Aine Berhak Cantik

"Aku hidup menyedihkan sepanjang perjalanan hidupku, Raz. Bekas luka yang kau lihat tadi adalah bukti nyata dari kisah hidupku yang galat." Aine menerawang jauh.

"Suatu hari aku mendapatkan hadiah dari guru berkat lukisanku yang dinilai sangat bagus. Sebuah crayon koper yang mungkin harganya mahal untuk ukuran anak seusiaku kala itu. Tentu saja aku pulang dengan rasa bangga. Terlebih-lebih bayangan senang Papa dan Mama yang akan memberikanku pelukan. Mereka pasti akan mengakui ku jika tau bahwa sebenarnya aku punya bakat istimewa. Tapi sampai di rumah, ekspetasi ku dihancurkan oleh Vanya." Aine menjeda sejenak. "Waktu itu dia sedang bermain didekat gerbang. Dia melihatku dan tertarik dengan apa yang kubawa. Segera dia memintanya."

Iraz mendengar dengan seksama.

"Aku tidak mau memberikan tapi dia tetap ngotot untuk meraih. Jadilah kami berebutan. Vanya orangnya keras kepala dan ingin menang meski harus mengorbankan apapun. Makanya, tanpa berfikir panjang, dia mendorongku hingga membentur pagar. Kebetulan bagian keningku terhempas ke bagian sudut pagar. Sakit, jeritku waktu itu. Ternyata kepalaku luka. Darah mengucur menodai wajahku."

"Karena jeritan ku, Mama keluar dari rumah. Menemui kami berdua. Si Vanya langsung berlagak seperti orang yang kena tindas. Dia berakting seolah-olah aku telah memukulinya. Benar saja, Mama langsung memeluknya dan menanyakan apa yang terjadi. Kala itu aku masih kelas tiga SD kalo nggak salah. Dia kelas satu. Langsung dong dia nyalahin aku. Padahal aku masih tidak berkutik karena merasa kesakitan." Wajah Aine terlihat sendu saat menceritakan kisahnya.

"Dan bagian paling sakitnya adalah ketika orang yang bersalah dibenarkan, dan orang yang benar disalahkan. Kala itu Mama langsung marah padaku. Dia bilang, 'kalo saja dari dulu aku tau kamu anak yang menyusahkan, harusnya aku sudah membuang mu sejak masih janin'. "

"Rasa sakit yang kurasakan langsung berpadu dengan perkataan Mama. Menimbulkan sebuah ambisi untuk menghantui Vanya."

"Aku langsung mengangkat wajahku, memperlihatkan cucuran darah yang menutupi paras. Wajahnya terlihat terkejut kala itu. Lalu aku berteriak padanya, 'MAMA SELALU SAJA BEGITU PADAKU. PADAHAL DIA YANG SALAH!' aku menunjuk Vanya. Mama terlihat takut dengan reaksiku. Tapi Vanya kembali membakar amarah Mama dengan kebohongan bahwa aku yang duluan melemparnya dengan batu. Langsung Mama menarik koper crayon itu dari tanganku. Dia membantingnya hingga semua isinya menggelinding kemana-mana. Dia bilang, bukan hal yang sulit untuk mengalah pada adik sendiri. Lalu dia menyeret Vanya masuk dan meninggalkanku di halaman. Aku langsung mengepalkan tangan kuat."

"Saat itulah, aku berencana untuk membuat Vanya merasa bersalah seumur hidup padaku. Makanya aku diam-diam melukis luka itu setiap hari. Tapi bukannya merasa bersalah, dia malah senang dengan wujud baruku."

Iraz menggaruk kepalanya. "Aneh deh. Harusnya mereka membawamu berobat. Kan lukanya parah,"

"Papa menawarkan untuk berobat kok. Tapi aku menolak. Aku takut terbongkar. Soalnya dia nawarin setelah satu Minggu." kata Aine.

"Emangnya mereka tidak curiga kalo lukamu itu hanya lukisan doang?"

"Nggak. Soalnya satupun dari mereka tidak tau kalo aku bisa ngelukis."

