Bunuh Diri

Aine masuk kedalam kamarnya. Wajah pucatnya terlihat memerah akibat tamparan keras Mamanya.

Tadi saat dia berantam dengan Melanie, tiba-tiba mama dan papanya muncul. Tentu saja Aine yang menjadi sasaran utama, sama seperti sebelum-sebelumnya. Ia yang selalu disalahkan meski bukan dia yang memulai.

Melanie ataupun Vanya selalu saja berhasil membuatnya seolah-olah gadis penindas.

Begitulah jalan hidup yang dia terima dari Sang Pencipta.

Gadis itu menangis. mengunci pintu dengan emosional kemudian diikuti umpatan kasar. Ia melakukan hal yang sewajarnya.

Ia duduk didepan meja rias. Sejenak memperhatikan wajahnya yang benar-benar jauh dari kata cantik.

Sebenarnya dia cantik apabila saja dia pintar mengurus diri seperti kedua saudarinya. Matanya bagus, hidungnya mancung, garis wajahnya tegas. Hanya saja, sayatan panjang yang mengotori wajahnya menghalangi kecantikannya yang sebenarnya.

"Kamu jelek, kamu bodoh, kamu buruk, kamu tidak berguna, kamu tidak pernah benar, dan kamu adalah sampah." Aine mengatakan itu pada bayangannya. "Harusnya kamu mati dari dulu."

Gadis itu mengeluarkan air mata dibarengi senyuman aneh di bibirnya.

"Kau sebaiknya mati, Aine. Tidak ada lagi gunanya menjalani hidup ini. Alvan, satu-satunya manusia yang kau harapkan juga sudah pergi meninggalkanmu. Mari menutup mata dengan damai."

***

Pagi hari, Vanya bangun duluan--terpaksa karena masuk sekolah. Ia terkejut saat tidak ada yang memasak. Padahal biasanya jam segini Aine sudah mempersiapkan segala keperluan dan kepentingnya.

"Ma...Kak Aine nggak masak!" gadis kelas tiga SMA itu memberitahu mamanya. Kebetulan mamanya itu baru saja selesai mandi. Dan sedang duduk menghadap meja rias.

"Kenapa?"

"Nggak tau, Ma. Kayaknya dia belum bangun deh,"

"Belum bangun? Dasar gadis pemalas!" wanita itu berdiri, menatap Vanya sebentar, lalu keluar dari kamar.

"Aine!!!" Mama menggendor pintu kamar gadis itu.

Tidak ada sahutan.

"Hei, pemalas! Vanya mau sekolah, apa kau mau membunuhnya dengan tidak memasak sesuatu untuk sarapan paginya?" wanita itu marah dari luar.

"Wah, jadi sudah berani melawan sekarang?"

Tetap tidak ada jawaban. Kamar itu lengang, amat lengang.

"Kau mau mati? Belum puas merasakan tamparan ku? Buka Aine! Kalo nggak kubunuh kau!"

Wanita itu meraih gagang pintu--- bermaksud menggendor, tapi ternyata pintunya tidak terkunci. Sayang sekali dia berteriak-teriak dari tadi.

"Aine!" ia terkejut saat mendapati kamar itu kosong.

"Kemana perginya si bodoh itu," ujar Mama menghampiri meja rias yang terletak di dekat ranjang. Disitulah dia menemukan sebuah surat.

Dari Aine.

Untuk semua orang yang tinggal dirumah ini.

Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku sudah terlalu banyak menderita. Kalian semua selalu memperlakukan dengan buruk. Membuatku tertekan untuk waktu yang lama.

Aku pergi. Semoga kalian bahagia. Semoga apa yang kalian inginkan bisa tercapai.

Aku akan mengakhiri segalanya. Rasa sakit ini akan berlalu sama seperti berlalunya nyawaku. Itu yang terbaik.

Aku tau kalian tidak akan mencari ku. Tapi jika tiba-tiba hati kalian tergerak untuk mencariku gara-gara uang 2M itu, maka hentikanlah. Kalian tidak akan menemukan ku lagi.

Aku akan menghantui kalian. Menunjukkan bahwa aku bukan orang tolol yang selalu saja menjadi budak dirumah kalian.

Teruntuk Vanya, terimakasih telah mengotori wajahku ini. Terimakasih telah mendorongku hingga bekas ini menjadi aib bagiku. Suatu saat aku akan membuatmu merasakan ini.

Teruntuk Melanie, terimakasih juga sudah merebut segalanya dariku. Apalagi Alvan, terimakasih banget. Bahagialah dalam mimpi buruk yang akan menghantuimu.

Untuk Mama dan papa, terimakasih karena telah menciptakan kasta dirumah neraka ini. Aku bangga dengan kalian.

Teruntuk kalian semua, AKU MEMBENCI KALIAN.

Salam dari kematian.

***

Aine terus berjalan kearah selatan. Sudah jam setengah dua belas dan dia belum menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidup.

Padahal, dia sudah berjalan jauh sekali dari rumahnya.

Langkahnya ngontai. Matanya sayu. Wajah pucatnya kelihatan lelah.

Ia berjalan tanpa membawa apa-apa. Hanya pakaian yang tertempel ditubuhnya. Tidak ada koper, tidak ada uang atau apapun itu---iyalah, kan dia berniat bunuh diri bukan mau ngungsi.

Akhirnya setelah berjalan sekitar dua puluh menit lagi, ia menemukan jembatan gantung yang lumayan megah. Jembatan itu tinggi. Dibawahnya air sungai mengalir deras. Ia pikir, sekarang hidupnya akan berlalu seperti berlalunya air sungai itu.

Hujan datang hari ini. Tapi tidak lebat. Hanya sekumpulan hujan yang lebih besar dari gerimis. Tapi air itu berhasil membasahi seluruh tubuhnya.

Tidak mengapa, baginya hujan itu yang mendorongnya agar melompat sekarang juga.

Aine naik ke penghalang jembatan. Ia melebarkan kedua tangannya. Bersiap melompat.

"Semuanya....ayo kita lakukan!" serunya ditengah rintikan hujan.

Hampir ia melompat, tiba-tiba seseorang muncul didekatnya.

"Bunuh diri kok tanggung!" ujar orang itu.

Aine terkejut mendengarnya. Ia menoleh kebelakang dan melihat seorang pria yang mengenakan masker dan topi berwarna hitam sedang memegang payung untuk melindungi dirinya dari hujan.

"Siapa kamu!" Aine malah bertanya.

Pria itu mengangkat bahunya.

"Pergilah kalo tidak ada urusan dengan ku!" ketus Aine.

"Kenapa kamu yang ngatur? Emang jembatan ini punya nenekmu?" tanya pria itu.

Gadis itu langsung cemberut.

"Kuberi tahu ya, sebenarnya bunuh diri itu hanya dilakukan oleh orang bodoh." Ujar pria itu santai.

"Aku memang bodoh." lanjut Aine cepat.

"Iyakah?" ujar pria itu datar. "Kalo begitu, kamu mau nggak berubah jadi orang pintar?"

Aine mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Pria itu meninggikan payungnya. "Jangan bunuh diri dulu. Perpanjang waktunya..."

Gadis itu tidak mengerti maksud perkataan pria itu. Jadi dia langsung bersiap melompat. Hampir kakinya lepas, tapi tidak jadi jatuh karena pria itu langsung menarik tangannya.

Payung pria itu terbang dan jatuh ke sungai. Sebagai gantinya, tubuh Aine berhasil dia tangkap.

Mata mereka bertatapan di antara jutaan tetes hujan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu seraya tersenyum dibalik maskernya, menatap mata Aine yang dihalangi kacamata. Bahkan ketika ingin mengakhiri hidupnya, Aine masih setia dengan kacamata itu.

Aine menggeleng. "Tidak, aku sudah hancur." jawabnya lemah.

"Pulanglah bersamaku, kau bisa memulihkan kondisimu disana." tawar pria itu.

"Ta-tapi..."

"Lupakan bunuh diri. Itu hal yang konyol. Terlepas dari apapun masalahmu, bunuh diri bukanlah jalan yang terbaik. Jika memang kau ingin bunuh diri gara-gara percintaan, kau kan bisa membalasnya." Pria itu berkata seraya menegakkan tubuh Aine.

Gadis itu menunduk. "Apa yang kulakukan ini salah?"

"Tidak sepenuhnya. Rasa sakit yang tidak bisa ditahan yang membuat orang-orang memilih mati. Itu wajar," kata pria itu lembut. "Jangan menangis seperti itu, kau bisa berubah lebih baik kok. Ayo pergi bersamaku,"

Pria itu menarik tangannya. Membawanya masuk ke mobil yang terparkir diujung jembatan.

Pria itu basah, begitu juga dengan Aine. Tapi Aine yang lebih parah, karena dia basah sampai pakaian terdalamnya.

Mobil sudah melaju. Aine menatap jalanan didepannya. Meski tatapannya tertuju pada jalan, tapi pikirannya mengambang. Mengira-ngira bahwa keluarganya sedang berpesta karena kepergiannya.

"Aku bukan cowok yang ramah. Tapi padamu aku akan ramah." Pria itu tiba-tiba mengatakan itu.

Aine menoleh kearah pria yang sedang menyetir itu. Dia hanya tersenyum kecil. Menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak mood menjawab.

"Kamu mau bunuh diri karena apa?" tanya pria itu.

Gadis itu kembali menunduk. Rasanya tidak mungkin dia memberitahu masalahnya pada pria asing. Tapi...sesak dihatinya juga perlu dikuakkan. Minimal untuk mengurangi rasa sakit.

Jadilah Aine menceritakan semua kehidupannya yang menyedihkan. Mulai dari kasta dirumahnya hingga penghianatan pacarnya. Dia bercerita sambil menangis.

"Makanya aku ingin bunuh diri. Tapi kau menggagalkannya!"

Tidak tau bagaimana ekspresi pria itu, karena wajahnya tertutupi oleh masker.

"Aku sih nggak masalah kau bunuh diri. Tapi kasihan aja kalo bunuh dirinya nanggung." ucap pria itu.

"Maksudnya?"

"Kau itu nggak mikir apa? Ketinggian jembatan yang tadi hanya enam meter dari sungai. Jadi setiap orang yang jatuh dari atas jembatan, kemungkinan besar tidak akan mati. Bayangin aja, kau melompat, terus kakimu yang membentur batu runcing. Wahhh sakitnya itu tidak terbayangkan. Terus, kau dibawa oleh arus air sambil terus menangis karena kesakitan. Padahal tujuanmu bunuh diri kan untuk menghilangkan rasa sakit. Ini malah nambah. Masih untung kamu langsung mati, bagaimana kalo kau diberikan hidup mengambang di sungai selama tiga hari. Ih, nggak kebayang, kan? Aku sih hanya kasihan aja," pria itu berkata panjang lebar.

Dalam hati, Aine membenarkan semua yang dikatakan oleh pria itu. Kenapa dia tidak berfikir sampai kesana?

"Kalo kamu mau, aku bisa memberikan tips bunuh diri yang efektif anti gagal." katanya kalem.

"Caranya?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap jalanan sejenak. "Aku pernah baca panduan untuk bunuh diri. Katanya, cara terbaik untuk menghilangkan nyawa adalah melompat dari atas gedung. Dengan syarat, gedungnya tinggi. Dan saat melompat, kau harus mengarahkan kepalamu kebawah."

"Aku sih yakin itu berhasil. Tapi kamu berani, nggak?"

Gadis itu meremas tangannya. Ia tidak bisa membayangkan itu. "Lebih baik minum racun," sahutnya.

"Nggak lah. Itu malah lebih buruk. Minum racun butuh waktu sekitar satu jam untuk mati. Itupun kalo dosisnya tinggi. Bayangin kamu menahan rasa sakit yang teramat sangat sekitar empat puluh lima menit. Pasti akhirnya kau akan memilih meminta bantuan dan akhirnya diselamatkan. Setelah kau hidup kembali, aibmu akan tersebar."

Sekali lagi Aine membenarkan perkataan pria itu. "Bagaimana kalo gantung diri?"

"Percayalah, itu bahkan lebih parah. Demikian juga dengan yang lain, contohnya membakar diri ataupun menenggelamkan diri. Kau tidak akan sanggup menahannya. Atau dengan kata lain, kau akan menyesalinya."

"Tapi kalo melompat dari atas gedung, kau dijamin mati dalam hitungan detik. Orang kepalamu udah hancur. Makanya, itu adalah bunuh diri anti gagal."

Gadis itu merenung. Benar juga yang dikatakan pria ini. Sepertinya dia orang yang sangat cerdas.

"Jadi menurutku, kau lebih baik membalas mereka ketimbang bunuh diri. Karena kuyakin, kau nggak bakalan sanggup melompat. Iya, kan?"

Aine mengangguk. "Jadi bagaimana caraku membalas dendam? Aku tidak punya apa-apa dihidup ini..."

"Aku bisa membantumu...." pria itu tersenyum dibalik maskernya.

