Metamorphosis
[ Adegan dan kata-kata berikut hanyalah pelengkap cerita. Mohon untuk tidak ditiru.]
Pagi hari nan indah di awal musim semi Kota Seoul, Korea Selatan. Matahari yang bersinar cerah berpadu dengan indahnya bunga aneka warna yang bermekaran. Tupai-tupai imut berlompatan di dahan, mengakhiri masa hibernasi mereka.
Sayangnya, tidak semua orang menyambut bom (musim semi) pertama ini dengan suka cita.
Hufftt...
Bitna mengatur napasnya. Matanya yang indah, memandang ke gedung di hadapannya dengan rasa cemas. Jemarinya yang imut bak bayi, menggenggam ujung rok seragamnya dengan erat.
"Jangan takut, Bitna. Kau anak dari Kapten Seo Il Sang yang gagah berani," ucap Bitna pada dirinya sendiri.
Keberaniannya masih belum muncul. Setiap bola matanya menatap ke depan, jantungnya berdegup kencang seakan mau lepas. Bangunan megah di hadapannya tersebut adalah medan perang yang harus ia hadapi hingga beberapa tahun ke depan.
"Ayo jangan ragu. Kamu sudah melewati gyeoul (musim dingin) dengan baik. Kini hanya perlu bertahan selama dua tahun delapan bulan lagi di sini. Ayo buat kedua orang tuamu bangga," ucapnya lagi membulatkan tekad.
Hufft… Sekali lagi, gadis remaja itu menghela napasnya. Kedua tangannya menggenggam erat senjata tempur yang ia bawa di dalam ranselnya.
Tap!
Akhirnya kaki Bitna melangkah memasuki gerbang sekolah menengah atas yang cukup elit di kawasan Seodaemu-Gu. Berbagai mobil mewah berjajar rapi di tempat parkir.
"Hei, lihatlah pembohong, itu. Dia masih berani ke sekolah rupanya."
"Wah, parah. Ini sih harus diberi pelajaran. Kenapa pihak sekolah masih membiarkan dia, sih?”
"Teman-teman, kalian mencium bau kentang busuk, nggak?"
Bitna terus melangkah maju tanpa mempedulikan semua omongan itu. Tanpa dilihat pun sudah bisa ditebak, siapa yang mereka bicarakan.
Tak! Sebuah raket tenis mendarat di wajah Bitna.
"Lihatlah, siapa anak gak tahu diri ini. Bisa-bisanya dia masuk ke sekolah kita yang cukup elit ini."
"Duh, Min Ji. Kau nggak tahu? Dia kan anak dari perumahan kawasan Dondu-song yang kumuh itu. Ibunya hanya seorang pengupas kentang," seru Ahn Cae Rin, siswi tercantik di kelas satu.
"Apa? Mengupas kentang? Pekerjaan apa itu? Bukannya ayahnya seorang Kapten kapal?" balas Kim Min Ji sambil tertawa lepas.
“Maksudmu bajak laut?” seru Ahn Chae Rin.
"Pindahkan raketmu! Biarkan aku ke kelas dengan tenang," ujar Bitna.
"Astaga, Chae Rin. Kau dengar itu barusan? Kucing kampung ini mau melawan kita? Hahahah..." ujar Kim Min Ji tertawa lebar.
Grep!
"Jauhkan raketmu dari tubuhnya."
Seorang siswa tampan pemilik senyum manis, menggenggam raket tenis milik Kim Min Ji dengan erat.
"Shhh..." Min Ji terlihat kesal.
"Jangan biarkan raket berharga kalian jadi kotor gara-gara menyentuh orang miskin ini," lanjut cowok itu sambil tersenyum tipis.
"Huuaah... Seon Wooil! Hampir saja aku mengira kamu kerasukan malaikat. Tapi benar juga, raketku ini jauh lebih berharga dari tubuh cewek ini." Min Ji mengangkat raketnya dari bahu Bitna. "Nah, sekarang kau boleh pergi," lanjutnya.
"Eits, tunggu dulu.” Seon Wooil menghadang jalan Bitna. "Dibandingkan raket, dia lebih pantas mendapatkan ini."
Ceprot! Sebotol saus tomat mengalir di kepala Bitna.
"Wooil, apa yang kau lakukan? Seharusnya kau membawa telur busuk," ujar Chae Rin sambil terbahak-bahak.
"Hei, anak-anak nakal!"
Plak! Plak! Plak!
"Adoooh...! Pak Satpam. Jauhkan benda itu dari kami," seru Seon Wooil.
"Ini pantas kalian terima," marahnya pada tiga siswa tersebut. "Nak, pergilah bersihkan tubuhmu," ucapnya pada Bitna.
Plak! Plak! Plak!
Satpam itu terus menjejakkan penggaris kayu itu ke punggung tiga siswa tersebut.
"Bapak tidak tahu siapa orang tua kami?" seru Min Ji sambil berusaha mengelak dari senjata andalan Pak Satpam tersebut.
"Bapak tidak takut pada ancaman kalian. Kalau kalian melaporkan Bapak, maka akan Bapak laporkan juga perbuatan kalian," ancam Pak Satpam
"Duh, orang tua kolot. Gak ngerti kalau kita cuma bercanda," ucap Chae Rin.
"Kalian sebut itu bercanda? Itu namanya tidak beretika," seru satpam tersebut.
...🍎🍎🍎...
Bitna memeras seragamnya yang basah kuyup, lalu mengeringkannya dengan hair dryer. Di dalam kamar mandi sekolah ini, dia mengeluarkan senjata tempurnya dari dalam tas. Ada handuk kecil, pakaian seragam cadangan, hair dryer serta shampoo dan sabun sachet.
Sejak hari pertamanya di SMA, Bitna tidak pernah terlepas dari tindakan bully teman-temannya. Hanya karena ia dianggap tidak cantik dan tidak kaya, lantas putra putri keluarga konglomerat itu dengan mudah menjadikannya bahan tertawaan.
Bitna pun harus memutar otaknya, agar bisa tetap bersekolah di SMA pilihan ibunya tersebut. Ia tak boleh menyerah begitu saja.
"Fyuh, untung aku membawa baju ganti. Setidaknya hari ini tidak ada telur busuk,” gumam Bitna.
Gadis remaja itu mengganti seragamnya dan merapikan rambutnya sebelum kembali ke kelas.
Berbeda dari biasanya, suasana kelas I (satu) B yang mayoritas diisi oleh anak-anak konglomerat cukup sepi. Bu Hana, wali kelas mereka memasuki ruangan dengan setumpuk berkas.
"Anak-anak, tolong dengarkan Bu Guru," seru Bu Hanna di depan kelas sambil menepuk-nepuk papan tulis dengan penggaris.
"Ibu akan membagikan raport kalian tanpa membacakannya. Ibu tahu kalian memiliki privasi," lanjut Bu Hana.
Kelas menjadi sangat riuh. Sebagian besar dari mereka tidak puas dengan hasil ujian. Bagi para anak konglomerat, menjadi nomor satu adalah kewajiban dalam hidup mereka. Sayangnya, hanya satu orang yang bisa menempati posisi itu.
“Ibu, apa Ibu melihatnya? Aku berhasil menjadi yang terbaik, seperti doa Ibu,” ucap Bitna dalam hati sembari mendekap raport itu di dadanya. Pelupuk matanya basah oleh air mata.
...🍎🍎🍎...
Sore hari yang indah di musim semi pertama. Bitna beruntung, kelas hari ini sangat padat. Ia pun selamat dari bully hingga kelas berakhir.
"Sampai jumpa, besok Bitna. Kamu yakin nggak mau pulang bersamaku?" tanya Go Eunjo.
Remaja cantik yang juga ketua kelas itu adalah satu-satunya teman Bitna di kelas. Anak dari Jenderal itu sudah berteman dengan Bitna sejak masih SD. Berntung, saat ini mereka kembali sekelas.
Bitna menggelengkan kepalanya, "Terima kasih Eunjo. Tapi aku harus pergi ke sana," sahut Bitna.
"Kamu ke tempat itu setiap hari?" tanya Eunjo.
Bitna mengangguk, "Aku harus ke sana setiap hari, jika ingin ayahku kembali," jawab Bitna dengan suara sedikit serak.
"Baiklah, jaga dirimu. Semoga kali ini ada kabar baik," kata Eunjo sebelum mereka berpisah.
"Permisi... Selamat sore..."
"Ya, selamat da... Hei, Nak. Kau datang lagi hari ini?" ucap salah seorang pria usia empat puluh tahunan.
"Benar, Paman. Maaf kalau saya mengganggu."
"Sama sekali tidak mengganggu, Nak. Tapi jawabanku hari ini masih sama. Belum ada kabar soal kapal yang membawa ayahmu," jawab pria itu.
"O-ooh... Begitu, ya?" sahut Bitna dengan suara melemah.
"Jangan bersedih. Kami pasti akan memberitahumu jika sudah ada kabar. Tetaplah berdoa untuk ayahmu."
"Baiklah. Saya permisi dulu. Terima kasih, Paman."
Dengan langkah gontai, Bitna meninggalkan kantor imigrasi itu. Hati kecilnya menjerit, apakah ayahnya masih hidup? Ibu pun kini sudah pergi untuk selamanya, meninggalkannya seorang diri.
Matahari mulai beranjak turun. Sinarnya yang jingga di musim semi ini masih terasa membeku kulit putih Bitna.
Drrrttt... Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Kantor imigrasi? Mungkinkah...?" Ponsel model lama itu basah terkena air mata Bitna yang tiba-tiba mengalir.
Sekuntum bunga cherry mendarat di kepala Bitna. Apakah bunga mekar di bom (musim semi) pertama ini, adalah pertanda bahwa musim semi Bitna juga akan segera tiba?
(Bersambung)
Terima kasih sudah membaca. Semoga kalian suka, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Fanvie
masih nyimak..blm bisa comen banyak🙏
2022-10-03
1
Tita Dewahasta
ada bitna, jadi ingat Never
2022-04-11
1
EuRo
suka sama ceritamu. semangat buat Bitna .
2022-03-15
3