Pagi siang menjelang, suasana rumah besar itu begitu lenggang dan tenang. Bagaikan rumah tak bertuan, semua penghuni tak terlihat batang hidungnya satu pun.
Tak terkecuali satu orang. Dia Bian. Laki-laki dewasa itu kembali turun dari peraduannya setelah menghabiskan beberapa jam di kamarnya untuk beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh untuk sampai ke tanah air tercinta.
Suara derap langkahnya tak terdengar meski perawakannya tinggi tegap. Bagai semilir angin yang menghembus pelan, kini laki-laki jangkung itu tiba di bagian dapur untuk mengambil sesuatu yang dapat mengganjal perutnya yang tetiba berbunyi minta untuk diisi.
Bian tak sempat atau lebih tepatnya merasa malas saat pagi tadi ditawari sarapan bersama oleh kedua orang tuanya ketika baru saja dia pulang.
"Ma, Pa, Bian pulang nih!" ucapnya saat memasuki ruang makan dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan.
Sontak saja membuat Pak Hardi dan Bu Ajeng menoleh pada suara yang begitu mereka kenali seraya menarik senyum merekah saat melihat putra kesayangan mereka kembali pulang.
Tapi, baru saja...
"Masuk ke dalam rumah itu ngucap salam, bukan teriak-teriak gak jelas! Kebiasaan kamu, Bi!" omel Bu Ajeng pada Bian.
Yang di omeli hanya memasang wajah datar, merasa tak berdosa sedikit pun.
"Kok udah dateng aja? Katanya--" ucap Pak Hardi tak selesai, karena Bian cepat menyanggah perkataan Papanya.
"Pulang salah, nggak pulang apalagi! Makin salah aja Bian makin gede." rutuknya, dia mengambil posisi duduk berdampingan dengan Mamanya. Wajahnya terlihat lelah karena sehabis melakukan perjalanan jauh.
"Liat tuh anak Mamah, makin gede makin pinter aja jawab perkataan orang tua." tukas Pak Hardi.
"Anak Papah juga itu," jawab Bu Ajeng santai menimpali suaminya.
Bian hanya terdiam melihat perdebatan kecil kedua orang tuanya. Tubuhnya sangat lelah pagi ini, rasanya ingin saja terbang untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai atas karena dirinya terlalu malas untuk sekedar melangkahkan kakinya yang sudah terlanjur nyaman dengan duduknya.
"Pekerjaan lancar?" tanya Pak Hardi yang melihat wajah kusut anaknya. "Papa harap selama di sana kamu memang benar-benar melakukan apa yang harus semestinya dilakukan, Bian." ungkapnya melirik sejenak ke arah anaknya kemudian kembali pada sarapannya.
"Maksud Papah apa?" tanya Bian menjurus pada hal yang Pak Hardi bicarakan. Dia sudah tahu apa yang dimaksud dari ungkapan ayahnya padanya.
"Kamu pastinya lebih tahu apa yang Papah maksud barusan, bukan?"
"Pah, jangan sekarang. Kasian Bian baru pulang, pasti capek." sergah Bu Ajeng menengahi pembicaraan yang sudah dipastikan berujung perdebatan antara ayah dan anak itu.
"Memangnya Bian melakukan apa sampai Papa berfikir seperti itu?" terpancing dengan perkataan ayahnya, Bian mendengus kesal memasang tampang datar meski apa yang dikatakan Papanya memang benar adanya. Tak berani menatap mata lelaki paruh baya yang ada dihadapannya karena Bian yakin dengan sorot mata ayahnya itu akan tahu apa yang sudah Bian lakukan.
Selama ini, Bian selalu menurut pada apa perintah kedua orang tuanya yang selalu di tetapkan padanya. Tak pernah sekalipun Bian menolak bahkan mengecewakan atas apa yang ditanggung jawabkan padanya.
Tapi, dari semua yang sudah menjadi kewajiban terhadap kedua orang tuanya dan juga perusahaan, di usianya yang kini menginjak 27 tahun. Bian merasa sudah merasa cukup dewasa atas apa yang akan dia putuskan untuk masa depannya nanti di luar dari mengurus perusahaan keluarganya.
Masalah percintaan menjadi hambatannya. Sering kali Bian mendapatkan ketidakadilan dari sisi hidupnya itu.
Entah mengapa dan alasan apa kedua orang tuanya itu tak pernah menyukai bahkan secara terang-terangan tidak merestui hubungannya dengan seorang wanita yang dia rasa cukup dia cintai setelah menjalin hubungan selama 1 tahun lebih itu.
Dan disinilah Bian memberontak. Merasa apa yang seharusnya dia pertahankan untuk hubungannya, sehingga dia memperlihatkan sisi kenakalannya bentuk untuk mendapat perhatian.
"Papah sudah katakan berulang kali dan tegaskan sama kamu, Papa nggak--"
"Bian cepek, mau istirahat!" selanya cepat menghindari Papahnya yang dia tahu pasti akan membahas mengenai hubungan bersama kekasihnya.
"Bi... makan dulu, nanti kamu sakit," rayu Bu Ajeng menengahi. Melihat putranya mulai menjauh naik ke lantai atas menghiraukan perkataannya. "Papah sih ah, apa gak bisa kita bahas dilain waktu!" rutuknya pada Pak Hardi.
"Biarkan saja dulu, Mah. Suatu hari nanti Bian pasti akan mengerti apa yang Papah lakukan itu untuk kebaikannya." jawabnya santai melirik sekilas istrinya yang mendengus kesal.
Dan kini beberapa jam berada di kamar hanya berbaring tanpa tertidur membuat perutnya kian meronta terasa perih. Menghindari bertatap muka dengan kedua orang tuanya adalah pilihan Bian pagi itu meski rasa rindu dia rasakan.
Tapi rasa kesalnya pada sang ayah, membuat dia terus berpikir dalam dengan perkataan Papahnya selama ini terhadap hubungannya bersama kekasihnya.
Dan Bian mulai sadar akan hal itu. Dia mulai mengurai benang kusut yang selama ini dia anggap hanya sebatas omong kosong belaka.
Bian pusing dan merasa stres bila menyangkut pautkan itu semua dengan kenyataan yang dia lihat oleh mata kepalanya sendiri tempo hari sebelum jadwal kepulangannya.
Tak tahan dengan perutnya yang semakin dirasa semakin terasa perih.
"Laper banget..." gumamnya pelan seraya melihat-lihat isi kulkas dengan begitu teliti.
Tak cukup lama, akhirnya Bian pun mendapatkan sesuatu untuk dia makan. Mengambil sebuah puding mangga bersaus fla lezat, kini laki-laki itu menyuapkan makanannya dengan begitu lahap ke dalam mulutnya.
"Enak juga, si Mbok tumben pinter masak yang kayak ginian." ucapnya pelan dengan mulut yang penuh memuji makanan yang tengah dia santap.
"Hemm... ini sih nggak ada duanya. Enak, persis sama rasanya yang sering dijual di cafe." Gumamnya seraya menghabiskan satu loyang penuh puding mangga yang sangat dia sukai.
Satu masalah yang dia hadapi kini telah sedikit berkurang. Perutnya kini terisi makanan meski belum sepenuhnya.
Tidak sengaja melihat seseorang datang, Bian memperhatikan gerak dan gesturnya. Kiana berjalan santai sembari membawa teko dan sebuah nampan yang berisi cangkir ditangannya.
Terkejut, sudah pasti saat melihat sosok yang sedang berada di dalam ruangan tersebut. Bian dengan aura dinginnya dan menatap menyelidik seolah sedang menguliti Kiana dengan tatapan tajamnya.
Kiana risih diperlakukan seperti itu oleh anak majikannya, sekaligus takut jika khawatir dia akan mendapatkan lagi omelan dengan nada yang sedikit membuat hati Kiana sakit.
Kepalanya terus menunduk tak berani menatap wajah yang sepertinya terus mengikuti arah geraknya. Mungkin apa yang dia lakukan di dapur tersebut tak luput dari pandangan Bian yang terus memperhatikannya.
"Anak baru kamu?" tanya Bian tiba-tiba dalam keheningan diantara mereka.
Kiana pun menoleh pada Bian yang bertanya pada dirinya. Masih dengan rasa kekhawatirannya, Kiana menjawab dengan terbata, "I-iya, Pak." jawabnya singkat.
"Pantes nggak pernah liat," ucapnya ketus seraya memindai kembali penampilan Kiana yang dinilainya kampungan itu.
Norak! Mungkin itu yang terlintas dipikiran nya saat melihat Kiana.
Entahlah, Bian tak pernah seusil itu pada seseorang. Merasa tertarik pada sosok gadis yang ada dihadapannya untuk dia usili dengan menunjukan sikap arogannya dan menakutinya.
"Dari mana?" tidak disangka Bian kembali melayangkan pertanyaan pada Kiana yang sudah mengambil langkah seribu untuk membangun tembok pertahanannya.
"S-sukabumi, dari desa." jawabnya hati-hati tidak mau melakukan hal bodoh lagi yang membuat dirinya akan mendapat masalah dengan si tuan muda.
Bian menyeringai tersenyum sinis, melihat kembali penampilan Kiana dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
"Mbok mana? Saya laper mau makan!" tanyanya ketus seraya menyimpan sendok yang dia pakai untuk memakan puding. Dan anehnya meski sudah memakan begitu banyak, perutnya masih terasa lapar saja.
"Pagi tadi izin pergi keluar menemui keluarganya, Pak." melihat sekilas pada Bian, "Saya siapkan agar Bapak bisa cepat makan," tawarnya dengan cekatan mulai memanaskan makanan yang ada.
"Cepet, saya nggak suka kalau harus nunggu lama!" tukasnya dan bangkit meninggalkan Kiana yang tengah berperang di dapur dengan ketakutannya untuk menyiapkan makanan si tuan muda.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
re
Next
2022-05-10
2