Bram tersenyum mendengar pertanyaan Zaki yang penasaran dengan sikapnya pada Kanaya. Pandangan matanya kembali menatap Kanaya sebelum menjawab pertanyaan Zaki.
“Kamu ingat dengan kejadian saat aku kecopetan dulu?” tanya Bram memulai ceritanya.
Zaki mengangguk dengan cepat. “Apa Nona Kanaya yang telah menolong Tuan?”
“Iya, Zak. Dia adalah wanita yang aku ceritakan sama kamu waktu itu. Akhirnya aku bisa bertemu dengan penyelamatku. Tapi aku tidak menyangka kalau keadaannya sekarang seperti ini,” ucap Bram sendu.
Bram teringat kejadian beberapa minggu yang lalu saat dirinya baru keluar dari restoran setelah makan siang dengan salah satu clientnya. Zaki memintanya menunggu di depan restoran karena asistennya itu memarkir mobil di tempat yang agak jauh. Bram melihat Zaki berjalan cepat menuju mobilnya di kejauhan. Sambil menunggu kedatangan Zaki, Bram melihat beberapa notifikasi chat masuk di ponselnya.
Tiba-tiba ada seorang pria yang menabraknya dari belakang. Pria itu segera meminta maaf dan kembali berjalan sambil terus memegang ponselnya. Bram tidak memperhatikan pria itu lagi dan kembali fokus pada ponselnya. Tapi lagi-lagi dirinya di tabrak, kali ini dari depan. Pria itu langsung lari menjauh dari Bram tanpa menoleh lagi. Saat itu Bram sadar kalau ponselnya sudah dibawa lari oleh pria itu.
Bram langsung mengejar pencopet itu tanpa menunggu kedatangan Zaki. Sambil berteriak ‘copet’ beberapa kali, Bram terus mengejar sampai dirinya terjatuh karena got yang tidak tertutup dengan baik. Pakaian Bram seketika itu kotor terkena cipratan lumpur dari dalam got. Wajahnya juga terlihat sangat kotor dan basah.
Beberapa orang yang melihat Bram terjatuh, sempat berhenti untuk melihat keadaannya. Tapi mereka tidak ada yang mau mengulurkan tangan untuk membantu Bram. Pria itu juga tidak tahu dirinya berada dimana karena sibuk mengejar pencopet tadi. Bram benar-benar tersesat tanpa uang sepeserpun dan ponsel. Saat itu, Kanaya datang dan mengulurkan tangannya pada Bram. Wanita tambun itu membantu Bram berdiri lalu membersihkan wajahnya dengan tisu seadanya.
Bram masih ingat dengan senyuman manis Kanaya yang membuat jantungnya berdebar. Meskipun fisik wanita itu tidak sesempurna model papan atas, tapi sikap Kanaya yang lembut dan tulus membantu orang lain yang sedang kesusahan, membuat Bram merasakan getaran yang sama saat pertama kali bertemu dengan almarhum istrinya. Kelembutan Kanaya membuat Bram mulai jatuh cinta.
Bahkan Kanaya tidak ragu-ragu mengiyakan ketika Bram meminta pertolongannya untuk mengantar pria itu pulang. Kanaya yang selalu membawa helm cadangan di sepeda motornya, memasangkan helm di kepala Bram. Dia juga membonceng pria berbadan besar itu dan meminta Bram memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.
Berbekal petunjuk dari Bram, mereka akhirnya tiba di rumah besar milik pria itu. Kanaya yang merasa sudah menolong sebisanya, segera pergi tanpa mengatakan apa-apa pada Bram. Padahal Bram ingin mengundang Kanaya masuk ke rumahnya lebih dulu saat itu. Dengan sangat ceroboh, Bram juga tidak menanyakan nama Kanaya dengan jelas.
“Tuan menyuruh saya mencari keberadaan Nona Kanaya, meskipun Tuan tidak tahu namanya. Nasib membawa Nona Kanaya kembali kepada Tuan ketika berita tentang kebangkrutannya muncul di media sosial. Apa mungkin Tuan dan Nona Kanaya berjodoh?” tanya Zaki mengutarakan pendapatnya.
“Zaki, Zaki. Aku suka cara berpikirmu. Sudah cukup lama aku sendiri. Mungkin ini saat yang tepat untuk memulai lagi,” sahut Bram lalu menoleh menatap Kanaya.
Wanita itu sudah selesai melakukan pemeriksaan CT scan dan dokter membantunya turun dari alat itu. Kanaya menoleh ke arah kaca yang memisahkannya dengan Bram lalu tersenyum pada pria itu. Malam itu Kanaya harus menginap di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya pasca tabrakan.
Bram meminta disiapkan kamar VIP dengan tempat tidur tambahan agar dia bisa menginap. Tapi hanya tersisa kamar VIP dengan sofa sebagai tambahannya. Setelah mengurus administrasi rumah sakit bersama Zaki, Bram kembali ke kamar untuk menemui Kanaya. Saat Bram masuk, Kanaya sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil memperhatikan luka-lukanya.
“Kanaya, bagaimana keadaanmu?” tanya Bram lalu berdiri di dekat tempat tidur Kanaya.
“Saya baik-baik saja, Pak Bram. Terima kasih atas bantuan Bapak. Maaf ….” Kanaya menunduk mengalihkan pandangannya dari Bram. Dia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Maaf, karena saya ceroboh dan menabrak mobil Bapak. Saya sungguh tidak tahu bagaimana cara membayar kerugian Bapak. Belum lagi biaya rumah sakit ini. Tapi saya akan segera mencari pekerjaan untuk melunasinya,” sambung Kanaya dengan suara tercekat.
“Kamu bilang apa. Kanaya, dengarkan aku,” pinta Bram sambil memegang tangan Kanaya dengan lembut.
Kanaya menatap wajah Bram yang terlihat tampan dengan rambut dicukur rapi, rahang kotak, kumis tipis, dan juga surai di depan telinganya yang lebat. Pria itu tersenyum ramah kepada Kanaya dan memberi kesan menenangkan pada wanita itu. Melihat Kanaya tidak menolak sentuhannya, Bram memberanikan diri untuk mendekat.
“Aku ingin kamu bisa sembuh dulu. Jangan pikirkan apapun selain kesembuhanmu. Ya?” pinta Bram.
Kanaya mengangguk patuh dan tersenyum manis. Sikap Kanaya membuat jantung Bram kembali berdegup kencang dan membuat pria itu mulai gugup. Perlahan, Bram melepaskan tangan Kanaya lalu mendekati televisi untuk menghidupkannya. Untuk menghilangkan kecanggungan diantara mereka, Bram berniat untuk menonton siaran bola.
“Tidak keberatan ‘kan kalau aku nonton TV disini?” tanya Bram pada Kanaya.
“Bapak bercanda ya. Tentu saja boleh. Bapak bebas melakukan apa saja di kamar ini. Kan Bapak yang bayar,” ucap Kanaya mencoba mencairkan suasana yang sedikit canggung.
Saat Kanaya menatap layar televisi, ingatannya tentang perlakuan Aliando dan Aliya membuat wanita itu termenung lagi. Tidak terasa kedua matanya mulai berkaca-kaca dan sebutir air bening meluncur turun membasahi pipinya. Kanaya menyedot ingusnya lalu mengusap air bening itu dengan cepat. Dia hanya tersenyum sekilas ketika Bram meliriknya.
"Kanaya, kau ingin makan sesuatu? Kebetulan aku juga lapar," kata Bram mencoba mengalihkan perhatian Kanaya.
"I--iya, Pak. Apa saja. Maaf merepotkan," sahut Kanaya yang memang sudah lapar. Dia mulai bisa menerima kalau saat ini hanya Bram yang bisa menolongnya. Segera setelah dirinya kembali sehat, Kanaya bisa mencari pekerjaan untuk membayar Bram kembali.
Bram pun memesan makanan dari gerai makanan yang ada di rumah sakit itu. Kanaya hanya mengangguk atas pilihan makanan Bram. Saat makanan diantarkan ke kamar mereka, Kanaya menatap makanan yang dipilih Bram. Sepiring nasi dan soto ayam juga kerupuk udang. Bram menyadari tatapan Kanaya pada makanan di depannya.
"Kamu mau soto? Kita tukaran ya?" tanya Bram penuh perhatian.
"Bukan begitu, Pak. Saya hanya memperhatikan makanan yang Bapak suka. Bapak suka makan soto ayam?" tanya Kanaya sembari menyingkirkan telur mata sapi dari atas nasi gorengnya.
"Iya, suka banget. Soalnya aku suka makan makanan berkuah," sahut Bram lalu mengaduk kuah soto ayam.
Kanaya mengangguk lalu tersenyum lagi. Sedikit demi sedikit, sesuap demi sesuap, Kanaya menyendok nasi goreng yang terhidang di hadapannya. Bukan karena dia menjaga image di depan Bram, tapi tangannya masih sakit ketika menyendok makanan itu. Hal itu disadari Bram yang mulai makan dengan lahap.
“Makanannya nggak enak ya? Atau tanganmu masih sakit?” tanya Bram membuat Kanaya tiba-tiba keselek dan terbatuk-batuk.
Bram buru-buru menyodorkan sebotol minuman pada Kanaya lalu menepuk-nepuk punggungnya untuk meredakan batuk wanita itu. Kanaya tersenyum lagi pada Bram setelah batuknya mereda. Tapi saat itu ada breaking news yang muncul di televisi. Kanaya dan Bram sama-sama menoleh menonton berita tentang kebangkrutan perusahaan Kanaya. Senyum manis yang tadinya merekah di bibir Kanaya perlahan mulai surut lalu berganti menjadi ekspresi kesedihan.
“Kanaya, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Itu perusahaanmu ‘kan?” tanya Bram setelah melihat ekspresi Kanaya.
Bram sebenarnya sudah tahu tentang kebangkrutan Kanaya, tapi dia ingin wanita itu jujur padanya. Semakin mengenal Kanaya, Bram semakin ingin mengetahui semua tentang wanita itu. Bram tidak ingin mendengarnya dari orang lain, tapi dari mulut Kanaya sendiri. Kanaya terlihat ragu untuk menceritakan perbuatan Aliando dan Aliya pada Bram. Dia tidak ingin membuka luka di hatinya lagi.
“Iya, Pak. Tapi sudah bukan lagi milik saya. Itu terjadi karena saya terlalu bodoh,” ucap Kanaya sendu.
Kanaya mengusap matanya yang mulai berair lagi. Dia benar-benar tidak ingin menangis lagi di hadapan Bram. Sudah cukup memalukan ketika dirinya menangis di mobil pria itu. Bram yang tidak ingin membuat Kanaya semakin sedih, buru-buru mematikan televisi dan meminta Kanaya menghabiskan makanannya. Kanaya harus segera istirahat agar kondisinya segera pulih.
Setelah makanan mereka habis, Bram membawa piring kotor keluar dari kamar. Dia meletakkannya di lantai di dekat pintu kamar. Seseorang akan mengambilnya untuk dibawa kembali ke gerai makanan. Saat Bram kembali ke dalam kamar, Kanaya sudah berbaring di tempat tidurnya. Wanita itu langsung tertidur segera setelah kepalanya menyentuh bantal.
“Cepat sekali tidurnya,” gumam Bram lalu menarik selimut menutupi tubuh Kanaya.
Bram tidak langsung beranjak dari samping tempat tidur Kanaya, dia menatap wajah tenang wanita itu. Perlahan Bram menunduk ingin mengecup kening Kanaya, tapi dia takut membangunkan wanita itu. Akhirnya Bram menarik dirinya lagi dan beranjak mematikan lampu kamar. Dia lantas duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya.
{“Zaki, besok bawakan pakaian untuk Kanaya. Carikan yang elegan dan simpel. Makasih.”}
Setelah mengetik chat singkat itu, Bram mengirimkannya pada Zaki. Dia lalu berbaring di sofa dan perlahan memejamkan matanya. Ketika ponselnya berbunyi pertanda ada chat masuk, Bram mengabaikan ponselnya itu. Dia terus memejamkan matanya sampai dirinya tertidur lelap.
Saat tengah malam, Kanaya tiba-tiba terbangun karena ingin buang air kecil. Melihat suasana kamar yang sunyi dan sedikit gelap, Kanaya mengira kalau Bram sudah pulang. Perlahan Kanaya turun dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Dia menahan sakit di kedua kakinya saat berjalan sampai akhirnya bisa masuk ke kamar mandi.
Tak lama terdengar suara flush air dari dalam kamar mandi. Kanaya membuka pintu lalu keluar dari sana. Pandangan matanya tidak sengaja melihat ke arah sofa. Kanaya tertegun melihat Bram tertidur di sofa itu.
“Kenapa dia masih disini?” gumam Kanaya tapi buru-buru menutup mulutnya karena Bram tiba-tiba bergerak.
Pria itu membalik posisi tidurnya dari terlentang menjadi meringkuk. Sepertinya Bram kedinginan karena ruangan yang dingin. Kanaya menoleh ke atas tempat tidurnya lalu meraih selimut yang ada disana. Dia ingin menyelimuti Bram agar tidak kedinginan lagi. Perlahan Kanaya berjalan mendekati sofa lalu menyelimuti tubuh pria itu. Diam-diam Kanaya memperhatikan wajah Bram yang masih tertidur.
“Kenapa Bapak baik sekali sama saya?” gumam Kanaya dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Lee
Sudah difavorit..main jg ktmptq y kak
2022-03-10
0
¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜
Semoga mereka berjodoh ya....
2022-02-26
2