Bu Ajeng dan Pak Hardi yang melihat gerak-gerik anaknya saling bertukar pandang, dan masing-masing saling mengerutkan dahinya dalam.
Bian terlihat masih salah tingkah ketika Kiana melayani mereka dengan secangkir teh hangat di malam itu tepat dihadapannya.
Bian memperhatikan lekat-lekat gadis yang ada di dekatnya itu. Tepat persis, Bian dapat melihat raut wajah Kiana yang terlihat tanpa beban seperti tidak memiliki masalah. Padahal siang tadi Bian memarahi gadis itu habis-habisan.
'Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat biasa-biasa saja?' batinnya tanpa memutus pandangan dari gadis yang masih ada dihadapannya.
Bu Ajeng dan Pak Hardi masih memperhatikan mimik wajah anaknya yang terlihat aneh tampak gelisah dan salah tingkah setelah kedatangan Kiana.
"Ehem!" Pak Hardi berdeham pelan untuk mengurai kecanggungan yang mungkin dirasakan oleh Kiana yang ditatap oleh Bian, anaknya.
"Makasih ya, Ki." jawab Bu Ajeng.
Kiana pun menoleh pada Bu Ajeng, "Sama-sama, Bu." Kiana bangkit dari tempatnya dan membungkukkan badannya. "Saya permisi, Pak, Bu." ucapnya sembari menunduk tak berani melihat ke arah Bian yang masih terus menatapnya keheranan.
"Si Mbok izin pulang ya, Ki?" tanya Bu Ajeng sebelum Kiana beranjak pergi seraya menyeruput teh hangat yang disajikan oleh Kiana.
"Iya, Bu. Tadi pagi Mbok bilang izin pulang untuk melihat anaknya yang sakit." jawabnya tanpa ragu.
Kiana merasa risih karena sikap Bian yang sedari tadi terus menatapnya tanpa henti. Bukan merasa percaya diri berlebih, tapi saat sekilas melirik ke arah laki-laki itu untuk menyuguhkan minuman. Tidak sengaja mata mereka saling beradu pandang sesaat yang kemudian Kiana langsung memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Wah, kamu pasti repot seharian ini ya jadinya?"
"Nggak apa-apa, Bu." jawabnya dengan senyuman yang tertarik di bibirnya.
Bian semakin salah tingkah setelah melihat senyuman dari bibir gadis itu untuk pertama kalinya. Rasa penasaran yang bersarang dibenaknya kini hilang begitu saja setelah melihat sisi lain dari gadis itu.
"Kamu udah makan?" tanya kembali Bu Ajeng, entah kenapa majikannya itu selalu memberi perhatian kepada Kiana sekecil apapun.
"Sudah," jawabnya santai, meski terasa segan. "Ibu dan Bapak mau di siapkan makan malam sekarang? Kebetulan makanan tinggal dipanaskan saja." tawarnya yang lupa melayani kebutuhan perut dari pemilik rumah itu.
"Oh, nggak perlu Ki. Kami udah makan tadi di luar sebelum pulang." jawabnya dengan tangan menyimpan cangkir di atas meja.
"Kamu udah makan, Bi? Tapi kayaknya nggak perlu Mama tawarin lagi juga kamu pasti udah makan, iya kan?" sengaja bertanya seperti itu di depan Kiana yang sudah pasti kebutuhan perut anaknya itu dilayani oleh Kiana mengingat Mbok seharian tidak ada di rumah.
Bian hanya diam tidak menyahuti perkataan Mamanya. Laki-laki itu diam seribu bahasa seolah terus merasakan hal yang aneh tengah terjadi pada dirinya.
Bu Ajeng pun akhirnya kesal karena pertanyaannya tidak direspon sama sekali oleh Bian.
"Lihat Pa, kelakuan anak Papa bikin emosi Mama aja. Dari tadi aneh, dia diam terus tanpa sebab." ungkapnya mengadu pada suaminya.
"Anak Mama juga itu, jangan lupa, Ma." santainya sesumbar pada istrinya. Bu Ajeng hanya mencebikkan bibirnya mendengar perkataan suaminya yang menohok membenarkan dalam hati.
Kiana yang melihat drama keluarga di rumah itu merasa segan dan memutuskan untuk undur diri setelah kembali berpamit.
"Bi?" panggil Bu Ajeng pada anaknya, yang tak henti seperti memperhatikan Kiana yang mulai menjauh pergi dari hadapan mereka.
"Bi!" panggil kembali olehnya, namun yang dipanggil tak mengindahkan seolah tidak mendengar.
"Ya Tuhan... ini anak kenapa dari tadi dipanggil nggak nyahut sama sekali?" jengkel dengan kelakuan anaknya yang memang selalu membuat kedua orang tuanya naik pitam.
Pak Hardi hanya terkekeh mendapati istrinya terlihat emosi dengan kelakuan Bian.
"Sabar, Ma." ucapnya menenangkan sembari mengusap lengan istrinya, tidak lupa kekehan pelan masih keluar dari mulutnya.
"Ck, Papa nih malah ngeledek!" decaknya semakin membuatnya kesal. Pak Hardi langsung mengatupkan mulutnya terdiam dengan sentakan istrinya.
"Bian!" sentak Bu Ajeng dengan nada tinggi menggelegar ke penjuru ruangan.
"Apa sih, Ma?" santainya Bian merasa tidak bersalah. Menoleh malas ke arah ibunya.
"Ngelamunin apa kamu dari tadi bengong aja. Kesambet kamu?"
"Hush! Ngomong sembarangan, mau anaknya kesambet beneran?" hardik Pak Hardi mengingatkan dengan perkataan sesumbar istrinya. "Kamu kenapa dari tadi ngelamun terus? Ada masalah kamu?" kini beralih pada Bian secara langsung.
"Ada," jawabnya datar.
"Masalah apa, Bi? Kenapa kamu nggak ngomong sama Mama? Kenapa kamu diem aja? Cerita, Bi. Mama mau tahu itu kamu kenapa sampai kepikiran begitu?" cecarnya bertubi-tubi sampai Bian dan Pak Hardi yang berada didekatnya menutup telinga karena suara yang ditimbulkan Bu Ajeng.
"Mama nggak perlu khawatir berlebihan kayak gitu sama aku," sela Bian agar mamanya benar-benar berhenti berbicara.
"Cuma satu masalah Bian." lanjutnya kembali dengan tampang yang serius.
"Apa? Ngomong dong sama Mama!" tidak sabar dengan rasa penasaran terhadap anaknya. Khawatir itu sudah pasti bagi seorang ibu.
Bian bangkit dan berdiri dari duduknya. Dia melangkah pergi. Meninggalkan kedua orang tuanya yang terdiam melihat tingkahnya yang selalu membuat mereka menggelengkan kepala.
Baru saja menjauh beberapa langkah, Bian membalikkan badannya dengan tampang yang datar dibuat-buatnya.
"Aku ngantuk, mau tidur. Mama berisik." setelah mengatakannya, ia pergi begitu saja yang membuat Bu Ajeng mencebik dan berdecak kesal. Pak Hardi terlihat tertawa mendengar pernyataan aneh anaknya.
"Anak nakal! Awas aja nanti kalau ngerengek manja lagi sama Mama." ujarnya, mungkin tidak dihiraukan oleh Bian yang sudah menghilang dari penglihatannya.
"Anak Mama itu!" ucap Pak Hardi dengan gelak tawa yang masih belum mereda.
Bu Ajeng hanya mendelik ke arah suaminya yang kemudian bersungut. "Ngidam apa aku dulu sampai Bian seperti itu?" gumamnya pelan.
"Pa..." rengeknya pada Pak Hardi yang masih terpingkal-pingkal dengan tawa yang membuatnya senang malam itu. Gemas dengan rengekan sang istri meski usia sudah tak mempengaruhi keromantisan mereka berdua.
***
Bian merebahkan badannya di kasur empuk yang nyaman di kamarnya. Netranya menatap langit-langit kamar dengan lekat menembus ingatan beberapa waktu yang lalu.
Rasa kantuk yang seharusnya menjalar di saat itu tidak nampak ia rasakan karena seharian ini ia habiskan untuk tidur. Hingga malam menjelang waktu tidurnya, lelaki itu kembali gelisah tidak bisa tidur.
Isi pikirannya menerawang menjelajah dari waktu ke waktu. Kini pikirannya tertuju pada salah satu gadis yang membuatnya kini merasakan gelisah tak menentu.
"Gadis itu--" gumamnya pelan. Dia membalikkan arah badannya menghadap ke arah jendela yang menggambarkan sinar rembulan yang indah malam itu. Ia mengesah pelan sembari mendekap gulingnya.
"Kiana..." ucapnya kembali, sorot matanya melihat sinar rembulan yang begitu terang memancarkan keindahan sang dewi bulan.
"Gadis yang unik, menarik!" ucapnya tidak sadar mengatakan sesuatu tentang Kiana. Bibirnya tertarik menyunggingkan senyuman.
Namun, dengan cepat Bian menggelengkan kepalanya menyadari kebodohannya tentang gadis itu.
"Huft, kenapa aku terus memikirkan gadis bodoh itu?" sesalnya pada diri sendiri.
"Apalagi gadis itu sama sekali tidak menarik. Hanya gadis bodoh dan mudah dikelabui." pendapatnya menguasai isi pikirannya.
Bian terkekeh pelan saat tiba-tiba dia teringat dengan kelakuannya yang membuat Kiana menangis karena keusilannya.
"Tapi, sangat menyenangkan membuat usil pada pembantu baru itu." ungkapnya, dia kini terlentang untuk kembali melihat langit-langit kamarnya yang temaram.
"Sikap dan cara berbicaranya memang seperti seorang gadis yang bodoh."
"Apalagi pakaiannya, Ya Tuhan... apa dia dari zaman reformasi yang tersesat di zaman ini? Benar sangat kampungan dan jauh dari kata modern! Ck, lucu sekali gadis itu." decaknya menghakimi Kiana tanpa tahu malu.
Ketika sedang asik merencanakan apa yang akan dia lakukan besok pada gadis itu. Seolah akan menjadi sebuah kegiatan yang akan membuatnya merasa senang mendapatkan hiburan baru dirumahnya.
Ponselnya berdering tanda seseorang menghubunginya. Bian meraih ponselnya, melihat siapa yang menghubunginya malam itu.
"Elang?" keningnya mengkerut, heran mengapa temannya menghubungi dirinya selarut itu.
"Ngapain nih anak ganggu orang malam-malam kayak gini? Awas aja kalau dia nelpon bahas yang nggak penting." rutuknya kesal.
"Ya, halo Lang, apa? Besok malam? Gue gak bisa memastikan, ok, nanti gue kabari lagi!" jawabnya sebelum menutup sambungan telepon dari Elang temannya.
"Dasar temen kampret! Masih inget aja besok hari apa. Liat aja kalau mereka pada macem-macem." gerutunya kesal pada kabar yang dia terima saat itu.
Bian mencoba untuk tidur meski hatinya tidak tenang, khawatir jika besok ia akan terlambat datang ke kantor dan tidak mau mendapat omelan dari atasannya. Yaitu ayahnya sendiri.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments