...Impian itu harus dijemput karena terkadang ga punya ongkos untuk naik angkot...
...❤...
Hanum masih berdiri di tempatnya saat rombongan Alex bersama teamnya, sudah menaiki mobil dan keluar dari halaman sekolah mereka.
Ia terus memandangi fotonya bersama dengan Alex dengan perasaan bahagia.
“Ngimpi!” Ponsel yang ia genggam, jatuh ke lantai saat Berlin menyenggolnya dengan sengaja.
“Berlin!” seru Hanum kesal.
“Apa?! U … dik!” olok Berlin lalu pergi berlalu begitu saja bersama dengan teman-temannya, seraya tertawa mengejek.
Hanum mengambil ponselnya, lalu mengecek apakah masih bisa dinyalakan. Ia tersenyum lega saat ponsel keluaran sepuluh tahun yang lalu itu, masih berfungsi dengan baik terlebih fotonya dengan Alex masih terlihat sangat jelas.
...❤...
“Selamat siang, Bu,” sapa Hanum ceria, pada Ibu Anita pengasuh di panti tempat tinggalnya.
“Siang juga, dah pulang, Num? Ganti baju, cuci kaki, cuci tangan lalu langsung makan.” Hanum tersenyum mendengar pesan yang sama dan berulang, untuk semua anak panti yang baru pulang sekolah.
“Bu … Kampus Ungu itu mahal tidak ya?” tanya Hanum ragu-ragu. Ia tahu untuk anak yatim piatu seperti dirinya dapat sekolah sampai jenjang SMU saja sudah harus bersyukur, apalagi bisa kuliah.
Ibu Anita menghentikan kegiatannya menjahit baju adik-adik pantinya yang robek, lalu mengangkat wajahnya menatap Hanum sendu, “Kamu pingin kuliah, Num?”
Hanum menunduk tidak menjawab. Tidak, sebenarnya ia tidak ingin kuliah. Rencana awalnya adalah setelah lulus SMU, ia akan kerja di toko Pak Soleh.
Ia tidak berani bermimpi terlalu tinggi walau kata pepatah kita harus menggantungkan cita-cita setinggi langit, tapi ia belum menemukan pengait untuk menggantungkan cita-citanya.
Namun pertemuannya dengan Alexander siang tadi, kembali menumbuhkan semangatnya. Ada keinginan untuk selalu dekat dengan pria itu. Sosoknya bagai magnet di mata Hanum.
“Kak … Kak Hanum!” Andi, adik pantinya yang berusia tujuh tahun menggoyang-goyangkan lengannya.
“Apa?”
“Ditanya Ibu tuh, Kak Hanum ngelamun terus.”
“Kamu mikirin apa sih, Num. Sampe Ibu ngomong dari tadi ga ditanggepin.” Hanum hanya menyengir, rupanya ia larut dalam bayangan wajah Alexander sampai tidak mendengarkan penjelasan Ibu pantinya.
“Ibu tadi bilang, kalo kamu bener pingin kuliah di Kampus Ungu, Ibu bisa minta bantuan pak Beni. Kamu kan pintar, Num. Mungkin bisa ikut tes jalur khusus.”
“Malu ah, Bu. Minta tolong terus,” ucap Hanum pasrah. Pak Beni adalah konglomerat di daerahnya, hampir segala bidang usaha di daerahnya ini adalah miliknya.
Pak Beni juga adalah sebagai donatur tetap dan utama, di panti mereka sejak lama. Ia sudah menyekolahkan banyak anak panti yang berprestasi, termasuk Hanum. Akan tetapi jenjang paling tinggi masih tahap SMU jika Hanum dibantu kuliah, maka ia akan jadi anak panti pertama yang berstatus mahasiswi.
“Kenapa harus malu, kamu ga nyogok untuk bisa kuliah. Kamu tetap ikut tes masuk untuk bisa diterima, hanya bedanya kamu dibantu sedikit lebih mudah agar tidak dipandang sebelah mata sama orang lain karena kamu asalnya dari panti asuhan.”
“Lagian putra sulung Pak Beni si Alexander juga masih kuliah disana, jadi dia pasti tau caranya masuk di sana,” lanjut Ibu Anita.
“Siapa, Bu??” Radar Hanum seketika langsung aktif, saat mendengar nama Alexander disebut.
“Anaknya Pak Beni.”
“Iyaaa, sapa namanya tadi??” desak Hanum.
“Alexander,” jawab Ibu Anita.
Otak Hanum bekerja dengan cepat, tidak mungkin ia menunjukan foto berdua dengan Alex pada Ibu Anita, itu sungguh memalukan.
Kira-kira ada berapa nama Alexander di daerah kecil tempat ia tinggal, pria asli di daerahnya ini biasanya bernama Anto, Andi, Joko, Kirman, Budi dan lainnya tidak ada bau-bau bulenya sama sekali. Kampus di daerahnya pun hanya satu, ya Kampus ungu itu.
