Pembalasan Gadis Buruk Rupa
"Nih, cuciin sepatuku!" masih pagi-pagi Melanie sudah ribut pada adiknya. "Pokonya nanti siang sudah harus kering!"
Aine yang sedang berjongkok mengerjap sejenak. Ia sedang mencuci setumpuk baju milik keluarganya di kamar mandi.
Ia sudah lelah. Sejak pagi tadi seisi keluarga itu mengantarkan pakaian kotor mereka bergantian. Kini lelahnya harus bertambah dengan kehadiran kakak tak berperasaan yang menyuruhnya mencuci sepatu.
Aine menghelai nafas. Ia menatap wajah cantik milik kakaknya. "Kayaknya kalo siang ini nggak bisa kering deh kak. Ini sudah jam sembilan, lagian cuaca hari ini agak mendung."
Bukannya mau menolak, tapi apa yang dia katakan benar adanya. Cuaca lagi nggak kompak. Matahari tidak kelihatan, malah awan-awan hitam yang mengambang diatas sana. Terus bagaimana dia mengeringkan sepatu itu?
"Aku nggak mau tau! Intinya siang ini harus sudah kering!" Melanie meninggalkan adiknya setelah mengatakan itu.
Aine menatap sepasang sepatu berwarna putih itu. Ingin sekali rasanya mencampakkan benda sialan itu. Tapi kalo sampai dia melakukannya, berarti dia siap dikubur hidup-hidup.
Sambil bersungut-sungut, gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia memperkirakan bahwa kerja paksa yang ia lakukan saat ini kemungkinan akan selesai pada dua jam kedepan. Iyalah, butuh waktu lama untuk mencuci pakaian lima orang. Belum lagi dalaman sampai jaket yang digunakan. Sekarang malah bertambah sepatu yang kotornya kebangetan. Mengesalkan tingkat dewa!
"Aine?" kini Mama yang muncul setelah Melanie. "Mama mau pergi arisan. Jangan lupa masak. Entar kalo Vanya pulang, kasih tau kalo Mama arisannya dirumah jeng Sri. Terus jangan lupa bersihin kamar kakakmu."
"Hmmm." Jawab gadis itu singkat. Hampir tiap hari ia menerima perintah seperti itu.
"Kok cuman hmmm, sih!"
"Emang mau jawab apa lagi. Semua perintah Mama udah kurekam diotak ini. Emang Mama mau kujawab tidak?" gadis itu berkata kesal.
"Setidaknya jawab yang benar. Iya, Ma. Gitu kek,"
"Iya, Ma. Maaf." gadis itu menyerah. Ia tahu satu aturan terpenting dirumah itu. Tidak boleh membatah. Tapi anehnya, peraturan itu hanya berlaku padanya.
"Ya udah, kerja yang bener!" setelah mengucapkan itu wanita cantik yang masih modis itu meninggalkan Aine.
Begitulah hidup Aine selama ini. Diperlakukan seperti budak. Tidak punya kebebasan dan selalu tertekan. Hidupnya amat kosong.
Dalam hati yang sunyi, dia protes kepada yang Kuasa. Bertanya-tanya, kenapa Sang Pencipta membiarkan dia mendapat semua penderitaan itu. Berantipati kenapa dia berbeda. Tapi Kepercayaannya itupun seolah tidak mendengar keluhannya.
Aine hidup terbatas. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali dia bebas seperti kakaknya. Atau bisa menikmati waktu seenaknya seperti adiknya. Sudah lama ia ingin merasakan hidup diluar. Sehari saja.
Aine gadis yang buruk. Seperti itu pandangan keluarga terhadapnya. Sebenarnya bukan karena apa-apa sih, hanya saja fisik dan prestasinya berbeda dengan kedua saudaranya.
Melanie kakaknya, sangat cantik dan diakui pintar. Di umurnya yang masih 23 tahun, dia sudah berhasil naik jabatan lantaran kerjanya yang dianggap propesional. Belum lagi dia mampu menyelesaikan kuliahnya pada kurun waktu tiga setengah tahun. Benar-benar luar biasa.
Adiknya yang bernama Vanya juga demikian. Cantik, bahkan lebih cantik dari Melanie. Otaknya juga encer. Selalu mendapat juara umum sejak SMP. Bahkan kini adiknya itu sedang dipersiapkan untuk kuliah diluar negeri.
