Arfan tiba di Surabaya, masih dengan jaket tebal dan tas punggungnya. Dia menempuh perjalanan malam yang membuatnya dapat sampai di pagi buta.
Udara pagi menelusup ke dalam jaket yang dia kenakan, Arfan akan menemui sahabatnya di kota ini.
Langkah kaki Arfan melangkah ke tempat sahabat lamanya, sahabat yang dulu pernah berjuang bersama dalam suka maupun duka.
Arfan disambut oleh keluarga Ilham dengan sangat ramah, mereka sudah menganggap Arfan seperti anak mereka sendiri.
Arfan bertemu dengan sahabatnya dengan keharuan yang dalam.
"Akhirnya kamu kembali Fan," Ilham memeluk Arfan erat.
"Aku datang untuk menjemputmu kembali,"
"Aku sudah terlalu tua untuk sebuah pertandingan Fan,"
"Aku tidak memintamu untuk menjadi pemain, cukup berdiri disampingku dan menjadikan mereka bintang yang bersinar."
"Mereka?" tanya Ilham.
"Aku kembali dari Spanyol untuk membentuk clubku sendiri dan kini aku sudah bisa mewujudkannya,"
"Benarkah?"
"Kamu memang hebat dari dulu, sayang sekali permasalahan kita membuat tim kita bubar dan kalian pensiun, jika tidak tentu saja kita sudah berada pada puncak tertinggi saat ini." Ucap Ilham dengan nada penyesalan yang cukup dalam.
"Sudahlah kawan, semua telah berlalu."
"Kau masih seperti dulu, selalu membuat kami tidak terbebani."
"Lalu bagaimana keputusanmu?" tanya Arfan.
"Aku akan pikirkan, tinggallah malam ini kita makan malam bersama dulu. Aku akan pertemukan kamu dengan seseorang."
Arfan masih berada di rumah keluarga Ilham, sementara Mentari yang sudah mendapatkan nomor ponsel Arfan berkali-kali mengirimkan pesan promosi untuknya.
[Silahkan mampir ke toko kami kembali, kami sedang mengadakan promo untuk semua jenis buku sampai dengan 50%, happy shoping]~~ Toko buku Gaharu.
Arfan hanya membaca saja pesan itu, merasa tidak tertarik sama sekali dengan promosi yang mereka tawarkan. Arfan berniat untuk menghapus pesan dan memblokir nomor pengirim pesan itu, namun berkali-kali pula dia urungkan.
Malam ini Arfan memenuhi janjinya untuk menemui Ilham di sebuah restoran, tadi sore Arfan pamit dari rumah keluarga Ilham karena ada urusan lain di kota Surabaya.
Arfan memasuki restoran sesuai alamat yang Ilham kirimkan kepadanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat Ilham tidak sendirian, Ilham bersama dua orang yang lainnya. Ketika Arfan semakin dekat, dia tahu disana ada Zaki dan juga Arman.
"Arfan sudah lama kita tidak berjumpa," sapa Zaki.
Tatapan mata Arfan sudah tak seramah saat bertemu Ilham tadi pagi.
"Duduklah dulu Fan, akan aku jelaskan!" ucap Ilham paham dengan situasi yang ada.
"Aku tidak butuh penjelasan kalian!"
Arfan keluar dari dalam restoran dengan dada yang naik turun menahan emosi, dia menerjang hujan yang mulai turun.
Rasanya sangat sulit untuk bisa menerima mereka berada dalam satu meja apalagi dia harus bergabung di dalamnya, terlebih ada Zaki diantara mereka.
Rasa sakit dihatinya belumlah surut, jurang pemisah masih menganga lebar diantara mereka, setelah sepuluh tahun dia begitu menderita dan kini dia kembali agar dapat tersenyum, namun mungkin belum saatnya.
Malam itu juga Arfan kembali ke Jakarta, dia sudah tidak lagi memperdulikan dirinya yang sudah basah kuyup tersiram derasnya hujan.
Dia menangis sesenggukan seorang diri, begitu lemah Arfan saat ini seperti sepuluh tahun lalu, dia memilih untuk meninggalkan teman-temannya dan pensiun dari arena pertandingan.
Hatinya memang keras namun jiwanya begitu rapuh, entah bagaimana jadinya jika ada mahasiswanya atau anak-anak asuhnya di club yang melihat dirinya selemah ini. Arfan yang dikenal sebagai Dosen yang perfeksionis juga Bos yang disiplin dan keras kepala ternyata memiliki sisi lain sebagai seorang manusia biasa pada umumnya.
Arfan sampai di club selepas subuh, dia begitu lelah.
Sebelum menghempaskan tubuhnya di kasur dia membersihkan dirinya kemudian mengecek ponselnya, melihat beberapa pesan yang masuk salah satunya dari toko buku Gaharu yang lagi-lagi memberikan promosi kepadanya.
Arfan membuang sembarangan ponselnya, tubuhnya terasa lelah dan penat, tubuhnya sudah tidak mampu mentorerir lagi untuk tidak segera beristirahat.
Pagi begitu cepat menyingsing, cahaya matahari masuk melalui celah kamar Arfan. Dia masih merasa mengantuk dan malas hanya untuk sekedar bangkit dari tempat tidur jika tidak ingat jika sore nanti dia harus membawa timnya ke arena pertandingan di Bandung, sudah barang tentu mereka harus bersiap sejak pagi ini, melakukan latihan dan olahraga ringan sebelum berangkat.
Tok...tok...tok...
Pintu kamar Arfan diketuk oleh seseorang.
"Siapa?" jawab Arfan malas.
"Aku Bos," jawab seseorang dari luar.
Sudah saatnya kita berlatih Bos," sahutnya lagi.
"Tunggu aku di lapangan, kalian pemanasan dulu!" perintah Arfan tanpa membiarkan orang itu masuk ke dalam kamarnya.
Arfan bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Disaat yang sama Mentari juga sedang bersiap untuk pergi ke Bandung dalam acara seminar karya ilmiah yang dia susun bersama dengan kelompoknya.
Mentari tidak pergi bersama rombongan sebab ada hal yang harus dia urus terlebih dahulu sebelum berangkat, saat mentari tiba di Kota Kembang. Dia melihat segerombolan orang dengan pakaian serba hitam menaiki sebuah bus dengan logo tim futsal dari sebuah club.
Mentari melihat pemuda yang bertemu dengannya tempo hari di toko buku milik sepupunya berada di atas bus yang tadi dilihatnya, karena penasaran Mentari mengikuti laju bus tersebut yang berjalan perlahan.
Tidak jauh dari sana mereka semua turun dari bus untuk memasuki arena pertandingan, Mentari ikut berdesak-desakan dengan para suporter yang tengah memegang spanduk meneriaki tim kesayangan mereka yang baru saja tiba.
Tubuh kecil mentari terdorong-dorong oleh para suporter fanatik, hingga dia terpental ke depan hampir terjerembab ke bagian yang berbatu, beruntung Arfan tidak sengaja reflek menangkap tubuh mungil Mentari.
Pandangan mereka saling bertemu, lagi-lagi Mentari terkesima dengan kharisma yang terpancar dari wajah sempurna Arfan.
"Nona kecil apakah kau bisa berdiri?" tanya Arfan membuyarkan lamunan Mentari.
"Te-tentu saja aku bisa!"
"Baguslah...ayo!" Arfan menarik tangan Mentari untuk mengikutinya masuk ke dalam arena pertandingan.
"Duduklah!" perintah Arfan.
"Katakan siapa namamu?" tanya Arfan ketika Mentari sudah duduk.
"Mentari...," jawab Mentari singkat.
"Mentari kecil kenapa kamu mengikuti kami hingga kesini?"
"Katakanlah, apa kamu salah satu fans kami?"
"Atau pacarmu ada diantara bocah-bocah ini?"
Arfan menunjuk satu persatu pemainnya.
Mentari menggeleng.
"Jujur saja pada kami, tidak usah malu. Tapi aku sarankan sebagai pacar yang baik kau tidak boleh menganggu karir pacarmu itu, biarkan dia berkembang dan kau belajarlah yang benar agar nilaimu bagus, bukankah gadis kecil sepertimu seharusnya masih duduk dibangku kuliah semester awal?"
"Tidak baik hanya karena ingin bertemu dengan pacarmu, kau harus jauh-jauh sampai datang kesini,"
Mentari masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa sebab mereka bertemu juga karena tidak disengaja.
"Cepat katakan! Kau datang untuk siapa?"
"Waktuku tidak banyak karena mereka harus segera memasuki arena pertandingan!"
Mentari masih diam, dia merasa cemas sebab teman-temannya pasti sudah menunggunya.
"Baiklah kalau kau masih diam, tunggulah disini sampai pertandingan usai!"
Mentari tidak memiliki pilihan lain selain patuh dan tetap diam. Seminar akan dilaksanakan esok hari, sebenarnya sore ini mereka akan mematangkan kembali materi yang akan mereka bawakan besok, namun Mentari tidak ingin terjadi kesalahpahaman bahwa dirinya tengah mengikuti pacarnya, dia akan mencoba meluruskan setelah pertandingan usai.
Mentari mengirimkan pesan ke grup mengatakan bahwa dia akan sampai di hotel sedikit terlambat karena sesuatu hal.
"Dilarang mengambil foto apapun selama pertandingan, jika melanggar kau akan tahu akibatnya!" ancam Arfan.
Mentari memperlihatkan ponselnya yang sedang dia gunakan untuk mengirim pesan agar pria tampan dan galak disebelahnya itu percaya kepadanya, selebihnya dia memilih memasukkan ponsel ke dalam tas slempangnya.
Pertandingan pun usai, semua pemain masuk kembali ke dalam ruang ganti. Mentari tak luput dari hal ini, padahal dia sudah menolak namun Arfan masih tidak ingin melepaskannya. Dia sepertinya masih ingin tahu siapa sebenarnya pacar dari gadis kecil itu yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya.
"Cepat katakan, siapa pacar kamu diantara mereka!"
Bocah-bocah yang baru saja selesai bertanding itu semua memberikan kode agar jangan sampai salah satu dari mereka ditunjuk oleh Mentari sebab akan terjadi masalah besar jika hal itu sampai terjadi, sebab mereka tidak ada yang mengenal Mentari satupun.
"Aku bilang cepat!" Arfan sedikit berteriak.
Mentari memberanikan diri untuk mengangkat telunjuknya, dia mengarahkan telunjuknya ke Arfan yang tentu saja kaget dengan hal itu.
"Aku?" Arfan mengarahkan telunjuknya ke depan mukanya sendiri.
Mentari mengangguk.
"Ah Bos ternyata masalah percintaan kamu sendiri," salah seorang bocah itu berkata tanpa rem yang dicegah oleh teman-temannya dengan menggetok kepalanya yang kurang peka dengan keadaan.
"Kalian semuanya keluar!"
"Kau Dio, panggilkan taksi!"
Bocah bernama Dio bergegas memesan taksi melalui telephone pintarnya.
"Gadis kecil kemarilah!"
Mentari menggeleng merasa takut dengan tatapan Arfan yang seperti seekor Elang hendak memangsa buruannya.
Mentari yang ketakutan terus berjalan mundur yang diikuti oleh Arfan, hingga pada akhirnya mentok di depan tembok.
"K-kau mau apa?!" tanya Mentari gugup.
Arfan hanya menyeringai dan terus mendekat, karena takut Mentari memejamkan matanya sambil memalingkan wajah ke sebelah kiri. Hembusan nafas Arfan terdengar begitu dekat.
"Rasakan kau gadis kecil nakal, berani mempermainkan aku lihat saja akibatnya." Batin Arfan.
Arfan sebenarnya hanya ingin menakut-nakuti gadis di depannya saja, tidak ada niat untuk melakukan sebuah pelecehan sama sekali apalagi dengan gadis kecil seperti yang ada dihadapannya ini.
Melihat Mentari yang pucat pasi, Arfan tertawa puas di dalam hatinya.
"Dasar Mentari kecil, cuma begini sajakah nyalimu?" guman Arfan lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments