Senyum yang sedari tadi terukir di wajah Bitna, kembali lenyap ketika ia memandang sebuah bangunan kumuh yang suram tersebut. Sejak tiga bulan lalu, rumah reot tersebut menjadi rumahnya.
Sudah hampir tiga puluh menit ia berdiri di sana. Di seberang jalan depan rumah itu. Entah mengapa, kakinya enggan sekali melangkah ke sana.
"Benarkah kapal ayah sudah ditemukan? Kapan ayah pulang? Aku ingin tinggal bersama ayah saja," pikir Bitna.
"Seo Bitna! Kau sudah pulang? Kenapa dari tadi hanya berdiri di depan sana? " Seorang wanita dengan logat pesisir Korea yang khas meneriaki Bitna yang termenung di seberang jalan.
"Ah, ternyata bibi sudah melihatku," gumam Bitna.
“Memangnya kamu pikir, siapa yang tidak melihatmu berdiri di sana sejak setengah jam yang lalu? Kamu nggak mau makan malam?” tanya wanita itu.
Tak ada lagi alasan Bitna untuk berdiam diri di seberang jalan. Udara malam yang mampu membekukan tulang, hingga ternak di perut yang sudah memberontak, membuat Bitna mengalahkan egonya untuk sementara waktu. Gadis remaja tersebut segera mengahpus air matanya dan pulang ke rumah.
Ceklek!
"Aku pulang."
"Bitna. Kau pulang terlambat hari ini? Apa terjadi sesuatu?" tanya Paman Chae Do Hyuk padanya.
Bitna mengukir senyum di bibirnya, "T-tidak ada apa-apa kok, Paman," jawabnya.
"Ya sudah. Kalau begitu ayo kita makan malam," ajak paman.
"Tidak!" sela bibi dengan tegas.
“Ada apa lagi, Dami? Keponakanmu ini pasti sudah lapar sekali setelah belajar seharian,” bela paman.
"Ganti dulu seragammu baru makan malam," lanjut wanita itu.
"Dami, kenapa bicara seperti itu. Tetangga bisa salah paham jika mendengarnya,” tegur paman lagi.
"Nggak kok, Paman. Yang dikatakan Bibi benar. Aku harus ganti baju dulu sebelum makan," sahut Bitna.
Bitna memasuki kamar berukuran 2 x 3 meter yang banyak tempelan di sana-sini. Sebelumnya ruang itu adalah gudang, yang kemudian diubah menjadi kamarnya sejak ia pindah kemari.
Di musim semi seperti ini, Bitna merasakan udara dingin yang menggigit tulangnya setiap malam. Maklum, suhu udara di musim semi Korea lebih dingin dari pada suhu AC.
Sudah di bayangkan, saat musim panas nanti ruang minimalis tersebut terasa sangat pengap. Mungkin Bitna harus keluar rumah untuk sekedar memenuhi kebutuhan oksigennya. Lalu bagaimana saat musim dingin kemarin? Bitna bisa merasakan sum-sum tulangnya membeku.
"Sepertinya Bitna berbohong," ujar bibi.
"Berbohong? Hei, tidak mungkin. Bitna itu anak baik. Ia tidak pernah berbohong," bantah paman.
"Kau itu nggak peka, suamiku. Aku bisa merasakan kalau Bitna menyembunyikan sesuatu dari kita. Aku bisa melihat dari raut wajahnya," ujar bibi lagi.
"Maklumi saja. Semua remaja memang seperti itu, kan? Pasti ada masa pasang surutnya," bela paman.
Bitna yang mendengar jelas semuanya dari kamar, hanya bisa menggigit bibir. Hatinya terasa sangat perih.
Yah, bibi tidak salah, sih. Saat ini ia memang menyembunyikan fakta, bahwa kemungkinan kapal ayahnya telah ditemukan.
"Wah... Tumben Ibu memasak sup ayam perilla di musim semi? Ada apaan, nih?" seru Chae Ara, adik sepupu Bitna.
Plak! Bibi Dami memukul jemari Ara dengan serbet.
"Jangan dimakan," ujar bibi.
“Ah, Ibu kenapa, sih? Aku kan ingin mencicipinya. Sudah lama sekali Ibu tidak memasak ayam. Apa Ibu baru saja menarik uang asuransi Kak…”
Plak! Bibi Dami kembali memukul Putrinya dengan serbet. Kali ini tamparannya mendarat di pipi remaja tiga belas tahun tersebut.
“Kecilkan suaramu,” bisik bibi.
“Iya… Iya… Tapi aku boleh mencicipinya kan, Bu?” bisik Ara.
“Tidak boleh! Itu untuk Bitna,” ucap bibi tegas.
"Ah... Ibu. Sebenarnya yang anak Ibu itu aku atau Kak Bitna, sih?" ucap Ara kesal.
"Kamu itu sudah pulang sekolah sejak siang, tapi tidak membantu Ibu sedikit pun," sahut bibi.
"Hahaha... Itu benar. Ara hanya tahu makan, tidur dan ngidol biasnya saja di rumah," sela Chae Yeon Woo, sepupu Bitna yang kini kuliah di jurusan teknik mesin tingkat pertama.
Yeon Woo mengambil sebuah mangkok dan hendak mengisinya dengan sup ayam. Tetapi...
Plak! Plak! Kali ini kain serbet mendarat dua kali di tangan Yeon Woo.
"Aduh! Apa lagi sih, Bu?" seru Yeon Woo.
"Kamu juga sama saja Yeon Woo. Tidak pernah membantu Ibu sama sekali. Kalian berdua hanya boleh makan sup kimchi dan cumi-cumi kering saja," ujar bibi.
"Ibu...!" seru Yeon Woo dan Ara bersamaan.
"Hahaha... Bibi, jangan keterlaluan bercandanya. Supnya ada banyak, kok. Cukup untuk kita semua," ujar Bitna.
"Ahh... Kak Bitna emang yang terbaik, deh.” Ara memeluk sepupunya tersebut dengan manja.
"Ya... Ya... Kalian bicara saja terus, selama Ayah menghabiskan sup ini," sela paman sambil mengangkat panci berisi sup ayam menjauh dari meja makan.
"Ayah...!"
Saat makan, Bitna kembali bermuram. Sesungguhnya ia mendengar ucapan Ara yang membicarakan uang asuransi tadi. Yah, Bitna memang masih di bawah umur dan segala keuangannya dikelola oleh sang bibi. Tapi sebenarnya apa yang mereka tutupi, yah?
“Yah, kupikir ini impas. Aku masih menyembunyikan soal kapal ayah dari mereka. Dan mereka pun masih menutupi uang asuransi milikku,” batin Bitna.
"Hahh... Bagaimana ini? Apa aku harus menceritakan soal ayah sekarang? Bagaimana reaksi mereka nanti?" gumam Bitna lagi.
"Bitna, apalagi yang kau pikirkan? Apa ada masalah di sekolah?" tanya Bibi.
"Nggak kok, Bi."
"Kalau begitu ayo cepat makan. Bibi tak akan memasak dua kali jika kau tak kebagian supnya,” ujar bibi.
...🍎🍎🍎...
Tiga bulan yang lalu...
“Wah, jadi ini Gedung SMA-ku? Mewah banget.”
Bitna berdecak kagum melihat Gedung mewah di hadapannya. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai siswa SMA. Jangankan ruang belajar, halamannya saja sudah seperti taman istana. Bagaimana dengan fasilitas lainnya, ya?
“Berapa ya, biaya SPP-nya per bulan? Apa benar semuanya ditanggung beasiswa?” pikir Bitna cemas.
Bitna berjalan terus memasuki Gedung yang lebih mewah dari pada mall itu. Ia mencari aula pertemuan bagi penyambutan siswa baru.
Namun Bitna merasakan sesuatu yang aneh. Ia merawa, semua siswa menatapya dengan wajah mencibir. Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan mentertawainya.
“Jadi ini yang mengaku-ngaku sebagai anak Kapten agar bisa bersekolah di sini? Padahal ibunya hanya pegawai restoran yang bertugas mengupas kentang,” sindir beberapa siswa ketika ia memasuki aula.
“Dilihat dari ekspresinya, sepertinya dia belum baca grup chat, tuh,” ucap siswa lainnya.
“Atau jangan-jangan dia nggak peduli sama ibunya,” timpal yang lain.
Bitna menundukkan kepala. Semangat yang dibawanya sejak dari rumah, kini luntur seketika.
“Apakah anak biasa sepertinya dilarang bersekolah di sini?” pikirnya sedih.
“Bitna! Kamu kan yang bernama Bitna?” seorang guru datang tergopoh-gopoh, menghampiri Bitna dengan wajah cemas.
“Benar, Bu. Saya Seo Bitna,” jawab Bitna dengan bingung. “Ada apa gerangan Bu Guru mencarinya?” pikir Bitna dalam hati.
“Bitna, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ibumu… Ibumu…” Bu Guru tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
“Ya?” Bitna bertambah bingung.
“Ah, buka HPmu. Barangkali ada kabar penting di sana,” ucap Bu Guru kemudian.
Bitna pun mengecek HP-nya.
“A-astaga! I-ni… I-bu…” Air mata Bitna tumpah. “Ini berita bohong, kan?” ucap Bitna di sela-sela tangisnya.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Aldi Yaconus Aldi
wweeeee
2022-03-20
2