Dan Aine, secara fisik maupun otak benar-benar kalah jauh dari kedua saudarinya. Tak pernah mendapat juara bahkan selalu mendapat nilai merah. Fisiknya sangat memprihatikan. Kulit pucat, tubuh digandrungi lemak, rambut ikal, dan yang paling parahnya bekas sayatan panjang yang telentang diwajahnya. Dia buruk rupa.
Mungkin karena itulah dia diperlakukan seperti Cinderella di rumah itu.
Keluarganya kaya. Papanya bekerja di perusahaan terkenal dan memiliki jabatan cukup tinggi. Mamanya punya salon yang lumayan terkenal.
Karena Itulah kedua saudarinya selalu mendapat pendidikan di sekolah bergengsi. Mereka bisa mengikuti apa saja yang mereka inginkan.
Tapi anehnya, meski punya banyak uang, Papa ataupun Mamanya tidak mau mempekerjakan pembantu. Mereka beralasan bahwa Aine bisa mengerjakan segalanya. Katanya sayang banget menggaji pembantu padahal pembantu gratis ada--maksudnya Aine adalah pembantu dirumah itu. Kadang Aine malas dengan semua drama yang tercipta.
Gadis itu ingin sekali pergi dari rumah itu, tapi kemana dia akan pergi? Dia tidak punya tujuan. Tidak punya tempat untuk pulang. Hanya keluarga itu yang dia miliki.
Dan seandainya dia memilih pergi dari sana, itu artinya dia bersedia hidup di jalanan. Karena tidak ada profesi yang bisa ia geluti. Namanya juga tamat SMA doang. Zaman sekarang tamatan SMA nggak kepake lagi--- bagaimanapun juga menjadi pembantu dirumah sendiri akan lebih baik ketimbang hidup jadi gembel.
Aine memeras cuciannya. Akhirnya selesai juga. Capek, pake banget. Bayangin aja mencuci segunung pakaian dengan cara manual. Pake brush loh. Nggak mesin cuci. Orang dirumah itu pelitnya kebangetan emang.
Mesin cuci bukan benda yang mahal-mahal amat. Lagian hampir semua orang sudah menggunakannya. Tapi keluarga Aine menolak. Katanya sayang banget kalo pake mesin cuci. Listrik habis dan sebagainya adalah alasan mereka. Lagian ada tangan Aine kok yang jadi mesin dirumah itu. Memang hidupnya sakit banget sih.
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, Aine memilih istirahat. Ia tidak peduli dengan sepatu Melanie yang masih basah. Palingan nanti gadis itu hanya marah, atau nggak melemparkan sesuatu padanya---intinya nggak sampai dibunuh kok. Dan kalo pun hari ini Melanie berubah jadi psikopat gegara sepatu, setidaknya dia bisa memecahkan rekor sebagai manusia dengan kematian paling konyol. Okeh dia pasrah kok.
"Hubungin Alvan ah, mumpung lagi istirahat," gadis itu tersenyum lebar seraya meraih hapenya yang tergeletak di atas meja ruang utama.
Tut.... panggilan masuk.
Tidak perlu menunggu lama orang diseberang menjawab.
"Ain? Ada apa, sayang?" tanya orang diseberang.
"Nggak. Aku cuman kangen aja sama kamu," sambung Aine bahagia.
"Elle, kamu cuman buat baper doang. Padahal aslinya bohong, kan?" terdengar kekehan dari pria diseberang.
"Nggak, Alvan. Aku serius kok. Udah tiga hari kita nggak bertemu. Wajar dong kangen begini." Aine tersenyum malu-malu. Kalo udah bicara sama Alvan begini, biasanya dia melupakan semua penderitaannya--Alvan adalah Mood booster nya.
"Wih, jarang-jarang loh gadis ku lebay begini. Kira-kira karena apa, ya?" suara pria bernama Alvan itu terdengar menggoda.
"Hehehe." Aine hanya tertawa kecil. "Aku punya waktu senggang hari ini. Kita bisa nggak jalan bareng?"
Agak lama Alvan menjawab. "Benarkah? Wahhh aku senang banget,"
"Hehehehe. Kamu jam berapa bisanya?" tanya Alvan lagi.
