"Tumben ti, jam segini udah pulang?" Tanya Bu Lastri seraya menyetrika baju tetangganya. Pekerjaan sampingan yang ia lakukan beberapa hari sekali. Apapun ia lakukan untuk memenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarga.
"Toko pak Bram mau pindah ke kota Bu. Masa kontraknya disini sudah habis dan pak Bram tidak memperpanjang kontraknya lagi. Ini gaji terakhirnya aku Bu." Ucap Siti menyodorkan amplop coklat
"Jadi hari ini terakhir kamu kerja?"
"Iya Bu." Jawab Siti lemas. "Orang-orang akan semakin senang membicarakan aku Bu. Mereka punya bahan baru untuk menghinaku."
"Ngapain mikirin omongan orang sih ti. Kamu jangan mikir bakal jadi pengangguran. Kamu bisa bantu ibu jualan kue. Kamu keliling ke desa sebelah pakai sepeda ibu. Kamu mau?"
"Mau Bu. Aku bisa sambil cari kerjaan barangkali ada yang cocok buat aku."
*
Pukul 5 sore. Tini tengah duduk santai dengan seorang laki-laki yang diperkirakan usianya tak terpaut jauh dengannya di kedai dekat tempat ia bekerja. Tini sangat berharap pria ini pria terakhir yang mendekatinya. Besar harapannya untuk segera menikah tanpa melihat kekurangan keluarganya.
Pria itu bernama Haris, pria 27 tahun yang merantau ke kota untuk merubah nasibnya. Ia bekerja di sebuah pabrik sepatu di pinggiran kota yang jaraknya sekitar 5 km dari desa Tini.
Haris mengenal Tini melalui sosial media dan berlanjut hingga sekarang. Sudah 6 bulan sejak pertama kali bertemu pria ini belum mengubah statusnya dari teman menjadi pacar.
Sebenarnya ada ketakutan di diri Tini akan latar belakang keluarganya. Memang tidak ada yang bertingkah buruk atau kriminal di silsilah keluarganya, namun kakaknya lah yang menjadi sebab ketakutan Tini.
Tini takut jika Haris mengetahui ia punya kakak yang buruk rupa, laki-laki itu akan kabur seperti yang sudah-sudah.
"Tin, aku mau ngomong serius sama kamu." Ucap Haris dengan mimik yang tak kalah serius
"Ngomong aja mas." Ucap Tini deg deg an.
"Aku nggak mau pacaran sama kamu. Aku mau kita langsung lamaran aja. Kamu mau aku ajak pulang kampung ke desa ku?"
Deg deg deg
Mungkin Haris kini tengah mendengar dentuman besar dari detak jantung Tini. Baru kali ini ia dilamar oleh seseorang secara langsung tanpa melalui proses pacaran.
"Kita baru kenal 7 bulan. Nggak terlalu cepat kah buat kita?"
"Nggak. Mungkin nggak cukup untuk mengenal sifat dasar masing-masing. Tapi selama hubungan kita begini terus sifat dasar kita nggak akan pernah ketahuan. Karena ya memang kita hanya menampakkan yang baik-baik saja, buruknya nggak. Iya kan? Nanti setelah aku bawa kamu ke keluarga ku dan bapak ibuku setuju, baru aku datang ke rumah kamu buat ngomong sama bapak ibu mu. Gimana?"
"Tapi mas aku...aku belum siap memperkenalkan kamu sama keluarga ku. Karena..Karena aku..aku ini keluarga biasa aja mas, bukan kalangan orang yang mampu." Kilah Tini, urung menceritakan tentang kakaknya.
"Terus hubungannya sama aku mau ngelamar kamu apa? Apa kamu berpikir kalau aku tahu kamu orang miskin aku ninggalin kamu? Kok kamu jadi mikirnya begitu?"
"Bukan...bukan itu maksud aku mas. Ya udah aku mau diajak ke kampung kamu. Kapan?"
"Ntar dulu, nanti aku kabari kalau mau pulang."
Tini sangat senang mendengar Haris yang berniat menjalin hubungan yang lebih serius tanpa basa-basi. Namum di hati Tini juga terselip ketakutan akan hadirnya Siti.
Pukul setengah 7 malam kedua sejoli ini memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Tini berencana akan membicarakan hal penting ini dengan bapak ibunya sesampainya di rumah. Tini melihat ibunya yang tengah sibuk membuat kue untuk ia jual besok subuh di pasar.
"Mbak Siti mana Bu?" Tanya Tini yang tak melihat batang hidung Siti di dapur.
"Cari tambahan bahan kue. Mbak mu udah nggak kerja di toko pak Bram. Tokonya besok mau pindah ke pusat kota. Jadi mbak mu mulai besok pagi keliling buat menjajakan kue ibu."
"Apa? Mbak Siti udah nggak ada penghasilan lagi? Mbak Siti pengangguran?"
"Kan ibu udah bilang tadi kalau Mbak mu bantuin ibu jualan kue. Masak kayak gitu namanya pengangguran."
"Ya maksud aku mbak Siti nggak punya penghasilan tambahan ibu. Makin benci lah aku sama dia. Benar-benar nggak berguna hidup dia. Cuma nyusahin aja." Ucap Tini kesal seraya berjalan menuju kamarnya
Hancur sudah rencana Tini untuk membicarakan soal Haris. Mood nya sudah hancur dengan kabar terbaru kakaknya yang menjadi pengangguran. Bagi Tini, membantu ibunya bukanlah hal pekerjaan yang menghasilkan uang tambahan. Karena uang itu nantinya digunakan untuk modal membuat kue lagi. Keuntungan yang tak seberapa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kamu dibiarin kok makin ngelunjak ya tin. Udah berapa kali ibu bilang, Siti itu mbak mu. Kenapa kamu sebenci itu hanya karena fisiknya. Kamu pikir mbak mu mau begitu? Kamu ini keluarga bukannya ngasih dukungan malah kayak orang lain ikut menghujat." Omel Bu Lastri dari dapur
"Terus belain aja itu si perempuan pembawa sial. Gara-gara dia banyak laki-laki yang kabur buat deket sama aku. Mereka jijik lihat dia."
"Ya itu cara Tuhan buat nunjukin ke kamu kalau mereka nggak baik buat kamu. Kamunya aja yang kurang bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Jangan salahin mbak mu terus. Jangan merasa kamu yang paling benar. Apa kamu merasa dengan fisik mu itu kamu sudah sempurna?" Cerca Bu Lastri.
Ia dan suaminya sudah ratusan kali memberi nasihat pada anak bungsunya itu untuk tidak menyalahkan Siti atau menghubung-hubungkan segala sesuatu yang terjadi pada hidupnya dengan fisik Siti. Namun karena memang kebencian itu sudah mengakar dalam dirinya, ia tak bisa berhenti menyalahkan kakaknya itu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
🍀 chichi illa 🍒
heran sama si Tini ... secantik apa sih kamu tin .. kok kelewatan betul sama siti
2022-08-01
0
niktut ugis
Weh Tini merasa paling
2022-03-31
0
Ayuk Mis
baru mampir thor
2022-03-29
0