Ilona terduduk di pinggiran toko sambil mengunyah roti yang dibelinya. Tanpa sengaja, ia melihat seorang gadis yang sedang merengek manja pada Ibu dan Ayahnya. Seketika, wajahnya berubah sendu. Ia ingin merasakan, bagaimana rasanya memiliki orang tua.
"Kenape wajah lu? Pengen kayak dia?"
Mendengar suara tersebut, Ilona langsung melirik tajam. Dia kenal, siapa pemilik suara tersebut. Seorang preman dan seorang temannya lagi yang sering mengganggunya.
"Bukan urusan lo berdua!" Jawabnya ketus.
"Idih, ketus amat. Bilang aja lo pengen kayak dia. Jangan mimpi lu! Orang tua lu udah buang lu ke jalanan. Jangan harap mereka bakal pungut lu lagi!"
Ilona mengepalkan tangannya saat kedua preman tersebut menyinggung orang tuanya. Bagaimana pun, entah mereka masih hidup atau sudah mati, baik atau jahat, tetap saja mereka adalah orang tuanya. Ia rasa, mereka memiliki alasan sehingga dia dibiarkan tinggal di jalanan seorang diri seperti ini.
"Lo berdua bisa diam, gak?! Gue gak butuh ceramah lo berdua!" Ilona mencengkram kuat kaos yang digunakan preman tersebut.
"Hehehe... Lo gak bisa diajak becanda. Lepasin gue, ya?" Ujar preman tersebut. Ia sudah merasakan bagaimana Ilona menghajarnya. Ia tidak ingin merasakannya lagi.
"Sekali lagi lo nyingung orang tua gue, gue habisin lo! Pergi sana!" Ilona mendorong preman itu dengan kasar. Membuatnya tergopoh bangun dan berlari menjauh bersama temannya.
Ilona kembali terduduk di tempat sebelumnya. Mengabaikan tatapan beberapa orang yang mendatangi toko. Ia menatap setengah roti yang dimakannya tadi. Tak ada niat untuk memakannya lagi.
***
Ayyara menutup bukunya dengan cepat, lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak sempat menyiapkan bukunya semalam. Deon dan Gian membuatnya begadang meringkas materi pelajaran keduanya.
"Heh, ngapain lo duduk disini?" Deon terlihat kesal saat Ayyara ikut duduk sarapan bersamanya dan Gian.
"Ka-kak..."
"Lo gak dengar Deon bilang apa kemarin? Gak usah manggil kita kakak! Lo gak pantas!" Ucap Gian.
"Udah sana! Untuk satu minggu kedepan lo gak usah sarapan di rumah. Kalo mau sarapan di rumah, lo tunggu kita berdua ke sekolah dulu baru lo boleh sarapan. Itu hukuman buat lo karena udah nyakitin Vanya." Tegas Deon.
"Satu lagi. Seminggu kedepan juga, lo gak dibolehin minta anter supir. Naik kendaraan umum aja." Timpal Gian.
Ayyara hanya menunduk mendengar ucapan kedua kakaknya. Benar-benar menyakitkan. Kedua kakaknya malah membela orang lain dari pada dirinya. Ditambah, dialah korbannya bukan Vanya.
"Ngapain masih disini? Sana pergi!"
Ayyara segera bangun dan kembali menenteng tasnya. "A-aku be-berangkat dulu."
Ayyara segera keluar rumah. Ia bertemu supir yang sudah bersiap untuk mengantarnya. Ia mendekati supir tersebut. "P-pak. Ng-ngak usah an-anterin A-Ayya. A-Ayya naik a-angkot."
"Aduh neng, gimana ya? Saya di suruh tuan sama nyonya buat jagain eneng. Masa saya ngelanggar, neng?"
"G-gak papa, p-pak."
"Tapi neng," Ayyara menggeleng kepalanya. Membuat pak Tanto menghela nafas pasrah.
"Ya sudah, neng. Neng Ayyara hati-hati!" Ayyara mengangguk mengiyakan perkataan pak Tanto. Ia berjalan kaki menuju jalanan yang biasa dilewati angkot.
Cukup lama ia menunggunya, ia mendapatkan angkot dan segera menumpangnya menuju sekolah. Karena jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh dan mengalami kemacetan, Ayyara pun terlamabat. Pintu gerbang sekolah sudah di tutup.
"Eh, eneng telat ya? Maaf ya, neng gak dibolehin masuk."
"Ta-tapi, p-pak?"
"Ayyara!" Suara pak Bagus terdengar. Ia menghampiri Ayyara yang berada di luar pagar. Ia berdiri sejajar dengan satpam sekolah sambil menatap tajam Ayyara.
"Buka pintunya, pak!" Perintah pak Bagus yang langsung dilaksanakan.
"Kamu kenapa terlambat?!"
"Sa-saya ke-kesiangan, p-pak." Bohongnya. Ia tidak mungkin memeberitahu gurunya mengenai hal sebenarnya. Dan belum tentu juga pak Bagus itu peduli padanya.
"Cepat ke kelas! Simpan tasmu, lalu bersihkan toilet yang ada di lantai dua. Itu hukuman buat kamu."
"I-iya, p-pak."
Ayyara segera ke kelasnya, memberitahukan guru mata pelajaran yang sedang mengajar di kelasnya, lalu bergegas menuju toilet yang berada di lantai yang sama dengan kelasnya.
Ayyara mulai membersihkan toilet. Begitu hukumannya hampir selesai, Vanya dan Elen masuk menggunakan sepatu yang kotor. Membuat lantai yang sudah Ayyara bersihkan menjadi kotor kembali. Ayyara yang melihatnya pun menatap keduanya.
"Apa lo? Mau marah?" Vanya melotot ke arah Ayyara. Gadis itu hanya menggeleng dan kembali membersihkan lantai yang kotor.
Namun, air yang digunakannya tak sengaja tumpah dan malah mengenai sepatu Vanya dan Elen.
"Aaa... Jijik jijik," Teriak keduanya berusaha menghindari aliran air tersebut.
"Heh, lo sengaja ya numpahin?" Bentak Elen.
"E-enggak."
"Kurang ajar emang lo ya," Vanya maju dan langaung menampar Ayyara.
Plak.
"Ayo, Elen! Gue udah gak tahan disini." Vanya dan Elen segera keluar sambil menahan rasa jijik karena sepatu yang mereka kenakan basah oleh air sisa bersih-bersih toilet.
Ayyara hanya bisa membersihkan kembali tempat itu sembari menahan air matanya. Pipinya terasa panas oleh tamparan Vanya.
Setelah selesai, Ayyara hendak keluar. Namun, ia malah bertemu Kenzo yang masuk dan langsung mencengkram kuat rahangnya.
"Ka-kak,"
"Apa lo? Lo apain Vanya? Gue udah sabar buat gak nyakitin lo karena masalah kemarin. Tapi, gue gak terima kelakuan lo hari ini."
"Gue muak tau gak, liat lo yang selalu buat keributan. Lo sadar gak, lo itu jelek?! Nggak usah cari muka sama orang-orang." Kenzo melepaskan cengkramnya dengan kasar.
Dia lalu beralih menarik rambut Ayyara. "Lo dengar! Gak usah ngejar-ngejar gue! Gak usah cari perhatian gue! Karena lo, cewek culun, gagap juga jelek gak pantas buat gue! Bukan. Bukan cuman gue. Tapi, semua cowok gak pantas buat lo. Salah. Lo yang gak pantas buat cowok manapun." Kenzo melepas tarikannya kemudian meninggalkan Ayyara.
Maafin Ayyara, kak. Ayyara udah buat kak Kenzo gak nyaman. Batin Ayyara.
Gadis itu mengusap air matanya lalu keluar dari tempat itu. Karena kelelahan dan merasa gerah, Ayyara berdiri di balkon sekolah. Menghirup udara segar yang berhembus pelan.
Tiba-tiba saja, sepasang tangan dengan teganya mendorong Ayyara. Membuat gadis itu terlempar dari balkon. Ayyara sempat berpegang pada pembatas balkon dan melihat pelaku yang mendorongnya. Berharap dia berbaik hati dan menolongnya kembali.
Namun ia salah. Orang itu malah tersenyum ke arahnya, dan melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. Lalu ia menginjak tangan Ayyara yang berpegangan pada pembatas balkon. Membuat pegangannya melemah dan terjatuh.
Maafin Ayyara, Ma, Pa. Batinnya.
Brukkk...
Suara itu terdengar saat tubuh Ayyara menyentuh lapangan futsal. Seluruh siswa dan guru segera melihat dan menghampirinya. Menyaksikan tubuh Ayyara yang sudah berlumur darah.
***
Ilona baru selesai mengamen dan kembali berdiri di pinggir jalan ketika lampu merah berpindah menjadi hijau. Sambil memegang alat untuk mengamennya, Ilona menunggu lampu merah selanjutnya.
"Ilona!" Dua orang preman yang mengganggunya tadi kembali menemuinya. Kali ini mereka tidak sendirian. Keduanya membawa komplotannya. Termasuk dua preman yang mengambil tas milik ibu-ibu tempo hari.
"Gak ada kerjaan lo berdua? Gangguin gue terus." Ujarnya. "Lo semua juga. Ngapain ikut ni bocah dua? Mau ngeroyok gue?"
"Ternyata lu benar. Ni cewek ngeselin." Ucap seorang preman yang dibawa dua preman tersebut.
"Udah sana pada pulang! Gue males ladenin kalian."
"Kita bakal balik. Tapi, lu serahin dulu uang lu buat kita."
"Coba lo ulang! Gue gak dengar!" Ucap Ilona. Ia begitu kesal mendengar ucapan preman tersebut. Enak saja dia. Mengambil hasil kerja keras orang.
"Serahin uang lu!"
"Cih. Enak benar lo. Gak akan gue kasih."
"Lu tau nggak kenapa kita terus gangguin lu?"
"Bodo amat. Gak mau tau gue."
"Lu nyari uang di wilayah gue!"
"Bodo! Emang warisan moyang lo apa, ngatain wilayah lo?"
Si preman yang sudah tidak bisa menahan emosi langsung mendorong Ilona. Membuat gadis itu bergerak masuk ke jalan. Tanpa ia sadari, sebuah mobil melaju kencang dari arah kanannya. Hingga,
Brakkk...
Tubuh Ilona terlempar bebarapa meter dari tempat semula. Semua yang melihatnya terkejut, termasuk Reka. Anak itu berlari menghampiri Ilona.
"Kak. Kak Ilona. Bangun, kak! Jangan nakutin Reka, kak." Ucap anak itu, mulai menangis. Ia terus menggoyangkan tubuh Ilona yang sudah dibasahi oleh darah gadis itu sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Siti solikah
kayaknya seru
2025-01-28
0
Ibuk'e Denia
aq mampir thor
2023-12-10
1
Ririn Santi
kerasnya hidup di jalanan
2023-06-20
2