Diam-diam Siti mendengar pertengkaran antara ibu dan adiknya. Sempat terlintas di pikiran Siti untuk pergi dari rumah. Tapi harus banyak yang ia pertimbangan, mulai dari pergi kemana, bagaimana kehidupannya nanti, bagaimana dengan perasaan orang tuanya nanti ketika ia pergi. Berada di posisi serba salah membuat Siti tak tahu harus berbuat apa dan mungkin memang tak ada yang harus ia perbuat.
Siti melangkahkan kaki ke dapur begitu suara ibu dan adiknya sudah hening.
"Bu ini bahan kue tambahannya." Ucap Siti meletakkan bahan-bahan itu di meja.
"Iya, itu buat besok aja. Kamu besok dagang kuenya dikit dulu aja ya. Nanti kalau habis ibu tambahin lagi. Dari pada langsung banyak tapi nggak laku kan sayang."
"Iya Bu. Besok aku sekalian cari warung-warung buat di titipin ya Bu."
"Iya terserah kamu aja ti. Kamu istirahat aja. Udah malam. Ibu tunggal dikit kok ini."
Siti menurut, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ia berharap dengan usahanya menjajakan kue bisa membuat usaha ibunya semakin maju. Karena memang hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Pukul 7 pagi, Siti sudah siap dengan dagangannya. Ia mengayuh sepeda membelah jalanan raya yang sudah ramai kendaraan. Matanya celingukan mencari warung atau toko untuk menitipkan kue buatan ibunya.
Tak lupa Siti juga masuk ke daerah perkampungan agar kue yang ia bawa segera habis. Di bawah terik matahari yang mulai meninggi Siti masih mengayuh sepedanya di jalanan yang memiliki lebar tak seberapa. Berkali-kali ia harus mengelap keringat di dahinya yang mulai tersengat matahari.
Meskipun harus berpanas-panasan, ada sedikit kelegaan di hati Siti, karena dua warung makan sudah bersedia menerima titipan kue Siti.
Ia memutuskan beristirahat terlebih dahulu di sebuah pos ronda. Peluhnya semakin terlihat jelas disudut-sudut tubuhnya.
"Bu kue bu. Enak-enak lo kuenya buatan ibu saya sendiri. Dijamin kebersihan dan kesehatannya. Silahkan di pilih". Ucap Siti pada beberapa orang yang lalu lalang di depannya.
Beberapa diantara mereka ada yang sekedar mampir, ada yang tak menghiraukan promosinya, ada juga yang mau membeli beberapa kue Siti.
Tak lama kemudian datang seorang wanita dengan mengendarai motornya berhenti tepat di sebelah dagangan Siti.
"Kok kamu jualan ti, nggak kerja?" Ucap wanita itu yang ternyata tetangga Siti.
"Toko pak Bram udah pindah mbak. Jadi aku jualan kue ibu."
"Oh gitu. Makin lengkap dong penderitaan kamu. Makin lengkap juga bahan hujatan orang-orang buat kamu. Dasar nggak berguna." Gumam wanita itu di akhir kalimat lalu pergi meninggalkan Siti.
Ia sudah kebal dengan suara semua orang yang menghujat dirinya. Sudah menjadi makanan pokok untuk siti. Menghiraukan ucapan mereka? Tentu saja tidak. Siti diam bukan berarti lupa, bukan berarti ia tak ingat siapa-siapa yang menghinanya. Ia tak dendam, tak pernah terlintas hal itu di pikirannya, hanya saja mulut mereka memang perlu diingat. Perlu diingat untuk menjadi cambukan bagi Siti.
Siti bukan tak pernah usaha untuk mengubah bentuk fisiknya yang menjadi bulan-bulanan tetangga, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk merubah dirinya dimulai dari mengurangi berat badan. Ia pernah tak makan nasi selama beberapa hari hanya untuk mengurangi berat badannya. Bukannya berkurang Siti justru masuk rumah sakit karena dehidrasi.
Merasa sudah cukup istirahat, ia kembali mengayuh sepedanya untuk menghabiskan kue yang tinggal 5 biji.
Ia berkeliling ke beberapa perkampungan yang memang dekat dengan tempat tinggalnya. Ia mengayuh sepedanya hingga sore hari. Banyak pasang mata yang memandangnya dengan sebelah mata, tapi ia tak mau menghiraukannya. Ia berpura-pura acuh dengan pandangan mereka.
Masih tersisa lima kue lagi, karena hampir sore, Siti memutuskan untuk pulang. Di dalam perjalanan ia teringat dengan Tini yang menurutnya ia menjadi beban keluarga. Terlintas di pikirannya ingin merantau ke kota untuk merubah keuangan keluarga. Lagi-lagi kepalanya mengingatkan bentuk fisik Siti yang menjijikkan. Gendut, jerawat dimana-mana, hitam, dekil. Apa ia harus merubah fisiknya terlebih dahulu? Agar ia mudah diterima oleh orang seperti Tini. Setidaknya ia tidak akan dipandang jijik oleh orang yang melihat dirinya. Ya, Siti akan berusaha merubah fisiknya di mulai dari jerawat yang sudah bertebaran di setiap sudut wajahnya. Itulah tekad Siti, ia tak mau menjadi beban keluarga. Ia harus memulai sekarang, pikirnya.
Tak lama kemudian Siti sampai di rumah. Nampak wajah lelah yang terpancar dari wajah hitamnya.
"Gimana ti? Lancar kan jualannya?" Tanya Bu Lastri yang berada di teras
"Alhamdulillah Bu. Sisa lima ini. Udah hampir sore, jadi aku putuskan pulang aja."
"Iya nak nggak apa-apa. Kamu mandi terus makan ya." Ucap Bu Lastri mengambil sebuah kotak tempat jualan kue
Siti masuk rumah setelah menyerahkan hasil kerja kerasnya seharian ini. Ia ingin segera mandi agar segera bisa mengisi perutnya yang mulai keroncongan.
Pukul 7 malam semua orang berkumpul di meja makan. Nampak Tini dan Siti sama-sama gelisah. Mereka ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Siti ingin menyampaikan bahwa ia ingin merantau ke kota agar bisa mengubah perekonomian keluarga yang pas-pasan. Sedangkan Tini gelisah lantaran ia ragu ingin menceritakan soal Haris yang mengajaknya bertandang ke rumah orang tua pria itu.
"Tin, kamu tahu nggak cream yang cocok buat aku. Barangkali bekas-bekas jerawat di wajah aku ini bisa hilang." Ucap Siti tiba-tiba
"Mbak kan pengangguran, uang dari mana buat beli cream?" Tanya Tini ketus
"Tini, kamu ngomongnya bisa lebih sopan nggak. Dia ini mbak mu. Kamu selalu hujat dia soal fisiknya. Begitu kamu dengar dia mau berubah kamu hina juga. Mau kamu apa?" Tanya pak Rusdi tegas.
Tini hanya berdecak kesal. Selalu saja membela anak pembawa sial itu, pikirnya. Dengan mengerucutkan bibirnya Tini berjalan menuju kamarnya mengambil cream penghilang bekas jerawat.
"Nih coba aja, kalau cocok beli sendiri. Harganya murah, cuma 150 ribu. Kalau udah ada uang nitip aku aja belinya." Ucap Tini masih dengan ketusnya.
"Makasih ya tin."
Siti berharap ini awal yang baik untuk kehidupan semua orang di sekelilingnya. Ia sudah lelah dihina sana-sini hanya karena fisik nya yang buruk.
Siti merencanakan akan merantau ke kota setelah ada perubahan dalam dirinya. Ia melakukan itu agar tak lagi dihina oleh orang-orang kota. Meskipun Siti tahu untuk memulai perubahan tidaklah mudah, tapi Siti sudah bertekad bulat untuk merubah dirinya. Ia harus bisa menunjukkan pada semua orang, bahwa dirinya tak seburuk yang mereka kira. Ia bisa berubah, ia bisa cantik, ia bisa langsing seperti adiknya. Itulah tekad Siti sekarang.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
🍀 chichi illa 🍒
sabar siti
2022-08-01
0
niktut ugis
ayo Siti... bungkam mulut" yg keriting ngomongin kamu
2022-03-31
0
Anna Sutrianah
Ayo Siti jangan put us asa semangat
2022-03-22
0