Petir sudah tidak lagi terdengar, Mentari baru sadar jika dia memeluk seorang laki-laki yang baru beberapa hari ini dia kenal. Sontak saja Mentari langsung turun dari bergelantungan di pinggang Arfan.
Rasa malu menjalar keseluruh aliran darahnya, hal yang paling memalukan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Mentari berlari masuk ke dalam mobil Arfan.
Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan karena saking malunya. Arfan mengikuti Mentari masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana mau masuk apa tidak?" Arfan menunjuk penginapan yang ada di depan mereka.
"Atau kita akan bermalam di dalam mobil hingga esok pagi."
Mentari menggelengkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang basah karena terkena air hujan. Sungguh pilihan yang sulit bagi Mentari, seandainya tadi teman-temannya tidak meninggalkannya mungkin saja hal ini tidak akan terjadi. Terjebak hujan dengan laki-laki yang dia sukai, sungguh susah hanya untuk sekedar bergerak.
Hachhii...hachhiii....
Mentari bersin-bersin karena mengenakan baju yang basah.
Arfan hendak menempelkan telapak tangannya ke kening Mentari, tentu saja Mentari memundurkan kepalanya karena merasa tidak terbiasa diperlakukan seperti itu oleh orang lain apalagi seorang laki-laki.
"Aku hanya ingin mengecek apakah kau demam!"
Mentari tidak menjawab yang membuat pada akhirnya Arfan menarik tangannya kembali.
Tubuh Mentari semakin menggigil, tidak biasanya dia seperti ini. Dia biasa bermain hujan-hujanan dan jarang sekali dia demam karena air hujan atau mungkin karena saat ini kondisi tubuh Mentari yang sedang kurang baik karena lelah di dalam perjalanan.
Arfan menyelimuti mentari dengan Overcoat miliknya berharap jika Mentari akan lebih hangat dengan menjadikannya sebagai selimut karena cukup tebal bahannya.
Overcoat merupakan jenis jaket dengan ukuran panjang hingga sampai ke lutut, jaket ini biasanya digunakan ketika musim dingin.
Arfan mengecek kening Mentari, tidak ada penolakan seperti tadi.
"Panas sekali," gumam Arfan.
Ini tidak bisa ditunda lagi, Arfan berniat membawa Mentari masuk ke dalam penginapan dan mengganti bajunya yang basah, jika dibiarkan bisa saja dia akan kehilangan kesadaran karena suhu tubuhnya terus naik.
Arfan turun dari mobil kemudian mengangkat tubuh Mentari masuk ke dalam penginapan, selanjutnya dia memesan kamar untuknya dan untuk Mentari karena tidak mungkin membawa Mentari ke rumah sakit terdekat sekalipun, dengan cuaca yang masih hujan lebat ditambah petir yang masih sering menyambar.
"Maafkan kami Tuan kamar yang tersisa hanya tinggal satu dengan satu tempat tidur," ucap resepsionis di penginapan itu dengan ramah.
Arfan tampak sedikit berpikir dan melihat kondisi Mentari yang semakin tidak baik.
Pada akhirnya Arfan memberikan keputusan dengan mengambil kamar tersebut meskipun resikonya mereka harus tinggal dalam satu kamar.
Arfan meletakkan tubuh Mentari di sofa berharap dia masih sadar agar lebih mudah bagi Arfan untuk menyuruhnya berendam di air hangat dan mengganti pakaiannya sendiri.
"Hei apakah kau masih bisa mendengarku?" Arfan menepuk-nepuk pipi Mentari.
Perlahan Mentari membuka matanya, "Dimana aku?"
"Tenanglah kau aman, sekarang berendamlah di air hangat dan ganti bajumu, akan aku ambilkan kopermu di mobil,"
Mentari menatap Arfan dengan tatapan waspada.
"Tidak perlu menatapku begitu, aku ini bukan pedofil."
Arfan keluar dari kamar menuju parkiran, membiarkan Mentari melakukan apa yang dia perintahkan.
Saat Arfan kembali Mentari masih berada di dalam kamar mandi.
"Hei kau berendam atau pingsan?" teriak Arfan dari luar.
"Kopermu sudah ada disini bergegaslah!"
Mentari nampak kebingungan di dalam kamar mandi, tidak mungkin dia keluar hanya dengan mengenakan handuk saja. Sedangkan suhu tubuhnya belumlah turun, dia juga bersin berkali-kali di dalam kamar mandi.
"Bagaimana aku bisa keluar jika masih ada kamu di dalam kamar ini!"
"Aku akan keluar!"
Setelah dirasa aman Mentari keluar dari dalam kamar mandi dan bergegas mengganti pakainnya khawatir jika Arfan akan segera kembali.
Tidak berselang lama, Arfan masuk ke dalam kamar dengan membawa bungkusan di tangannya.
Mentari sudah duduk di atas ranjang dengan mengenakan selimut karena merasa sangat dingin, Arfan mendekat ke arahnya dengan membawakan minuman jahe hangat untuknya.
"Terimakasih," ucap Mentari.
"Eh tapi kau tidak menaruh sesuatu kan di dalam sini?" tambah Mentari sedikit merasa curiga.
"Bukankah aku sudah bilang, aku tidak tertarik sama sekali dengan tubuh kecilmu itu, jadi jangan berpikir macam-macam!" jawab Arfan ketus.
Mentari meneguk minumannya perlahan, jahe membuat tubuhnya yang tadi mengginggil jadi terasa sedikit lebih hangat.
"Habiskan!" perintah Arfan.
"Aku mau mandi dulu!"
Arfan hendak masuk ke dalam kamar mandi yang dicegah oleh Mentari.
