...༻❂༺...
Ethan terkekeh mendengar gumaman Megan. Dia memilih bungkam sampai gadis itu sadar sendiri. Kebetulan Ethan juga baru saja mendapat pengobatan, karena beberapa luka kecil di tubuhnya.
Megan tampak mengerjapkan mata beberapa kali. Dia mengumpulkan kesadarannya. Lama-kelamaan, Megan bisa melihat dengan jelas. Ia perlahan merubah posisi menjadi duduk.
"Apakah aku di rumah sakit?" ujar Megan sembari mengamati selang infus yang tertempel di tangan.
"Ya, ini di rumah sakit. Setidaknya tempat ini bukan neraka kan?" sahut Ethan. Ia terlihat memegangi tangannya yang telah diperban.
"Kau!" Megan melayangkan sebuah bogem ke arah Ethan. Serangannya sukses mengenai salah satu bahu Ethan yang berotot.
"Bukankah harusnya aku mendapatkan ucapan terima kasih atau hadiah? Kenapa kau memukulku?!" protes Ethan tak terima.
Megan tidak memperdulikan perkataan Ethan. Dia justru sibuk mengacak-acak rambutnya frustasi. Kenapa Ethan selalu saja membuat rencana bunuh dirinya gagal? Apakah ini semacam takdir atau nasib sial?
Kini Megan tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya mematung dalam keadaan mencengkeram kepala dengan dua tangan.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Ethan pelan.
Megan perlahan mendongakkan kepala. Lalu mengarahkan bola matanya ke arah Ethan. "Aku akan merasa lebih baik jika kau pergi!" usirnya.
"No problem! Lagi pula dari tadi aku memang ingin pergi." Ethan bangkit dari tempat duduk. Kemudian pergi meninggalkan Megan.
Nafas dihela cukup panjang oleh Megan. Dia kembali merebahkan diri ke kasur. Bergumul dengan pikiran kosong.
Perlahan malam berubah menjadi siang. Matahari menampakkan sinar dari balik jendela. Megan yang tidak terpejam semenjak siuman, masih telantang di atas kasur. Dia tidak bergerak seperti sebuah patung.
Sreet!
Gorden pembatas mendadak terbuka. Tampak seorang wanita tua yang menyapa Megan dengan senyuman. Wanita tua itu duduk di ujung kasur dengan kedua kaki yang menjuntai. Dia juga memiliki perban di bagian kepala seperti Megan.
"Apa kau sendirian juga?" tanya si wanita tua. Dia berbicara sambil menggunakan bahasa isyarat tubuh. Bahasa yang sering digunakan oleh para penderita tuna rungu atau tuna wicara.
Megan sama sekali tidak menggubris. Dia hanya sempat melirik selintas. Sebab gerakan tubuh sang wanita tua membuat atensinya teralih sebentar. Selanjutnya, Megan berlagak sibuk memandangi kuku-kukunya yang berwarna biru.
"Sepertinya begitu. Tidak ada orang yang menemanimu di sini. Jadi mungkin kita bisa saling berteman, hehe..." Si wanita tua cengengesan dengan gigi atasnya yang sudah ompong.
Megan menutup rapat matanya. Lalu berbalik membelakangi sang wanita tua. Namun tetap saja wanita tua di sebelahnya itu tidak berhenti berceloteh.
"Kenalkan namaku Clara. Aku tinggal sendirian di kota ini. Sedangkan anak-anakku... aku tidak tahu dimana mereka. Apakah aku memilikinya? Ah, benar! Mungkin mereka sudah mentelantarkanku yang bodoh ini." Clara bercerita sambil sedikit tertawa. Seakan apa yang diceritakannya adalah sesuatu hal lucu.
Megan mendengus kasar. Dia tidak tahan lagi. Megan bangkit dan segera melepas infusnya secara paksa. Kemudian melenggang menuju pintu keluar.
"Wait! Jangan tinggalkan aku!" Clara sontak turun dari kasur. Dia langsung jatuh tersungkur. Infus yang belum sempat dilepas, membuat darahnya tersedot ke dalam selang. Kini Clara merintih kesakitan. Tetapi dia tidak berhenti memanggil Megan.
Orang-orang mencoba membantu Clara. Namun Clara malah mengamuk tidak karuan. Dia mendorong orang-orang yang berniat membantunya.
Megan yang sudah berada di luar ruangan, masih dapat mendengar keributan. Dia berusaha tidak peduli. Padahal dari lubuk hati terdalam, Megan merasa agak cemas.
Setelah menyaksikan pihak medis berlarian menuju ruangan, barulah Megan menghentikan langkah. Dia menggertakkan gigi sambil memutar tubuh. Alhasil Megan masuk kembali ke ruangan dimana Clara berada.