"Cih, keluarga bodoh. Dua puluh tahun dihidupi tapi tak seorang pun yang sadar bahwa emas berada di sekitarnya. Sepertinya jika aku mengadakan pertandingan otak tolol, mereka pasti mendapat juara satu. Iya kan?" pandangan mata Iraz terlempar ke wajah bersih Aine.

"Hahahaha. Nggak boleh gitu, Raz." sahut Aine.

"Biarin aja, kan mereka jahat padamu." kata Iraz serius. "Harus dikasih pelajaran, biar kapok!"

Aine terhanyut dalam perkataan pria itu. Rasanya damai saat ada seseorang yang bersimpati. Dia menemukan sesuatu yang istimewa dari Iraz.

Tolong Ain! Jangan mudah jatuh cinta seperti ini! Kau akan sakit jika mudah menyukai orang lain! batinnya.

"Wahh, berarti kau orang hebat. Kelas tiga SD udah bisa ngelukis wajah sendiri." Iraz bertepuk tangan.

"Makasih, Raz." sambung Aine tersenyum.

"Tapi selain berbakat, kau juga penipu yang handal. Buktinya kamu bisa membohongi banyak orang selama kurang lebih sepuluh tahun. Meyakinkan semuanya bahwa Aine yang mereka kenal adalah gadis buruk rupa. Wih, itu bakat yang harus dipupuk sih,"

"Hahahaha. Mau ku ajari?"

"Nggak, ah. Siapa juga yang mau nipu orang. Dosa!"

Aine tersenyum kecil. "Terkadang berdosa lebih baik, Raz." sambungnya.

Pria itu tidak melanjut lagi. Hanya anggukan kecil disertai kedipan mata.

"Btw, besok aku ada rencana untuk nge-gym. Mumpung hari Minggu. Kamu mau ikut nggak?" tanya Iraz melenceng dari topik.

"Gym? Ngapain?"

"Mau ****." jawabnya singkat.

"Hah! Gilak! Nggak mungkin,"

"Ya udah, berarti kamu nggak mau?" Iraz memperjelas.

"Nggak lah. Yang bisa **** kan hanya laki-laki,"

"Bodoh! Jadi kau percaya?" Iraz tertawa renyah. "Aku bercanda, Ai!"

Aine langsung memerah. Ia sudah kepergok sebagai cewek bodoh yang mudah ditipu.

"Astaga....Ai, Ai!" pria itu masih tertawa kecil. "Kamu tuh ya,"

"Ya, maaf, namanya juga nggak pernah ngunjungin. Mana aku tau apa dilakukan disana." gadis itu memanyunkan bibirnya.

"Hahaha, iya-iya. Besok aku ajari deh. Lagian aku mau bantuin kamu untuk cantik. Karena aku geram banget sama keluargamu. Lihat aja, kamu pasti bisa membalas mereka. Tunjukkin kalo kau adalah berlian yang terbuang," pria itu menatap Aine. Tatapannya seolah mengalirkan energi untuk gadis itu.

"Ya.... aku yakin aku bisa, Raz."

Iraz menyipitkan matanya. Itu artinya dia tersenyum dibalik maskernya.

"Btw ternyata ada satu kelebihan lain yang tidak kamu sadari, Ai!" ucapnya tiba-tiba.

Aine mengerutkan keningnya. "Apa?"

"Kau bisa membuat orang nyaman dan penasaran." jawab Iraz lembut. "Aku contohnya. Sejujurnya aku bukan orang yang mudah dekat apalagi suka dengan orang lain. Selama dua puluh lima tahun hidup di dunia ini, aku hampir tak pernah penasaran dengan seseorang. Tapi kau berhasil membuatku ingin mengenalmu lebih dalam. Kau gadis yang unik, Ai,"

Aine tersentuh dengan perkataan pria itu.

"Jangan mengatakan itu, Raz. Dulu Alvan juga berkata demikian. Aku tidak ingin terluka lagi."

"Alvan? Mantan pacar yang kau ceritakan itu?"

"Ya... dulu dia juga mengatakan janji-janji manis padaku, tapi ternyata beginilah...."

"Iyakah? Tapi kuyakin, aku tidak sama dengannya. Pasti aku lebih ganteng, hehehehe,"

Aine menatap Iraz kesal. "Mana kutahu kamu ganteng aku tidak, soalnya mukamu tertutup oleh masker. Jadi jelas dia masih menduduki peringkat sebagai yang terganteng untukku."

"Terserah kamu deh. Aku malas membahasnya. Btw aku mau tidur nih, duluan yah," Iraz bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ruangan yang pintunya sedikit terbuka.

Aine tidak membalas. Hanya mengangguk lalu mengikuti pria itu dari belakang. Hendak tidur juga. Sudah cukup lelah hari ini.

***

Pagi hari pukul 06.00 pagi. Aine terbangun dari tidurnya. Menggeliat kemudian meregangkan otot-ototnya. Dia puas dengan jam tidurnya yang baru. Kurang lebih sembilan jam. Biasanya dia hanya mendapat waktu tidur empat atau lima jam saja. Tergantung pekerjaan yang harus dia selesaikan sewaktu di rumahnya dulu.

Baru bangun Aine langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian mulai beraktivitas seperti biasa.

Kebiasaanya melakukan sesuatu dengan cepat, kini mulai ia terapkan di rumah itu. Ia ingin membalas jasa Iraz dengan cara menjelma menjadi pelayan di rumah itu.

Jam 07.00, Aine selesai memasak. Pas banget dengan kedatangan Iraz yang mengatakan bahwa ia lapar. Pria itu berkeringat banget, terlihat sangat lelah.

"Kamu dari mana?" tanya Aine menyendokkan nasi goreng ke piring.

"Abis joging." jawab Iraz singkat. Nafasnya tersengal dibalik maskernya.

"Ya ampun, maskernya dibuka dong, Raz! Nafasmu susah tuh keluarnya!" kata Aine tersenyum.

"Malah nafasku akan berhenti jikalau membukanya," sambung Iraz.

Aine menggeleng pelan. "Ya udah, terserah kamu deh," ia membawakan sepiring nasi goreng lengkap dengan telor plus dihiasi tiga kerupuk. Ia meletakkan bawaannya di meja tempat Iraz menghadap.

"Wihhhh, pas banget. Makasih, Ai. Tapi aku makan di kamar aja, ya!" pria itu langsung masuk kekamarnya. Tentu saja membawa sepiring nasi goreng buatan Aine.

Aine tersenyum senang. Ia menyukai tingkah Iraz. Meski ia penasaran setengah mati dengan kehidupan pria itu, tapi ia senang dengan ketertutupannya.

"Kita makan bersama ya, Ai! Tapi dengan tempat yang berbeda," tiba-tiba kepala Iraz menyembul dari balik pintu kamarnya.

Aine yang masih tersenyum lumayan terkejut. Tapi ia menjawab, "iya, Raz."

Pria itu sudah menghilang. Pintu juga sudah ditutup. Artinya dia benar-benar sudah memulai makannya.

"Aku juga harus makan," gumamnya.

Setelah keduanya selesai makan, Iraz mengajak Aine ke pusat gym. Mempertemukan gadis itu dengan seorang wanita. Ternyata seorang pakar kesehatan.

Aine pun mulai diajari bagaimana berolahraga yang benar agar berat badan cepat turun. Gadis itu mencerna dengan baik.

Sementara itu, Iraz memilih untuk pergi dari tempat itu. Dia berjanji akan menjemput Aine jika gadis itu sudah selesai. Aine menyetujuinya.

Terpopuler

Comments

Jumriani

Jumriani

next author next author next author next author next author.. senyum-senyum sendiri nih bacanya 😁😁😁 author

2022-04-16

0

My

My

di tungguin upnya..
jangan lama 2 donk upnya

2022-03-01

2

Priska Jacob

Priska Jacob

lanjut terus kk thor penasaran ..

2022-03-01

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 60 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!