Bab 5 - Bertemu Jessica

Kanaya tersenyum manis menatap Bram lalu kembali ke tempat tidurnya. Perlahan Kanaya berbaring agar tidak berisik dan membangunkan Bram. Tanpa selimut menutupi tubuhnya, Kanaya sama sekali tidak merasa kedinginan. Dendam di hatinya terus membara untuk membalas Aliando dan Aliya.

“Aku tidak boleh lemah. Sudah saatnya untuk bangkit dan berjuang mendapatkan hakku kembali,” gumam Kanaya di dalam hatinya.

Perlahan kedua mata Kanaya mulai terpejam dan akhirnya terlelap kembali. Kedua insan berbeda jenis kelamin itu sama-sama tertidur dan larut dalam mimpi masing-masing. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok ketika terbangun di pagi hari.

Malam pun segera berganti menjadi pagi yang cerah. Sinar kuning keemasan sudah mulai memasuki kamar rawat inap Kanaya yang masih sepi. Bram membuka matanya lebih dulu ketika alarm di ponselnya berbunyi tepat jam enam pagi. Dia terbiasa menyetel alarm dan terbangun sepagi itu untuk berolahraga lebih dulu sebelum berangkat ke kantor.

Bram buru-buru meraih ponselnya dan mematikan suara alarm yang berisik. Dia menyadari kalau tubuhnya tertutup selimut. Refleks, Bram melirik ke arah tempat tidur dan melihat Kanaya terbaring dengan tubuh meringkuk. Pria itu buru-buru bangkit dari berbaringnya sambil membawa selimut bersamanya. Perlahan Bram menyelimuti tubuh Kanaya lalu mengusap rambutnya yang sedikit berantakan.

Perlakuan Bram yang lembut, akhirnya membangunkan Kanaya. Wanita itu mengerjap perlahan sebelum menoleh menatap Bram yang berada sangat dekat dengannya. Perlahan Kanaya tersenyum pada Bram dan membetulkan posisi tubuhnya. Tiba-tiba Kanaya meringis ketika kakinya terasa kaku. Dia mencoba meluruskan kakinya dan kembali meringis.

“Kenapa? Kakimu sakit lagi? Jangan dipaksa, Kanaya,” ucap Bram penuh perhatian.

Tanpa ragu-ragu, Bram membantu Kanaya meluruskan kakinya. Perhatian dan sikap Bram yang lembut membuat Kanaya semakin penasaran dengan pria itu. Sangat jarang ada orang baik seperti Bram yang mau menjaga pelaku penabrak mobilnya sampai seperti ini. Biasanya mereka hanya akan meminta ganti rugi tanpa memperhatikan keadaan orang yang terluka.

“Pak, boleh saya bertanya sesuatu?” tanya Kanaya yang tidak bisa menahan dirinya lagi.

“Tanya apa? Hum?” sahut Bram sambil menoleh menatap Kanaya.

DEG!

Bram menelan salivanya ketika melihat bibir pink muda Kanaya yang tepat berada di depannya. Hanya beberapa centimeter saja, Bram bisa menikmati kelembutan bibir itu. Jantung Bram mulai berdetak cepat ketika Kanaya menatapnya dengan polos. Sorot mata wanita itu jelas mengatakan kalau dirinya tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada Bram saat ini.

“Bapak--.”

“Permisi. Selamat pagi,” sapa dokter yang tiba-tiba masuk bersama suster.

Keduanya sama-sama menoleh ke arah pintu kamar. Bram langsung menjauh dari Kanaya dan duduk kembali ke sofa. Dia berdehem untuk menghilangkan kecanggungan yang sempat dirasakannya karena kepergok dokter. Entah apa yang terjadi pada dokter itu karena melakukan visit kepagian. Bram pun memperhatikan apa yang dokter itu katakan tentang hasil pemeriksaan Kanaya.

Tidak ada luka dalam dan luka-luka di tubuh Kanaya, juga sudah mulai mengering. Kanaya sudah diperbolehkan pulang setelah mengurus administrasi di kasir dan menebus obatnya. Bram pun keluar dari kamar untuk mengurus kepulangan Kanaya. Saat itu dia bertemu dengan Zaki yang datang untuk membawakan pesanan Bram.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa Zaki.

“Pagi. Zaki, tolong urus administrasi atas nama Kanaya. Kau bawa pesananku?” tanya Bram.

Zaki pun menyerahkan dua paperbag ke tangan Bram dan memberitahu apa isinya. Setelah Bram menerima paper bag itu, Zaki segera berbalik menuju kasir. Bram pun berbalik kembali menuju kamar Kanaya. Senyum mengembang di bibirnya ketika melirik paper bag di tangannya. Dia tidak sabar melihat Kanaya memakai apa yang ada di dalam paper bag itu.

Sampai di kamar, Bram melihat Kanaya baru keluar dari kamar mandi. Dia masih memakai pakaian rumah sakit karena pakaiannya sudah robek. Saat melihat Bram, Kanaya tersenyum pada pria itu. Kanaya mengatakan kalau dirinya membutuhkan bantuan Bram lagi untuk membelikannya pakaian yang murah.

“Baju? Coba pakai ini. Kebetulan aku sudah memesannya. Kamu pakai ya. Aku akan menunggu diluar,” ucap Bram sambil meletakkan dua paper bag itu di atas tempat tidur. Pria itu bergegas keluar dari kamar dan menutup pintunya.

Kanaya membuka salah satu paper bag itu dan mengeluarkan isinya dengan hati-hati. Sebuah dress sederhana, tapi harganya sangat mahal. Kanaya tahu harga satu dress itu karena dia melihat label yang tertera di punggungnya. Bukan hanya dress, tapi ada pakaian dalam yang nyaman dan harganya pasti mahal.

Dia menatap ke arah pintu yang tertutup, sebelum mulai mengganti baju rumah sakitnya dengan semua yang ada di dalam paperbag pertama. Kanaya merapikan penampilannya sebelum membuka paper bag kedua. Di dalamnya ada sebuah mantel yang juga mahal. Saat Kanaya menyampirkan mantel itu ke pundaknya, dia tersenyum senang.

“Semua pakaian ini sangat mahal dan pas ukurannya. Selera Pak Bram memang bagus,” puji Kanaya senang.

Ketika dia ingin membereskan paper bag yang berserakan di atas tempat tidur, Kanaya menyadari masih ada benda lain di dalam paper bag itu. Dia mengeluarkannya dengan hati-hati dan terpana melihatnya. Sepasang sepatu dan juga tas tangan yang cantik. Tanpa menunggu lagi, Kanaya mencoba sepatu itu. Ukurannya sangat pas melekat di kakinya.

TOK! TOK! TOK!

Terdengar suara ketukan di pintu kamar itu. Bram sudah tidak sabar ingin melihat penampilan baru Kanaya. Wanita itu memintanya masuk lalu berdiri menghadap ke arah pintu. Saat pintu terbuka, Bram melongo melihat penampilan Kanaya. Meskipun wajahnya masih terlihat pucat dan rambutnya masih belum disisir, Kanaya terlihat cantik memakai pakaian itu.

“Pak, bajunya keliatan mahal. Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Kanaya.

“Tidak. Ini sudah bagus. Kamu cantik, Kanaya,” puji Bram spontan.

Kanaya terpana mendengar pujian Bram yang terdengar tulus. Sedetik kemudian, Kanaya tersenyum malu-malu dibuatnya. Keduanya lalu duduk di sofa sambil menunggu Zaki selesai mengurus administrasi. Kanaya pun mengatakan kalau dirinya ingin berpamitan pada Bram. Dia sangat berterima kasih atas kebaikan Bram dan berjanji akan membayar kembali semua biaya yang sudah dikeluarkan pria itu.

“Pak Bram, saya ingin berpamitan. Tapi sebelum itu, boleh saya minta alamat rumah dan nomor telepon Bapak? Saya janji akan membayar kerugian Bapak dan biaya rumah sakit saya.”

“Kamu mau pergi kemana? Kalau kamu belum punya tempat tujuan, ikutlah denganku ke rumahku. Kau bisa tinggal disana selama yang kamu mau,” pinta Bram.

Kanaya segera menggeleng karena merasa tidak enak terus merepotkan Bram. Tapi mendengar Bram mengatakan tentang rumahnya, Kanaya langsung mengatakan kalau dia ingin bekerja di rumah pria itu. Setidaknya Kanaya bisa mencicil hutangnya pada Bram setelah beberapa bulan bekerja disana.

Bram yang ingin Kanaya pulang bersamanya, menggoda wanita itu dengan mengatakan kalau biaya kerusakan mobilnya, dan biaya rumah sakit sudah mencapai angka lima puluh juta rupiah. Mendengar hal itu, Kanaya langsung menelan salivanya lalu sibuk berhitung. Dia memakai patokan gaji pelayan di rumahnya untuk mengetahui berapa bulan Kanaya harus bekerja di rumah Bram. Melihat wajah serius Kanaya, Bram diam-diam tersenyum menatap wanita itu.

“Pak, saya berjanji akan bekerja dengan giat dan tidak membuat masalah di rumah Bapak. Tolong izinkan saya bekerja sebagai pelayan di rumah Bapak,” pinta Kanaya dengan sopan.

Hati Bram terasa dihujani ribuan jarum yang menyakitkan hatinya. Bram tidak membiarkan hidup Kanaya sudah dengan menjadi seorang pelayan. Bram ingin sekali melamar Kanaya saat itu juga, tapi urung dilakukannya karena situasi yang terlalu cepat. Kanaya akan menganggapnya sudah gila karena tiba-tiba mengajak menikah.

“Kanaya, dengarkan aku. Sebaiknya kamu fokus pada pemulihanmu sendiri ya. Aku akan membantumu mencarikan pekerjaan yang lebih layak. Mau ya?” tanya Bram sambil menatap manik mata Kanaya.

“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih, Pak Bram,” sahut Kanaya dengan mata berkaca-kaca.

Ketika Bram ingin menyeka air mata yang membasahi sudut mata Kanaya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Zaki masuk ke dalam kamar itu sambil menunduk lalu berdiri di hadapan Bram dan Kanaya. Melihat kedatangan asistennya yang tidak sopan tanpa ketuk pintu dulu, Bram buru-buru menjauh sedikit dari Kanaya.

“Ehem! Tuan, administrasinya sudah saya selesaikan. Nona Kanaya sudah bisa keluar sekarang,” ucap Zaki tanpa menatap Bram.

Kanaya tersenyum menatap Bram lalu bangkit lebih dulu dari sofa. Dia mengambil tas tangan yang tertinggal di atas tempat tidur lalu memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas itu. Kanaya juga memasukkan pakaian dalamnya yang tersembunyi di balik baju rumah sakit ke dalam tas selempangnya yang sedikit kotor. Setelah memasukkan tas selempang itu ke dalam paper bag, Kanaya siap untuk keluar dari rumah sakit.

Bram membawa Kanaya menuju lobby rumah sakit tempat sopir Bram sudah menunggunya. Dia menyodorkan lengannya agar Kanaya bisa berjalan dengan lebih nyaman karena merangkul lengan Bram. Meskipun merasa sedikit malu, Kanaya menerima perlakuan gentlemen dari seorang Bram.

Mereka segera masuk ke dalam mobil bersama Zaki juga. Tujuan Bram sudah jelas, pulang ke rumah besarnya. Sepanjang perjalanan, Bram tidak hentinya mencuri pandang menatap Kanaya. Apalagi saat Kanaya beberapa kali menoleh padanya dan tersenyum.

Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mereka tiba di depan sebuah rumah besar. Kanaya menatap pintu gerbang rumah itu dan menyadari kalau dia pernah melihatnya. Tapi semakin mencoba mengingatnya, Kanaya justru tidak bisa ingat. Rasa familiar pada pintu gerbang itu membuat Kanaya menatapnya cukup lama.

“Kanaya, ayo turun,” ajak Bram.

Mereka sudah berhenti di depan pintu masuk besar berwarna putih. Bram sudah lebih dulu membuka pintu lalu keluar dengan cepat. Pria itu mengulurkan tangannya pada Kanaya agar dia bisa keluar. Suasana pagi di rumah itu cukup sunyi. Tidak ada aktifitas pelayan yang biasanya sangat sibuk di pagi hari.

“Ayo, masuk,” ajak Bram sekali lagi.

Kanaya mengangguk lalu melangkah bersama Bram. Sekali lagi Kanaya merangkul lengan Bram ketika memasuki rumah itu. Kanaya langsung disuguhkan dekorasi rumah yang mewah dan penataan furniturnya yang tertata apik. Dia mengagumi semua yang ada di rumah besar itu sampai tanpa sadar tersenyum sendiri. Baru saja sampai di ruang tengah, seseorang memanggil Bram.

“Papa!”

Kanaya dan Bram sama-sama menoleh menatap Jessica, putri semata wayang Bram. Wanita itu menatap tajam ke arah Bram dan Kanaya yang berdiri berdampingan sangat dekat.

Terpopuler

Comments

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

weh Bram duda toh...gpp lah hayu Bram bantu Kanaya sampai selesai masalah nya trus ajak nikah 😁

2022-03-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!