuin?” Helena memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus melalui balkon yang terbuka membuat udara di dalam apartement terasa sejuk.
Serena menggidikkan bahu pelan. Tak tahu juga apa yang akan dia lakukan setelah ini. Tujuan utamanya sudah tercapai, kini waktunya Serena bereksplorasi mencoba segala kegiatan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.
Dalam hal ini, wawasan Helena lebih luas dari Serena. “Gimana kalau nyoba kerja part time dulu? Lumayan 'kan, bisa menghasilkan uang daripada gabut di kamar doang.”
Usulan Helena menarik juga, sayangnya Serena sedikit ragu. Pasalnya, menyandang nama Reinhart sedikit menyulitkan dirinya mencari pengalaman kerja di dunia luar. “Mau sih. Tapi kamu tau sendiri, aku sering di tolak gara-gara tau nama keluargaku,” tutur Serena dengan ekspresi menyendu.
Sebelum ini, Serena sudah beberapa kali mencoba mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi waktu luang sekaligus mencari pengalaman. Tetapi sayang, begitu mengetahui nama keluarga yang disandangnya, para pencari kerja langsung menolak dirinya secara mentah-mentah.
Helena tampak berfikir sejenak. Sebenarnya dia menerima tawaran kerja dari salah satu kenalan di kampus, boleh juga kalau Serena yang mengambil alih tawaran itu ketimbang dirinya.
“Ada nih, temen aku nyari karyawan. Dia nawarin aku kemarin. Tapi aku tolak soalnya aku lagi nggak butuh kerja. Gimana, mau ambil nggak?”
Keluarga Alfrod alias keluarga Helena sendiri bukanlah keluarga menengah ke bawah, jadi mau Helena kerja atau tidak, tabungan gadis itu tetap akan terisi penuh meski Helena tidak meminta.
Serena sedikit iri akan hal itu. Meskipun dirinya berasal dari keluarga berada, tetapi entah mengapa uang dalam tabungannya sangat minim, sangat berbanding jauh dengan jumlah saldo dalam tabungan milik Jasmine yang pernah ditunjukkan sendiri oleh sang pemilik.
Maka dari itu, Serena tidak bisa menggantungkan hidupnya hanya mengandalkan uang kiriman orang tuanya. Bekerja adalah satu-satunya opsi terbaik untuk menyambung biaya hidupnya sendiri.
“Boleh. Aku mau. Kirimin aja alamatnya, nanti aku akan ke sana.”
Ini salah satu hal yang membuat Helena bangga menjadi sahabat Serena. Serena bukan tipe anak yang mudah menyerah sekalipun hidupnya berada di titik terendah tanpa ada yang mengulurkan tangan.
“Udah kukirim. Kalau kamu mau, aku bisa nemenin kamu ke sana. Mau sekalian ngenalin kamu ke ownernya langsung,” kata Helena yang tentunya tidak di tolak oleh Serena.
Kalau bekerja ada temannya 'kan enak, lebih seru. Serena makin tidak sabar memulai lembaran barunya sebagai pribadi yang lebih mandiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
May Keisya
ortu ko gitu ya...pilih kasih😭
2025-02-06
0
D'bagas Laroze
🥰
2022-09-06
0
D'bagas Laroze
suka ....
2022-09-06
0