***

Mobil hitam yang ditumpangi Aine berhenti di depan sebuah rumah kecil. Hunian yang sunyi, jauh dari keramaian. Sebuah rumah yang terletak di pinggir kota.

"Turun yuk, kau bisa tinggal disini untuk beberapa waktu. Sampai kau memilih apa yang ingin kau lakukan." pria bermasker itu turun dari mobil, tanpa menoleh langsung berlari ke teras rumah.

Aine merenung sejenak. Mempertimbangkan perkataan pria misterius itu. Benar sih, rugi banget kalo bunuh diri. Tidak akan ada gunanya dia melakukan hal konyol itu. Toh keluarganya tidak akan menyesal, malah pasti jadi senang. Belum lagi dia tidak diterima oleh Yang Kuasa karena memilih mengakhiri hidup. Hidupnya akan sial selamanya.

Kemungkinan yang akan dia lakukan adalah change appearance.

Sebenarnya dia setuju untuk merubah penampilannya. Tapi dia tidak tau bagaimana caranya. Orang dia tidak terpikir kesana dari dulu. Tapi sudahlah, dia bisa mulai bertindak sekarang.

Gadis itu mengepalkan tangannya. Apapun itu, pokoknya dia harus berubah. Demi membalas perlakuan keluarganya. Yah, dia harus bisa.

Mata gadis itu terangkat, menatap pria tertutup yang sedang berdiri di teras--sepertinya tidak masuk gara-gara nungguin dia.

Akhirnya Aine keluar, menghampiri pria itu. Dia sedikit berlari demi menghindari hujan yang semakin lebat saja.

"Maaf ya, aku membuatmu repot," Aine menatap pria itu.

Yang ditatap terpaku. Tidak tahu bagaimana ekspresinya dibalik masker hitam itu.

Bukannya membalas dengan tepat, pria itu malah melarikan topik. "Ma-Maaf, tapi ada yang aneh dengan wajahmu," pria itu menunjuk wajah Aine yang aneh.

Gadis itu mengerutkan keningnya. "Apa?"

"Bekas lukamu luntur," ujar pria itu.

Aine langsung menyadari sesuatu. Mampus! Dia lupa kalo wajahnya tidak bisa kena air, karena otomatis luka sayatan panjang itu akan luntur--benar, itu hanyalah luka tipuan, aslinya tidak demikian.

"Benarkah?"

Pria itu langsung mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ternyata hanya selarik tisu yang sudah rengsa. Kemudian hal yang tak terduga dilakukannya. Ia membersihkan wajah Aine dengan tissue ditangannya.

Aine tidak bisa menolak. Ia hanya bisa pasrah dengan perbuatan pria itu.

"Kau?" pria itu terkejut setelah melihat wajah asli Aine. Ternyata wajah gadis itu mulus, tidak ada bekas apa-apa disana. Kulit aslinya juga tidak pucat seperti yang tadi.

Aine terdiam.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya pria itu dingin. Ia terus menatap wajah Aine yang cantik meski bulat karena lemak.

"A-aku... aku melakukan itu karena sesuatu hal... ta-tapi," entah kenapa tiba-tiba Aine jadi gugup seperti ini.

"Baiklah. Aku tau kau tidak mau menceritakannya sekarang. Tidak apa-apa, kau bisa menyimpannya. Aku juga tidak terlalu penasaran." Lalu pria itu masuk kedalam rumah.

Aine mengikuti dari belakang. "Apa kamu marah?"

"Tidak. Kenapa marah? Itukan privasimu." jawab pria itu sambil terus melangkah.

Gadis itu tersenyum. Ia menemukan seseorang yang baik disisinya. Entah siapa itu, tapi dia bersyukur dipertemukan dengannya.

Pria itu berhenti pas di tengah ruangan. Aine juga melakukan hal yang sama.

"Hmmm, ini rumahku. Kecil memang, tapi cukup untuk kita tinggal berdua. Disini ada dua kamar, kau bisa memakai yang itu," pria itu menunjuk ke kamar yang pintunya tertutup.

Aine mengangguk seraya menyapukan pandangannya ke sekeliling rumah. Hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Hunian yang kecil tapi sepertinya nyaman.

"Makasih." ujarnya tulus.

Pria itu mengangguk seraya bertanya, "Btw namamu siapa?"

"Aine. Aine fourie lebih tepatnya," jawabnya.

"Oh."

"Kalo namamu?" tanya Aine balik.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia masih sempat-sempatnya memperbaiki topinya.

"Panggil saja Udin."

Aine mengerutkan keningnya. "Namamu Udin?"

"Bukan sih,"

"Jadi kenapa ingin dipanggil begitu? Apa namamu terkutuk?" terka Aine.

"Sembarangan! Namaku itu privasi. Nggak bisa diketahui sembarangan orang. Jadi panggil saja aku Udin, gimana?"

Aine tersenyum. "Kamu lucu. Mana ada orang yang namanya disembunyikan. Emang kau Zeus apa! Tapi kalo emang namamu nggak bisa ku ketahui, bagaimana kalo kupanggil Iraz?"

"Iraz? Terdengar menarik. Tapi kenapa Iraz?" tanya pria itu.

"Itu nama favoritku. Juga karakter paling kusukai di novel," jawab Aine.

"Oh." Setelah mengucapkan itu, pria yang diberi nama Iraz itu masuk ke kamarnya.

Lima menit kemudian dia keluar dengan pakaian yang berbeda. Maskernya juga sudah diganti. Tapi kali ini, rambutnya tidak ditutupi oleh topi lagi. Rambut model comma hair berwarna agak coklat milik pria itu terlihat memikat. Ia ganteng banget kalo melepaskan rambutnya.

"Aku tidak punya pakaian perempuan. Bagaimana kalo memakai ini untuk sementara? Sampai kamu punya pakaian," pria itu menyodorkan kaos jumbo berwarna hitam plus celana bahan berwarna biru.

Aine menatap pria itu, kemudian beralih ke pakaian, menerima dan mengucapkan terimakasih lagi.

"Kau tidak punya pakaian dalam?" tanya Aine yang menyadari bahwa ********** juga basah.

"Punya, tapi untuk pria."

"Sial. Pakaian dalamku basah semua. Bagaimana ini?"

Iraz menggaruk kepalanya. "Kalo itu aku nggak tau,"

"Ya udah, nggak apa-apa deh," gadis itu meninggalkan Iraz dan masuk kekamar mandi. Ia membersihkan diri disana.

Tiga puluh menit kemudian dia keluar. Gayanya absurd banget. Kaos jumbo itu benar-benar pas-pasan ditubuhnya. Akibatnya kedua gunungnya terlihat jelas tidak mengenakan beha.

Ia menghampiri Iraz yang duduk diatas sofa. Pria itu sedang sibuk mengutak-atik hape.

Iraz menoleh kearah gadis itu. Aish, dia kaget banget liat kaosnya jadi seksi seperti itu. Kaos polos yang berubah menjadi pendosa. Bagaimana tidak jika bentuk tubuh gadis itu terlihat jelas di bawah baju yang ia kenakan. Apalagi pucuk itu benar-benar membuat matanya berdosa banget.

Aine duduk dihadapan Iraz. Ia tau apa yang sedang dilihat pria itu. Tapi ia bodoh amat.

"Jadi bagaimana caramu membantuku?" tanya Aine.

Iraz berusaha mengalihkan pandangannya dari tubuh Aine. Sebisa mungkin dia menatap hapenya sekarang.

"Tenang aja, aku sudah merancangnya. Kita akan memulai dengan pergi ke dokter gizi."

"Diet?"

"Ya. Kau harus kurus untuk terlihat cantik. Setelah itu kau hanya perlu mengikuti prosedurku." kata Iraz menutup mata.

"Oh."

"Aduh, aku tidak tahan." gumam pria itu. "Tapi sebelum itu semua, kita harus belanja sekarang. Mengubah takdirmu tidak sepenting mengenakan dalaman."

"Ha?" Aine jadi bingung sendiri.

"Kalo kamu seperti ini, aku jamin kau akan keluar dari rumah ini tanpa kehormatan," pria itu berdiri lalu menarik tangan Aine. "Niatku memang tidak ada, tapi kesempatan yang ada."

Terka sendiri maksud pria itu.

_Perubahan Takdir Dimulai_

Terpopuler

Comments

Priska Jacob

Priska Jacob

bunuh diri perbuatan dosa aine. untungnya gak jadi hihihi..
lanjut lanjut lanjut kk thor..

2022-03-01

1

Moms Iwan N Icky

Moms Iwan N Icky

ayo aine berubh dong biar cntik n blskn dendammu😎

2022-02-28

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 60 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!