Jalanan Kota Seoul di sore hari sangat ramai. Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalanan hingga penuh sesak.
Para siswa dengan seragam sekolah turut memenuhi area trotoar dan juga bus umum.
Sama seperti mereka, Seo Bitna juga berjalan menyisiri area trotoar yang dipenuhi dedaunan pohon cherry dan sakura.
Bedanya, gadis itu tidak melangkahkan kaki menuju rumahnya. Sejak lima tahun yang lalu, dia selalu rutin mengunjungi suatu tempat, meski hujan badai sekali pun.
Kakinya tak pernah lelah melangkah ke sana. Hatinya tak pernah bosan menuju ke sana. Semua demi orang tercintanya yang telah lama hilang.
"Permisi... Selamat sore..."
"Ya, selamat da... Hei, Nak. Kau datang lagi hari ini?" ucap salah seorang pria usia empat pukuh tahunan.
"Benar, Paman. Maaf kalau saya mengganggu," ucap Bitna diiringi senyuman.
"Sama sekali tidak mengganggu, Nak. Tapi jawabanku hari ini masih sama. Belum ada kabar soal kapal yang membawa ayahmu," jawab pria bernama Park Wo Hwan tersebut.
"O-ooh... Begitu, ya?" sahut Bitna dengan suara melemah. Senyum di wajahnya tampak memudar.
"Jangan menangis, Nak. Kami pasti akan memberitahumu jika sudah ada kabar," ujar Pak Hwan menguatkan gadis remaja tersebut.
Dengan langkah gontai, Bitna meninggalkan kantor imigrasi itu. Hati kecilnya menjerit, apakah ayahnya masih hidup? Ibu pun kini sudah pergi untuk selamanya, meninggalkannya seorang diri. Padahal di dunia yang keras ini, dia sangat membutuhkan peran ayah maupun sang ibunda.
"Siapa itu, Pak? Apakah dia gadis yang selalu disebut pegawai sini?" tanya salah seorang pegawai baru.
"Benar. Dia Seo Bitna,” jawab Pak Hwan.
“Lima tahun yang lalu, kapal dagang Korea yang dinakhodai oleh Kapten Seo Il Sang tersapu badai di perairan Asia Tenggara. Sayangnya hingga saat ini, tidak ada kabar dari kapal tersebut,” cerita Pak Hwan.
“Ya ampun, malangnya," ujar Yul, sang pegawai baru.
“Kantor ini dulu dijadikan sebagai pusat informasi pencarian kapal tersebut. Para keluarga korban juga berdatangan. Termasuk Seo Bitna dan ibunya. Sejak saat itu, ia tak pernah absen datang ke sini untuk mendengar kabar dari sang ayah, bahkan sampai ibunya meninggal tiga bulan yang lalu." Pak Hwan menutup ceritanya.
"Astaga! Kasihan sekali. Tapi apakah masih ada harapan, untuk kapal yang telah hilang selama lima tahun itu?" tanya Yul.
"Entahlah. Pencarian sudah dihentikan sejak empat tahun yang lalu. Seluruh penumpang yang hilang dinyatakan tewas. Hanya Bitna yang masih bertahan," jawab Pak Hwan.
...🍎🍎🍎...
Bitna berjalan di antara pepohonan yang tumbuh di tepi jalan. Bunga-bunga aneka warna mulai bermekaran. Lampu-lampu indah mulai menghiasi setiap sudut kota.
Bitna mengangkat kepalanya menghadap ke langit, “Ah, ternyata matahari sudah hampir terbenam,” ujar Bitna. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Sinar jingga sang mentari musim semi ini masih terasa membeku kulit putih Bitna. Maklum saja, musim semi di Korea biasanya memiliki suhu udara antara tujuh hingga dua puluh tiga derajat celcius.
Di sebelah selatan, sebuah planet indah bernama Venus berkelap-kelip di tengah langit senja. Sinarnya yang cerah, sangat mencolok di antara ribuan bintang yang memancarkan cahaya redup, serta langit yany berwarna lembayung.
Bitna tersenyum kecil. “Apa Ayah sedang melihatku dari bumi selatan?” ucap Bitna sambil menengadahkan kepala menatap venus.
Ingatan Bitna masih sangat jelas tentang dongeng kecil yang diceritakan sang ayah.