Aine melirik jam di dinding. "Aku sih bebas jam berapa hari ini. Kamunya aja yang mungkin terhalang,"
"Aku sih bisanya pulang kantor. Jam empat keknya. Gimana, masih bisa?"
"Tentu saja bisa, Sayang." Jawab Aine girang.
"Ya udah, nanti ku jemput, ya. Love you Ain, sayangku."
"Love you too, Alvan my heart." Lanjut Aine.
"Bye. Aku nggak sabar ketemu kamu."
"Cih, kebiasaan gombal!"
"Hehehehe."
"Udah, ya. Aku mau siap-siap. bye." Aine memutuskan sambungan secara sepihak. Wajahnya bersemu merah karena terlalu bahagia.
***
Jam 16.30 di rumah Aine.
Sebuah mobil bermerek ternama memasuki gerbang rumah Aine. Tak lama setelah mobil itu terparkir, keluar seorang laki-laki yang sangat keren. Outfitnya oke banget, belum lagi parasnya yang emang rupawan. He's the true god of good looks.
"Halo, Aine nya ada?" ternyata dia adalah Alvan---pacar Aine. Ia bertanya pada Melanie yang sedang duduk di kursi teras.
Seketika wanita itu terbius melihat wujud Alvan. Ia belum pernah bertemu dengan pria setampan itu sebelumnya. Makanya ia sampai bengong tak menjawab.
"Maaf, apa Aine nya ada, Mba?" tanyanya sekali lagi.
"Ehhh, iya, ada kok." Jawabnya terbuyar.
"Bisa dipanggil sebentar?" tanyanya sopan.
"Tentu saja. Tunggu bentar ya," Melanie melengkungkan bibirnya seindah mungkin seraya masuk kedalam rumah.
Tiga menit berselang, Melanie kembali menemui Alvan. "Bentar lagi katanya. Dia lagi masak. Boleh dong duduk disini sambil nunggu," gadis itu menepuk kursi disampingnya.
Alvan tersenyum. Ia menurut untuk duduk di samping gadis itu.
"Btw, kamu siapanya, Aine?"
"Pacarnya, Mba." Jawab Alvan jujur.
"Oh." Gadis itu menatap wajah Alvan dari dekat. Jujur saja, dia langsung jatuh cinta pada pria itu. "Kok mau sih pacaran sama dia? Jelek banget, nggak cocok sama kamu,"
Alvan tersenyum kikuk. "Kok Mbak nya bilang gitu sih,"
"Kan emang bener. Kamu nggak malu apa? Wajah seganteng ini berhubungan dengan gadis buruk rupa sepertinya. Mending putusin aja deh," Melanie mulai meracuni otak Alvan. Dia ingin pria ini lepas dari Aine dan masuk ke pelukannya.
"Tapi Aine gadis yang baik. Aku nggak apa-apa kok dikatain orang. Aku bahagia bersamanya." Jawab Alvan.
"Kata siapa dia baik? Kamu salah. Dia kalo dirumah itu kerjanya cuman makan dan nonton doang. Bayangin ya, dari pagi sampai malam, kerjanya nyuruh orang aja. Kalo dia nikah sama kamu, apa yang akan terjadi. Aku yakin, kamu pasti malu banget. Udah gitu, pasti dikatain pria berselera rendah."
"Tapi..."
"Aku bukannya mau menghancurkan hubungan kalian, cuman kasihan aja gitu, pria setampan kamu berakhir tidak jelas. Emangnya apa yang bisa kau harapkan darinya? Nggak ada, kan? Dia nggak cantik, nggak pintar, nggak baik juga." Melanie berkata seolah apa yang dia katakan benar adanya. "Kalo aku jadi kamu sih, aku bakalan ninggalin dia dan cari yang baru."
Pria itu mulai berfikir. Dalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan gadis itu.
"Eh, lebih baik cari yang baru." Melanie mendekatkan wajahnya ke wajah Alvan. "Kayak aku misalnya,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
semangat kak ...
Mampir juga yuk ke karyaku
Don't leave me my dear.
Ditunggu dan saling mendukung ya.
Terima kasih😊
2022-07-30
1
Auliya
Aine...
2022-04-02
1
Priska Jacob
sy mampir kk thor, lihat promo di FB.
semangat berkarya ya jangan lama2 up nya
2022-03-01
1