"Tunggu!"
"Kenapa kau tidak mandi di dalam kamarmu saja, kenapa harus disini!"
"Ini kamarku," jawab Arfan enteng dan bergegas masuk ke dalam.
Mentari tersedak jahe hangat yang sedang diminumnya mendengar jawaban Arfan.
"Bagaimana mungkin?" pikir Mentari.
Mentari menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menggelengkan kepalanya, dia nampak sangat shock dengan pikiran liar yang sudah traveling kemana-mana.
"Tidak...tidak....tidaaaaakkkk!!!!!" Mentari berteriak sambil menggelengkan kepalanya, sedangkan wajahnya ia tutup dengan kedua telapak tangannya.
"Apanya yang tidak, dasar berisik!" heran Arfan dengan teriakan Mentari yang berbarengan dengan keluarnya dirinya dari kamar mandi.
"Kenapa kau hanya memesan satu kamar?" tanya Mentari.
"Hanya tinggal kamar ini satu-satunya," jawab Arfan cuek.
"Bohong...kamu pasti berbohong, mau mengambil kesempatan dalam kesempitan kan?" tuduh Mentari.
"Jangan asal bicara!"
"Jika tidak percaya tanyakan saja sendiri ke bawah!"
Arfan berjalan mendekati ranjang dimana Mentari sedang terduduk.
"Tidur!" perintah Arfan.
"Kau tidak akan tidur disini juga kan?"
"Aku hanya mau ambil selimut!"
Arfan kembali ke sofa kemudian merebahkan tubuhnya yang penat disana. Mentari merasa lega karena ternyata Arfan sangat menghormati perempuan, namun Mentari harus tetap waspada. Dia membungkus dirinya dengan selimut baru kemudian memejamkan matanya.
Keesokan paginya Mentari terbangun dengan kondisi masih seperti kepompong. Dia melihat sofa di depannya yang ternyata sudah kosong. Gemercik air menandakan jika Arfan sedang berada di kamar mandi.
"Syukurlah...," gumam Mentari sambil memegangi dadanya.
Tidak berselang lama Arfan keluar dari kamar mandi, kemudian memakai kain sarung yang dia ambil dari dalam tas punggungnya dan menunaikan kewajiban ibadah paginya.
Mentari dibuat takjub dengan perilaku Arfan yang ternyata taat terhadap Agamanya. Dua rakaat yang sangat khusyuk, Mentari merasa bersalah telah mencurigai pemuda itu.
Mentari pun bergegas bangkit dari atas ranjang untuk menunaikan kewajibannya seperti Arfan.
Setelah membersihkan diri dan sarapan pagi di penginapan, mereka mamilih untuk segera pulang karena hari sudah semakin siang.
Kini mereka sudah berada di jalanan, langit yang cerah membuat Mentari begitu bahagia.
"Dimana alamat rumah kamu?"
"Aku pulang ke asrama saja di universitas Z,"
Arfan menautkan kedua alisnya, "Asrama universitas Z bukankah hanya untuk mahasiswa S2?" tanya Arfan sedikit tidak mengerti.
"Aku mahasiswa S2!"
"Benarkah?"
"Sekecil ini?" tanya Arfan tidak percaya.
"Kapan kamu akan pulang kerumah?"
"Rumahku memang tidak jauh, tapi aku mau menaruh barang-barangku dulu di asrama!"
Arfan masih merasa belum yakin dengan ucapan Mentari. Dia mengirimkan pesan kepada sahabatnya di Fakultas MIPA untuk mengirimkan data terkait Mentari kepadanya.
Mentari sendiri malah sedang asyik melihat pemandangan di balik jendela mobil, dia menurunkun sedikit jendela dan membiarkan angin menerpa wajahnya.
"Dasar anak kecil, mau menipuku rupanya." Gumam Arfan dalam hati.
Tidak terasa mereka sudah berada di depan asrama universitas Z.
"Terimakasih sudah mengantarku," ucap Mentari sambil mengeluarkan barangnya dari dalam bagasi mobil.
"Sini ponselmu, aku akan pastikan kamu terkena masalah jika berbohong soal asrama,"
"Kalau tidak percaya ya sudah," Mentari menarik kopernya.
"Mana ponselmu!"
"Bilang saja mau minta nomorku!" ucap Mentari sambil memberikan ponselnya.
Arfan merasa terkejut ketika nomor Mentari sudah ada di dalam kontak ponselnya dengan nama 'Toko Buku Gaharu'.
"Kau...nomor ini?" Arfan menunjuk Mentari dan ponselnya secara bergantian.
"Iya itu aku,"
Mentari bergegas masuk ke dalam asrama sedangkan Arfan segera masuk ke dalam mobil dan sedikit menjauh dari asrama untuk memastikan jika Mentari tidak membohonginya.
Setelah melakukan pengintaian selama lebih dari Tiga jam, kini Arfan merasa jika Mentari tidak berbohong terkait pendidikannya terbukti Mentari yang tak kunjung keluar dari asrama ataupun gelagat aneh yang mencurigakan. Namun, Arfan belum bisa sepenuhnya yakin jika temannya belum mengirimkan data kepadanya.
Baru saja Arfan menstater mobilnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya dengan caption 'Data yang kamu butuhkan'.
Arfan segera membuka Data yang dikirimkan temannya tersebut dan benar saja bahwa Mentari memanglah mahasiswa S2 yang sangat berprestasi.
"Pantas saja kemarin kamu begitu luar biasa," ucap bangga Arfan didalam hatinya untuk Mentari.
Arfan kemudian mengubah nama di kontak ponselnya dari 'Toko Buku Gaharu' menjadi 'Mentari Kecil'.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments