Dua tahun lalu ketika Aine masih SMA. Alvan yang menjadi idola banyak orang ditemukannya dalam keadaan memprihatinkan. Seluruh tubuh pria itu berdarah.
Kebetulan Aine mendapat kelas melukis hari itu. Makanya ia pulang agak malam.
Saat itu tidak ada yang menjemputnya. Nyari taksi juga susah, akhirnya memilih untuk berjalan kaki.
Dijalan dekat gang lah ia menemukan Alvan terkapar bersimbah darah. Pria itu masih sadar tapi sudah susah untuk bergerak.
Saat itu ia panik, tapi langsung mengambil keputusan untuk melarikan pria itu kerumah sakit. Keputusan yang tepat, karena nyawa Alvan jadi terselamatkan. Coba kalo gadis itu membiarkan Alvan tergeletak begitu saja, mungkin pria tidak akan ada lagi.
Peristiwa itu membuat Alvan merasa berutang pada Aine. Ia ingin membalasnya dengan membuat gadis itu senang. Makanya dia selalu bersikap manis kala mereka bertemu.
Alvan sering menceritakan bahwa dia adalah pria idola di kampus---saat itu Alvan masih kuliah. Dia bilang kenapa dia terkapar malam itu karena ada sekumpulan anak bandal yang menggebukinya. Katanya sih orang-orang itu iri sama Alvan. Karena pria itu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Aine sih percaya. Soalnya pria itu gantengnya kebangetan. Persis boyband Korea.
Awalnya Alvan tidak tertarik untuk memacari gadis seperti Aine. Tapi karena perempuan itu sangat baik, akhirnya memilih untuk menjalin hubungan. Dan hubungan itu semakin hari semakin baik saja.
Alvan mencintai Aine--- dia bukan pria pemandang fisik. Makanya Aine termasuk orang yang beruntung bertemu pria itu. Tapi ketimbang Alvan, sebenarnya rasa cinta Aine jauh lebih besar. Mungkin dikarenakan dia cowok satu-satunya yang mengaku menyukai Aine terlepas dari buruk rupanya.
Kejadian itu sudah berlalu dua tahun. Itu artinya, hubungan mereka juga sudah berumur dua tahun. Tapi sampai kini, Aine tidak pernah memberitahu siapapun kalo dia memiliki seorang kekasih. Bahkan kepada orangtua ataupun saudaranya.
Berbeda dengan Aine, Alvan malah sudah mengenalkan Aine pada kedua orangtuanya. Sebenernya orangtua Alvan tidak menyukai Aine. Tapi mau bagaimanapun mereka tidak berhak mengatur hidup Alvan. Makanya mereka hanya protes saja, tidak langsung melabrak Aine.
Tidak mudah menjalani hubungan itu.
Karena ada banyak orang yang tidak menyukai hubungan keduanya. Tapi meski demikian, Alvan merasa fine saja. Ia tetap pede menjalani hubungan itu dengan bahagia.
Sebenarnya kunci kelanggengan mereka adalah umur--- karena usia Alvan yang lebih tua lima tahun dari Aine. Pria itu sangat bijaksana secara umur ataupun watak. Makanya dia bisa menjalani hubungan secara dewasa pula. Pokonya mereka adalah The real best couple.
***
Sudah dua bulan sejak terakhir kali Aine jalan bareng Alvan. Hari itu mereka memutuskan untuk keluar. Tapi Alvan jadi aneh sejak itu. Dia bukan lagi pria yang romantis seperti sebelumnya. Malah jadi cowok yang ketus dan dingin.
Contohnya aja pagi ini. Aine sudah menghubungi pria itu lima kali, tapi yang dilakukan Alvan adalah me-reject panggilannya.
Kadang Aine stres gara-gara memikirkan itu. Ia mencoba mengingat semua perlakuannya, dan sepertinya nggak ada yang salah deh. Kayaknya dia pacar yang baik. Tidak pernah marah atau mengatur laki-laki itu. Tapi kenapa Alvan berubah?
Aine sudah pernah mencoba ingin bicara baik-baik pada Alvan. Ia ingin memastikan apa yang salah. Tapi pria itu malah mengaku sibuk--- lebih tepatnya tidak mau bertemu dengan Aine lagi.
Hal itu membuat Aine sedih.
Hari ini ia sangat sedih. Tapi disela-sela kesedihannya, ia mendapat pesan dari Melanie.
"Datanglah ke hotel x. Aku ingin memberikan kejutan padamu."
Begitu kira-kira isi pesannya.
Aine yang penasaran langsung pergi kesana. Menghampiri kamar yang dimaksud kakaknya.
Dan apa yang dia lihat benar-benar menjadi salah satu keruntuhannya. Bagaimana tidak jika Alvan yang dia cintai sedang berciuman dengan Kakaknya.
Seketika kedua matanya berair. Menyaksikan keduanya begini membuat ia semakin yakin bahwa Alvan tak mencintainya lagi. Tiba-tiba dua bulir air bening jatuh dari pelupuk matanya.
"Van...." ucapnya tergetar. Ia menatap pria yang sudah melepaskan bajunya itu.
Pria itu menoleh. Tentu terkejut, hingga dia melepaskan ciumannya dengan terpaksa.
"Ain? Kamu..."
"Kenapa begini? Apa kau tidak mencintaiku lagi?" sela Aine. Air matanya terus mengucur sedari tadi.
Pria itu terdiam.
"Hari itu kau berjanji padaku, bahwa aku akan selalu menjadi satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi apa ini?" Aine benar-benar frustasi. "Kau pembohong, Van..."
Alvan hanya terus terdiam sambil menatap wajah kekasihnya.
Di atas ranjang, Melanie tersenyum puas melihat kehancuran hubungan keduanya. Dia berhasil merebut Alvan dalam waktu yang terbilang cukup singkat. Dia hebat dalam menghancurkan orang lain.
"Ain, kurasa kita tidak bisa bersama lagi. Lebih baik kita pu...."
"Tidak! Aku tidak mau, Van! Aku sangat mencintaimu! Jangan seperti ini padaku..." Aine menjadi gadis yang sangat menyedihkan sekarang. Satu-satunya semangat hidup yang dia miliki pun turut direbut oleh saudarinya sendiri.
"Ain, tolong jangan egois. Aku tidak mencintaimu lagi!"
"Nggak! Nggak, Van! Kau masih mencintaiku, aku tau itu!"
"Nggak, Ain!"
"Kenapa?"
"Karena aku sudah mencintai Melanie, kakakmu." Jawab Alvan lirih.
Gadis itu langsung tumbang. Tubuhnya duduk terhempas dihadapan Alvan. "Inilah alasan kenapa aku melarang mu untuk mengenali keluargaku, karena dari awal aku sudah memprediksi ini, hiks," tangis gadis itu.
"Tapi kau berjanji hari itu, secantik apapun saudariku, kau tidak akan menyukai mereka. Tapi inilah kenyataan..." Aine menunduk. Kedua tangannya bertumpu pada lantai.
"Kita tidak bisa menyalahkan perasaan, Ain! Kau tidak cantik, harusnya kau sadar akan hal itu!"
Untuk pertama kalinya kata-kata itu keluar dari mulut Alvan. Selama ini, selama mereka berpacaran, Alvan lah satu-satunya manusia yang tidak pernah mempermasalahkan fisiknya. Tapi sekarang, pria itu sudah berubah status. Ia sudah sama dengan yang lain.
Aine menatap lantai. Bayangannya terlihat jelas disana. Ya, harusnya dia sadar siapa dirinya. Dia tidak pantas untuk Alvan, sama sekali tidak. Huh, bahkan lantai itupun seakan iba padanya saat ini.
"Van..." gadis itu bangkit. "Katakan kau hanya bercanda. Aku akan percaya, kok,"
Aine tidak lagi menangis. Ia mencoba tersenyum.
"Nggak, Ain, aku serius. Aku dan Melanie sudah berpacaran." Pria itu mendekat ke arah Aine. "Jadi kita putus. Oke?"
Aine berusaha membendung air matanya. Rasanya sakit sekali. Harapan hidup yang dia miliki hanya Alvan, dan diapun sudah meninggalkan Aine.
"Nggak, Van...aku nggak mau. Katakan ini hanya bercandaan. Aku nggak akan marah kok," tangis Aine berusaha bangkit.
"Kenapa sih kau susah mengerti? Sudah kubilang, KITA PUTUS! AKU NGGAK MENCINTAIMU LAGI, AINE!"
Deg! namanya dipanggil. Itu artinya Alvan serius dengan perkataannya. Karena pria itu akan memanggilnya Ain kalo saja dia masih dicintai. Tidak ada harapan lagi.
Aine mengepalkan tangannya. Sorot matanya menajam saat bertemu dengan mata kakaknya yang duduk diatas ranjang. Wanita itu tersenyum sinis padanya.
"Melanie, kau benar-benar tidak punya hati!" ketus Aine.
"Heh! Dimana etikamu?" seru Melanie marah.
"Kau sudah menghancurkan hidupku. Aku membencimu. Dasar pelakorrr!"
"Plok!" seseorang menamparnya. Bukan Melanie, tapi Alvan.
"Berhentilah menyalahkan orang lain, Aine! Mulailah menyalahkan takdirmu yang begitu buruk!" kata Alvan pedas.
Gadis itu refleks memegang wajahnya yang terasa perih. Bukan hanya wajahnya yang perih, tapi hatinya juga. Alvan, pria yang dia bangga banggakan selama ini menamparnya karena wanita lain? Benar-benar keterlaluan.
"Pergilah! Kami mau melanjutkan acara kami!" Alvan mendorong tubuh Aine. "Jangan ganggu aku lagi,"
Gadis itu terdorong sampai pintu keluar.
"BRENGSEK!!!!" seru Aine di puncak emosinya.
Tidak ada sahutan, Alvan malah menutup pintu dengan santai. Dia berlagak seperti tidak punya masalah.
Aine menangis lebih lama. Ia tidak peduli dengan pandangan aneh orang-orang.
Sambil berjalan, ia menitikkan air matanya dengan pandangan ke bawah. Ia tidak menyangka bahwa dia akan mendapat masalah seberat ini.
Pacarnya berkhianat dengan kakak kandungnya. Dan yang paling sakit, dia diputuskan saat itu juga. Sakit yang teramat sangat sangat sangat sakit.
Gadis itu terus berjalan. Tapi kali ini otaknya menerawang ke bulan lalu. Pantasan pria itu berubah, rupanya sudah ada musuh dalam selimut.
Dan Melanie, pantas saja gadis itu sok-sok baik akhir-akhir ini. Sok-sok menanyakan apa makanan hingga warna kesukaan Alvan, teryata dia ingin menyedot banyak informasi.
Betapa bodohnya dia tidak menyadari semua itu.
Saat sudah diluar hotel, dia berteriak sekencang-kencangnya. "BAJINGAN KAU ALVAN! TEGA KAMU MELAKUKAN ITU PADAKU! AAAAA AKU BENCI KALIAN SEMUA!!!"
Ia tidak peduli lagi dengan apapun itu. Pandang atau tertawaan orang sudah seperti angin baginya. Intinya dia sakit teramat sangat sakit.
Dia sudah hancur.
***
Sudah malam, Aine menangis di sebuah gudang yang tidak terpakai lagi. Ia meringkuk disudut ruangan dengan air mata yang kendur secara alami.
Sakitnya tidak terdefinisi kan. Bagai seribu panah yang melesat menghujam seluruh tubuhnya. Dan lihat, bahkan Alvan yang dia harapkan kedatangannya benar-benar tidak peduli lagi dengannya. Sekedar menelfon juga tidak!
Aine mengambil hapenya dari saku celana. Ingin melihat waktu. Ternyata sudah jam 20.00. Artinya, dia sudah meringkuk disana lebih dari lima jam. Pantas saja dia ingin tidur. Rupanya sudah terlalu lelah.
Bagaimanapun juga, ia tidak punya tempat tujuan selain rumahnya. Ia harus kembali kesana. Dan ia harus mengambil haknya. Ya, malam ini dia berniat meminta bantuan orangtuanya. Satu-satunya cara adalah mengadukan Melanie. Mungkin dengan demikian ia bisa mendapat simpati dan akhirnya Alvan bisa kembali ke pelukannya.
Gadis itu melangkah ngontai. Ia lelah. Tapi sialnya, jalan yang harus dia tempuh masih panjang.
Seandainya saja ada yang bisa mengantarkannya.
Sekitar satu jam berjalan, akhirnya dia sampai di rumah. Masih jam 23.12, jadi dia masih punya kesempatan untuk bicara dengan orang tuanya seandainya saja kedua orang itu belum tidur. Ya, keberuntungan untuknya, karena kebetulan Papa sama mamanya sedang duduk diatas sofa sambil berbincang riang dengan seorang pria seumur papa.
"Pa ..Ma..." lirihnya.
"Eh, Aine," Mama tersenyum kearahnya. "Sini sayang..."
Tumben banget mamanya berubah begitu. "Duduk disini, yuk. Di samping Mama," wanita itu menepuk sofa disampingnya.
Aine jelas heran, seheran-herannya. Tapi ia tetap menurut untuk duduk di samping Mamanya.
"Ne... kenalin, dia Monata." Papa memberitahu saat Aine baru saja mendudukkan pantatnya.
Gadis itu hanya menunduk tersenyum.
"Ne, dia calon suami kamu." Kata Mama tiba-tiba.
Deg! Jantung Aine langsung mengombak tak karuan.
"Maksud Mama?" tanya Aine bergetar.
"Maksud Mama, kamu akan menikah dengannya. Dia baik kok, tampan, kaya raya, apa yang kurang coba," lanjut Mama.
Seketika semuanya remuk. Cobaan apa lagi ini? Haruskah semua penderitaan ini datang bertubi-tubi?
"Mama udah gila!" ucap Aine ketus.
"Maksudmu mengatakan itu apa sayang?" lihatlah, wanita itu nggak marah, malah melembutkan suaranya. Dan panggilan sayang? Sejak kapan wanita itu mau memanggilnya demikian? Kayaknya ini pertama kalinya deh.
"Mama apa-apaan menyuruhku menikah dengan pria dewasa sepertinya," gadis itu mulai menangis kembali. Hidupnya memang sudah hancur sekarang.
"Eh, jangan salah, sayang... dia duda yang hebat kok. Kaya raya, kau akan hidup bahagia dengannya." Mama kembali berdrama. Itu sangat menjijikkan bagi Aine.
"Kalian semua itu kenapa sih! Tidak cukup puas menyiksaku selama ini! Semua hal sudah kulakukan, tapi kenapa kalian tetap begini padaku! AKU BENCI KALIAN SEMUA!" gadis itu menangis dengan pilu.
"Hei! Kau nggak sadar, ya! Kamu itu gadis bodoh dan jelek! Masih untung aku berniat menikahimu!" kini Monata yang bicara. "Kalian itu jelas nggak, sih! Kalo putrimu ini seperti ini, mending 2M-nya kembalikan!"
Papa Aine langsung berubah mimik. "Eh, pak Monata kok begitu. Pernikahannya tetap jadi kok. Mungkin Aine lagi shock gara-gara mendadak begini. Kami janji kok akan membujuknya. Pak Monata nggak usah khawatir." Pria itu benar-benar tega mengatakan itu.
"Aku nggak mau, Pa!!" gadis itu langsung berlari meninggalkan ketiganya.
Saat ingin memasuki kamarnya yang ada dibelakang, Aine berpapasan dengan Melanie. Gadis itu tersenyum puas melihatnya hancur.
"Kau...." Aine berhenti tepat didepan Melanie. "Pasti kau kan yang merencanakan ini semua!"
Melanie menyilangkan tangannya didepan dada. "Kalo iya, kenapa?" tanya gadis itu tanda dosa.
"Kau tega!"
"Tentu saja. Emangnya kau siapa berhak dikasihani!" ucap Melanie sambil mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Lagian Om Monata cocok kok sama kamu. Ambil aja. Hidupmu terjamin bersamanya,"
"Kau!" Aine berada dipuncak emosinya. "Kau sudah merebut segalanya dariku, Melanie! Hidupku, kebahagiaanku bahkan orang yang ku cintai! Apa kau belum puas juga! Dan sekarang kau malah menjebakku dengan menyuruh Papa menikahkan ku dengan om-om!"
Suara Aine mulai serak. Mungkin karena menangis terlalu banyak.
"Entah kenapa kau tega melakukan ini padaku. Padahal aku nggak pernah jahat padamu!"
"Hmmmm, kau mau tau kenapa? Karena orang sepertimu tidak pantas bahagia. Kau juga tidak pantas mendapatkan Alvan. Yang pantas untukmu itu adalah hidup bersama Om Monata. Jelas?"
"Jika memang benar demikian, maka aku tidak akan pernah menyesali ini!" tiba-tiba Aine merenggut kepala kakaknya. Menjambak rambut wanita itu dengan ganas--- sebelumnya dia tidak pernah seberani itu.
"Aaaaaa," Melanie menjerit. Ia sengaja tidak membalas perbuatan Aine agar semua pengisi rumah itu menyalahkan Aine lagi. Dan ya, segalanya benar-benar terjadi sesuai keinginan Melanie.
"Plok!!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Nyicil dulu bacanya ya thor nanti dilanjut lagi , Udah masuk ke fav kok
2022-07-30
0
Priska Jacob
alvan baik diawal aja, gak nyangka!!
lanjut terus kk thor ..
2022-03-01
3
Moms Iwan N Icky
uhh dasr nenk lampir
2022-02-28
1