🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Wanita bertubuh kurus dengan postur semampai, tengah berjalan keliling sebuah perkampungan. Ia terlihat bersemangat, meski peluh terlihat membasahi pelipisnya.
"Mbak, Susi. Kita duduk di sana dulu yuk," ajak Yupi salah satu teman sekelompok Susi. Gadis manis bertubuh mungil, yang baru setahun lulus SMU itu, hendak mengadu nasibnya bekerja di Ibu Kota.
Susi hanya mengangguk menanggapi ajakan gadis itu, sementara tiga orang kawan mereka yang lain sedang membeli es serbuk, yang di tuang di plastik bening lalu di beri air dan es batu.
Sinar mentari yang cukup terik tak menggoyahkan langkah kakinya. Ia cukup senang karena baru kali ini ia bisa menghirup udara luar dengan bebas. Mempunyai teman dan bisa ke sana-sini, meski pun sambil membawa dan menawarkan barang dagangan.
"Eh, dia udah pada ngaso aja," tegur gadis bertubuh tinggi kurus rata bernama Vanish.
"Ya udah sih, Van. Biarin aja, kita istirahat dulu sambil minum es," sahut Rapika gadis ketiga berambut pendek macam pria, dengan gaya agak tomboy. Meski pun wajahnya penuh make up.
"Yoi gaes.Panasnya cetar banget, padahal baru jam berapa ini," tambah si Momogi gadis keempat.
Mereka melepas penat dan dahaga sesaat. Meski hanya dengan minuman es seribuan.
Sruuuttt..
"Aaahh...segerrr," desah Momogi, yang sudah menghabiskan es sepelastik.
Susi yang selama ini, seakan terkurung di dalam kastil penyihir dan naga kejam. Merasa seperti burung yang terbang bebas di alam.
Membayangkan, akan segera memiliki uang sendiri, dari hasil bekerja keras berjalan keliling toko atau perumahan. Menawarkan alat-alat elektronik rumah tangga, seperti oven listrik berdaya rendah, mixer, cooper, blender multifungsi dan masih banyak yang lainnya.
Ia terlihat senang dan tanpa beban, meski terkadang menerima penolakan dari beberapa calon customer, seperti saat ini.
"Gak jadi deh, Mbak. Soal nya mahal," tolak si calon pembeli.
"Kemaren ada yang lebih murah," tambahnya.
"Iya bu, tapi kualitas kita itu tidak main-main. Ada garansinya juga lho," Jelas Rapika yang menjadi leader dari kelompok mereka berlima.
"Saya tetep gak mau, lain kali aja deh."
Mereka pun tidak bisa memaksa, dan penolakan seperti ini sudah biasa bagi para sales seperti mereka.
Mereka balik ke base camp setelah mendapat beberapa calon costumer. Setelah, melakukan peragaan alat di salah satu rumah warga. Juga ada beberapa barang yang telah menemukan tuannya.
Kini, saat nya mereka pulang karena jam kerja telah habis.
Tinggal di sebuah petakan berjejer rapi, dengan kondisi bersih dan asri. Beberapa kamar tersusun, nampak seperti rumah kontrakan. Hanya saja, letaknya tak jauh dari lingkungan gedung. Tempatnya bekerja, di mana di saja seorang pria tampan yang menjadi pemiliknya.
Ya Arjuna Satria, pria dewasa berusia 37 tahun, lajang dan mapan. Pria yang telah menggagalkan aksi bunuh diri nya, serta memberi pekerjaan, tempat tinggal dan juga uang untuk modal membeli beberapa perlengkapan bekerja.
Di kamar ini ia tinggal bersama empat orang gadis muda. Mereka berasal dari beberapa daerah berbeda. Dengan karakter dan dialek yang berbeda pula. Intinya mereka sesama perantau, yang mengadu nasib di Ibu Kota.
"Hey, Kak Susi. Jangan bengong terus lah! Nanti, kesambet setan kau!" tegur Rapika dengan dialek khas sumatera nya.
Susi yang memang tak banyak bicara hanya bisa tersenyum simpul saja. Susi memang wanita yang tertutup meski pun begitu, ia termasuk cepat beradaptasi di lingkungan baru nya ini.
"Duh, Mbak Susi ki. Ayu men kalau lagi senyum. Udah gitu, ndak pernah marah," puji Yupi dengan gaya centil dan ceriwisnya.
Setiap hari libur, seperti biasa semua teman sekamar nya pergi. Mereka selalu mencoba membujuknya seperti kali ini.
"Mbak Susi, beneran ndak mau ikut kita?" tanya Yupi memastikan.
"Kuy lah! Mumpung libur nih, kita cuci mata," bujuk Vanish. Namun, Susi yang wajah nya sudah lumayan bersih itu hanya menggeleng.
Kini, tinggallah ia seorang diri. Merenungi nasibnya sedari awal perjumpaan dengan Seno, di kampung halamannya.
Hingga Seno menikahinya dan memboyongnya ke kota. Susi yang kala itu adalah seorang pegawai di balai desa.
Hingga kesabaran dari penantiannya akan seorang anak, berbuntut petaka yang menyisakan sesal seumur hidupnya.
Susi terisak di dalam kesendiriannya. Duduk memeluk lutut di atas kasur busa yang tergeletak di lantai.
(Seandainya saat itu aku tidak menuruti semua perintah Mami. Seandainya aku mampu memaksa Mas Seno untuk pindah. Seandainya, aku tidak lemah. Aku tidak akan kehilangan calon bayi ku...,) batinnya menangis dan berteriak. Banyak andai-andai di pikirannya.
Di kala sendiri, maka depresi itu akan hadir lagi. Bagaimana tidak, masalah demikian berat hanya dipendamnya seorang diri.
Ia butuh teman bicara yang bisa dipercaya dan mengembalikan semangatnya. Tapi siapa?
Di saat seperti ini, ia akan teringat pada sang bunda yang sejak kecil telah meninggalkannya.
Menjadikannya pribadi yang tertutup dan takut mengemukakan pendapatnya. Ketidak hadiran seorang ibu membuat mental dan nyali nya lemah.
Akan tetapi, ia kembali teringat akan pesan pria tampan nan gagah itu. Bahwa, dirinya berharga dan berguna. Terutama untuk dirinya sendiri.
Kau lemah bukan karena stempel dari orang lain.
Tapi, dirimu sendirilah yang melabelinya. Maka kau sendiri yang harus membuat diri mu semangat dan bangkit.
"Kak Susi, kita bawa oleh-oleh buat kau!" pekik si gadis batak yang cantik tapi tomboy itu.
Petang hampir menyentuh dasar tanah, kamar yang tadi sepi mulai ramai lagi.
"Iya, nih Mbak. Tadi kita liat sepatu lucu sama setelan ini. Ayo toh Mbak, di coba!" titah Yupi si cerewet tapi menggemaskan.
"Ya ampun, kalian bawa ini semua. Eh, beli ini buat aku kah?" tanya Susi heran, karena begitu banyak barang di hadapannya.
Susi yang baru saja mandi sore, terlihat segar. Sehingga, takkan terbaca kalau seharian ini ia menghabiskannya dengan menangis.
Rapika beli beberapa eye liner dan lipstik.
Yupi, meletakkan sepatu flatshoes yang cantik dan feminim. Juga atasan dan rok lebar selutut yang lucu.
" Nih kalo aku, ngasi ini aja," ucap Vanish sambil menyerahkan celana denim hitam, yang cocok untuk bawahan seragam kerja.
"Eh, Momogi. Mana sumbangan kau!" pinta Rapika pada gadis chubby yang sedang asik mengunyah permen kapas.
"Uang ku, tinggal dikit. Jadi aku cuma beliin ini aja." Gadis montok itu menyerahkan krim pembersih wajah. Glowing end cling.
"Terimakasih!"
"Atas kebaikan kalian. Aku janji, setelah gajian akan ku ganti semua uang kalian," ucap Susi dengan mata yang sudah berkaca.
"Ih, ndak usah e Mbak," sanggah Yupi.
"Iya, kita ikhlas kok. Anggap aja itu tanda pertemanan kita." timpal Vanish.
" Kalo, Kak Susi mau ganti, aku terima aja. Soalnya itu harga nya lumayan," sahut Momogi, dengan gaya cueknya. Kemudian gadis itu berlalu ke kamar mandi yang ada di pojok luar.
"Itu anak minta di ... egh ... ugh ...!" gemas Rapika menumbuk telapak tangannya sendiri.
"Sudah, aku akan mengganti semua nya."
" Bukankah, kalian harus mengirim uang untuk orang tua di kampung?" jelas Susi, berusaha mengademkan suasana.
"Tapi, Mbak. Kita tuh ikhlas niat bantuin."
"Bener tuh, nanti kan Kakak gajiannya gak full,"
"Iya, Kak. Kau kan baru masuk kerja beberapa minggu," jawab mereka bertiga, menolak. Meyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan atas dasar kepedulian.
"Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi itu,"
"Ya sudah, lebih baik kita makan. Aku masak tumis pare sama teri."
Mendengar kata masakan, ketiga gadis yang hampir seumuran itu langsung ngacir menuju pendaringan. Mereka sangat antusias bila sudah menyangkut makanan yang di buat oleh Susi.
"Woah, Kau memang debes lah Kak!"
"Rasane puooolll...!"
"Enak bener!"
Susi pun terkekeh melihat tingkah kawan-kawan barunya ini. Mereka lah yang memberi semangat baru di hari-hari nya ke depan.
Pagi ini ketiga gadis itu telah sibuk mendandani Susi. Memberi beberapa polesan tipis di wajah natural polosnya. Membentuk alis nya yang sudah hitam tebal dengan eyeliner. Mengusap warna kalem agar bibir nya tak lagi pucat.
"Rambutnya, di catok sebentar yo, Mbak?"
"Ini pakai sepatunya Kak."
"Wah ... cantik juga!"
Mereka bertiga bertepuk tangan atas hasil karya mereka pagi ini.
Susi pun melihat pantulan dirinya di cermin.
Sudah lama ia tak berpenampilan sesegar ini.
" Nah, Kak. Semoga tampilan barunya, bisa bawa hoki buat grup kita hari ini ya," ucap Vanish bersemangat.
"Betul, Kakak. Laris manis marketing kita hari ini!" pekik Rapika dengan gaya maskulinnya.
"Aamiin ... terima kasih."
"Aku, akan berusaha lebih baik lagi. Supaya kita mencapai target bulan ini."
Kemudian mereka berlima keluar dari kamar itu, dan memulai aksi mereka. Sebelumnya, mereka akan ke basecamp untuk briefing area dan jenis barang yang akan di tawarkan.
Menjelajah pertokoan, komplek perumahan elit hingga kampung sudah menjadi keseharian mereka. Dan, Susi mulai terbiasa dengan apa yang tengah ia jalani saat ini. Ia bertekad untuk bangkit demi dirinya sendiri.
Bersambung>>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Wislan Thu Wislan
smga cpt mndapatkan kbhagiaan si Susi ya thor
2022-10-01
1
*~W¥^ Al~*
ada permen pula
2022-07-14
1
*~W¥^ Al~*
ini pewangi
2022-07-14
1