“Namanya bagus banget, pasti ganteng,” pancing Hanum.
“Ibu terakhir ketemu setahun lalu. Ganteng memang, putih, tinggi, rambutnya ikal mirip bapaknya, tapi agak pendiam anaknya.” Senyum Hanum terkembang mendengar penjelasan Ibu pantinya. Sudah dipastikan ciri-ciri yang dijabarkan Ibu pantinya adalah Alexander kesayangannya.
“Gimana, mau ga kuliah di sana? Nanti Ibu tanyakan sama Pak Beni, mumpung anaknya masih kuliah di sana, tahun depan dia sudah lulus. Pegang usaha Pak Beni yang di kota,” lanjut Ibu Anita.
“Hah?!” Baru saja dia mendapat kabar gembira, tiba-tiba harus menerima kabar yang mengecewakan.
Jadi untuk apa ia masuk Kampus Ungu, jika buruannya tidak ada di sana?
“Ibu telepon Pak Beni dulu ya.” Ibu Anita mengambil ponselnya, lalu mencari sebuah nomer di dalamnya.
“Jangan!” seru Hanum. Ibu Anita memandangnya heran, “Ga usah, Bu. Hanum ga pingin kuliah. Hanum mau cari kerja aja, biar bisa belikan Ibu sama adik-adik rumah panti yang besar.” Hanum memandang Ibu pantinya penuh dengan keyakinan.
“Kamu yakin, Num? Pak Beni bisa bantu loh. Kamu kan cerdas, Num, sayang kalo ga nerusin kuliah." Ibu Anita masih bersikukuh.
“Bu, kesuksesan itu ga harus berasal dari bangku kuliah. Hanum mau secepatnya mencetak duit.” ‘Dan mencetak anak juga,’ tambahnya seraya terkikik dalam hati.
...❤...
Hanum benar-benar konsisten dengan keinginannya. Ia menyelesaikan tingkat SMU dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan ia peringkat umum dari seluruh SMU di daerahnya.
“Kamu yakin, Num?” Ibu Anita masih berusaha menahannya keluar dari panti.
Ia memutuskan pergi ke kota untuk merantau, sebenarnya tidak benar-benar merantau karena ia sudah punya tujuan khusus sesampainya di kota besar itu. Ia akan bekerja di perusahaan milik Alexander.
Selama enam bulan terakhir, ia sudah menyelidiki dan memastikan bahwa PT. Pesona Ragam Lahan, perusahaan property milik keluarga Pak Beni yang memegang kepemimpinan adalah Alexander Putra Prasojo bakal calon suaminya nanti.
Bukankah kita harus selalu optimis? Hanum terkikik membayangkan mimpinya yang terdengar memalukan.
“Eh!, kamu ini kok malah ketawa-ketawa sendiri. Lihat tuh adik-adikmu nangis kamu mau pergi, kamu malah senang.” Bu Anita menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan tak tahu dirinya itu.
“Maaf, bukan gitu maksud Hanum.” Bibirnya mencebik melihat Ibu asuhnya itu cemberut kesal.
“Hanum juga sedih harus pisah, tapi Hanum janji pasti nanti kalo pulang bakal bawa duit yang buuaaanyaaakkk buat ibu sama adik-adik.” Hanum memeluk Ibu pantinya dengan erat. Adik-adik pantinya ikut memeluk mereka berdua, seraya berteriak gembira mendengar kakak mereka akan pulang dengan membawa uang yang banyak.
...❤...
Hanum memandangi kamar kosnya yang berukuran 2x3m, cukuplah untuk dirinya hidup sendirian. Satu buah kasur kapuk di lantai tanpa dipan, dan satu lemari kecil untuk bajunya, hanya itu isinya sudah cukup mewah untuk Hanum
Dengan berbekal uang yang hanya cukup selama enam bulan, ia harus segera mendapat pekerjaan sebelum uang itu habis.
...❤❤...
Ingatkan lagi aahh ..
Love/favorite ❤
Komen bebas asal santun 💭
Like / jempol 👍
Bunga 🌹
Kopi ☕
Rating / bintang lima 🌟
Votenya doong 🥰
Mampir juga di karyaku yang lain ya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
abdan syakura
Fighting Hanum!!!
2023-04-20
0
Red Velvet
Aku juga siswi yg cerdas cielah🙈🙈🙈, tp keadaan ekonomi gak memungkinkan harus berkuliah. Apalagi kalau pakai jalur beasiswa, entah mengapa dulu aku merasa tdk pantas. Sayang memang, tp ada terselip doa kouta satu org yg gak aku ambil itu diisi oleh org yg benar2 mau mewujudkan cita2nya. Mungkin beda cerita kalau aku masih punya ayah kandung pasti beban dipundakku gak akan terlalu berat waktu itu. eh malah curhat🤭
2023-03-28
1
inayah machmud
ya ampun hanum anak sma otak nya sudah mikirin punya anak. ..🤭🤭🤭🤭
2023-01-24
0