“Jika kamu melihat planet indah di langit selatan, artinya Ayah mengawasimu dari jauh. Ayah selalu bersamamu.” Begitu ucap Seo Il Sang pada putrinya yang berumur tujuh tahun.
Setelah cukup besar, Bitna menyadari bahwa planet tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang Ayah. Namun ia masih tetap meyakini, jika sang Ayah masih mengawasinya dari kejauhan.
“Aku baik-baik saja, Yah. Jangan khawatir. Aku harap Ayah cepat pulang,” bisik Bitna sambil menahan tangisnya. Rasa rindunya pada sang ayah tidak tertahan lagi.
Lima tahun yang lalu, Bitna masih duduk di sekolah dasar. Ia adalah gadis pintar yang sangat ceria.
“Bitna, hari ini kamu boleh pulang duluan. Ibumu sudah datang menjemputmu,” kata Bu Guru setelah bel masuk berbunyi.
“Kenapa Bitna pulang duluan? Bukankah nanti ada praktek IPA tentang tata surya?” ucap Bitna penuh tanda tanya.
“Emm… Hari ini tidak jadi praktikum. Bitna boleh pulang duluan,” ucap Bu Guru.
Dengan langkah berat, Bitna pun mematuhi Bu Guru. Ia melihat sang ibu telah menunggunya di depan kelas.
“Bu, kita mau ke mana? Kenapa Ibu menangis dari tadi?” tanya Bitna kebingungan. Bus yang mereka naiki, bukanlah bus yang menuju ke rumah mereka.
“Bu, kenapa aku harus pulang cepat? Harusnya kan hari ini aku ada praktikum IPA?” oceh Bitna terua menerus.
“Di saat ayahmu kemungkinan tidak bisa pulang lagi, kamu masih saja memikirkan praktikum sekolah?” bentak ibu.
Bitna terkejut mendengar kalimat ibunya, “Kenapa ayah nggak pulang? Ayah kan janji musim semi nanti akan pulang membawa hadiah untukku?” protes Bitna.
Semua pertanyaan Bitna hari itu, akhirnya terjawab di sebuah kantor yang dipenuhi puluhan orang. Semuanya menangis, meminta kepastian tentang keadaan keluarga mereka.
Bitna kecil terduduk di bawah pohon persik yang ditutupi salju tebal. Air matanya mengalir deras. Ia menyesal telah marah pada ibu tadi.
“Kapal dagang dari Korea, hilang kontak di lautan Asia Tenggara setelah terkena badai siklon vinta di perairan Asia Tenggara. Keberadaan kapal tidak diketahui pasti. Kontak radio kapal yang terakhir enam jam yang lalu, menunjukkan posisi di Filipina,” begitu kabar yang Bitna dengar dari barusan.
Sejak hari itu, Bitna pun menantikan kepulangan sang ayah ke Korea. Musim dingin lima tahun lalu, adalah hari terakhir Bita melihat wajah sang ayah.
Drrrttt...!
Suara dering ponsel dari dalam tas, membuyarkan ingatan Bitna barusan.
"Kantor imigrasi? Mungkinkah...?" HP ponsel model lama itu basah terkena air mata Bitna yang tiba-tiba mengalir.
Dengan tangan gemetar, Bitna lalu menjawab telepon tersebut.
"Halo?"
"Halo? Apakah ini Seo Bitna?"
"Benar,” jawab Bitna dengan suara serak dan gemetar.
"Syukurlah. Nak, ini Paman Hwan. Baru saja kami mendengar kabar dari kantor imigrasi pusat, kalau sinyal radio yang mirip dengan kapal ayahmu terlacak di perairan Indonesia. Ini suatu keajaiban."
"Be-benarkah?" Bitna membiarkan air matanya mengalir.
"Benar. Tapi ini masih belum pasti, Nak. Kita harus menunggu info selanjutnya."
"Baiklah, Paman. Terima kasih infonya," ujar Bitna berbunga-bunga.
"Ya Tuhan. Syukurlah. Semoga saja ayahku masih hidup."
Bitna melangkah riang pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat ringan bagaikan kapas. Setidaknya masih ada secercah harapan untuk sang ayah.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
aduuuh.. abis baca mbak kun yg bikin merinding, disini malah jadi mewek 😩😩
2023-09-19
1
Fanvie
ada sedikit harapan💪💪💪💪
2022-10-03
1
Deping
ikut mau nangis
2022-03-14
4