"I-itu dia... Aku pikir dia adalah putriku." Clara langsung menyadari kehadiran Megan. Jari telunjuknya mengarah kepada Megan. Nampaknya dia tidak hanya menderita ketulian, tetapi juga demensia.
"Apa benar itu?" tanya seorang perawat. Menuntut jawaban.
"Benar, aku adalah putrinya. Kalian bisa pergi!" Megan mengusir semua orang yang bergerombol. Dia segera menghampiri Clara. Lalu membantunya duduk ke kasur.
"Sebaiknya aku mengganti infus milik ibumu," ujar perawat yang bertugas. Dia segera mengganti infus Clara dengan yang baru. Sebab yang lama, kebetulan sudah terkontaminasi dengan darah Clara.
Clara membawa masuk Megan ke dalam pelukannya. Dia tersenyum bahagia sambil mengelus pundak Megan.
Sedangkan Megan, memasang ekspresi datar. Seakan pasrah terhadap apa yang akan dilakukan Clara kepadanya.
"Breakfast time..." pelayan rumah sakit baru saja masuk. Dia membawa banyak makanan sehat khusus untuk semua pasien.
Megan mengambil kesempatan untuk melepas dekapan Clara. Dia berpura-pura mengambil makanan yang diberikan oleh pelayan.
"Ini, kau... ha... rus... ma... kan..." Megan melakukan bahasa isyarat dengah dua tangan dan mulut.
"Aaaa... hahaha!" Clara tergelak senang. Firasatnya semakin kuat saat melihat kepintaran Megan menggunakan bahasa isyarat.
"Oh my god!" keluh Megan sembari membuang muka sejenak. Ia mencoba bersabar. Meskipun begitu, gadis sepertinya masih memiliki rasa empati yang kuat. Dirinya tidak tega meninggalkan Clara begitu saja.
"Ayo... kita... makan... bersama..." Megan kembali memberitahu Clara. Ditambah dengan senyuman yang dipaksakan.
"Suapi aku. Aaaa...." Clara membuka lebar mulutnya. Berharap Megan mau menyuapinya makanan.
Megan menggedik-gedikkan salah satu kakinya. Lalu mengacak-acak rambut pirangnya yang tergerai. Anehnya, dia tetap rela menyuapi Clara makanan. Walau raut wajahnya sedari tadi terlihat ditekuk.
Selang sekian menit berlalu, dua orang pria berbadan kekar datang. Tampilan mereka tidak asing untuk Megan. Sudah jelas mereka adalah pengawal Kevin yang mendapat serangan Megan kemarin malam. Siapa lagi kalau bukan Morgan dan Adam. Keduanya tampak membawa buket bunga serta bingkisan besar. Buket yang dibawa, besarnya sampai menutupi sebagian tubuh Adam.
Megan terperangah. Dia tentu terkejut dengan kehadiran Morgan dan Adam. Bukannya menerima tuntutan, tetapi dirinya justru diberi hadiah?
"Apa kalian salah orang?" tanya Megan dengan mimik wajah terheran.
"Tidak, Miss. Kami dan..." Morgan menengok ke sekitar sejenak. Kemudian menangkup mulut dengan satu tangan. Dia berbisik, "Tuan Kevin Winters memohon maaf atas apa yang terjadi kemarin malam."
"Apa?" Megan semakin dibuat bingung. Dia menggaruk bagian belakang kepala yang tiba-tiba terasa gatal.
"Kami benar-benar tulus. Ini adalah tanda bukti ketulusan Tuan kami." Adam memberikan buket bunga yang sedari tadi ada dalam genggamannya.
Kini Megan yang harus kehilangan sebagian tubuhnya, akibat ditutupi oleh buket bunga besar tersebut. Untung saja buketnya tidak berat, jadi Megan mampu mengangkatnya sendiri.
"Wah, mawar merah. Aku sangat suka mawar merah!" Clara terpesona melihat buket bunga yang dipegang Megan. Semuanya berisi seribu bunga mawar merah.
"Ini, Clara! Kau bisa mengambilnya. Aku punya memori buruk dengan mawar merah." Megan meletakkan buket bunga ke kasur Clara.
"Dan satu hal lagi. Tuan Kevin juga membelikanmu buah-buahan, cokelat, kue, sepatu kets dan banyak lagi." Morgan menyerahkan beberapa bingkisan lain.
Megan melirik tajam Megan dan Adam. Tatapannya penuh akan kecurigaan. "Kalian melakukan ini karena ada maunya bukan?" timpalnya, yang dapat mencium adanya udang dibalik batu.
Catatan kaki :
Demensia : Penyakit pikun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
zeaulayya
Up lagi thor ,
2022-02-24
1