Chapter 05

Setengah jam kemudian, sebelum waktu makan malam tiba. Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang keluarga. Terlihat ibu dan ayah sudah duduk di sofa menungguku.

Keduanya nampak begitu mesra meski pun usia mereka sudah tidak muda lagi. Mungkin karena mereka juga pengantin baru yang masih anget-angetnya. Hehe.

Begitu ibu dan ayah menyadari kedatanganku, mereka pun berhenti bermesraan. Mungkin mereka malu dilihat olehku.

Tidak heran jika selama hampir 2 bulan ini ibu memiliki banyak perubahan, terutama dari segi penampilan. Rupanya saat mereka hanya berdua saja, tingkah mereka seperti itu. Mereka tidak ubahnya sepasang kekasih yang sedang bucin-bucinnya. Melihat tingkah mereka berdua benar-benar membuatku bahagia dan tertawa dalam hati.

Setelah aku mengambil tempat duduk di sofa tunggal yang ada di seberang meja mereka, ayah pun mulai angkat bicara. Awalnya hanya basa-basi, namun kemudian ibu yang mulai membahas hal penting yang beliau ingin bicarakan denganku.

"Kei, karena sekarang kamu tinggal bersama masmu, ibu berencana untuk menjual rumah kita," ucap ibu yang sukses membuat perasaan bahagiaku barusan perlahan-lahan memudar.

"Loh, kenapa mau dijual, Bu? Itu 'kan rumah peninggalan mendiang ayah," protesku.

Jujur saja, aku merasa tidak setuju dengan rencana ibu. Selain karena rumah itu adalah rumah peninggalan mendiang ayahku, rumah itu juga memiliki banyak sekali kenangan. Ditambah lagi aku masih ingin pindah ke sana begitu ibu dan ayah kembali ke kota AB. Aku tidak akan pernah sanggup tinggal satu atap bersama mas Darren dan istrinya. Itu sama saja dengan membunuhku secara perlahan.

"Dengarkan penjelasan Ibu dulu, Nak. Tidak lama lagi 'kan kamu akan wisuda, dan setelah itu kamu pasti akan mencari sebuah pekerjaan bukan?" kata ibu.

Aku hanya terdiam mendengar penjelasan beliau. Aku benar-benar tidak setuju dengan rencananya itu, tapi aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Yang jelas, alasan utamaku tidak mau menjual rumah itu karena aku masih ingin tetap tinggal di sana. Aku juga merasa sangat nyaman tinggal di sana, jauh lebih nyaman dari pada tinggal di rumah ini meski pun rumah kakak tiriku ini jauh lebih besar.

"Dengarkan penjelasan Ibu dulu, Nak. Ibu berpikir begini, sejak kecil 'kan saat mendiang ayah kamu masih hidup, kamu bercita-cita ingin membuka toko kue sama seperti ayah. Dan kamu juga mewarisi bakat ayah kamu. Kamu sangat jago dalam membuat kue. Bla ... bla ...." Ibu menjelaskan dengan panjang lebar sedangkan aku hanya terdiam menyimak pembicaraannya.

"Kami berencana untuk membuka toko kue untuk kamu, Kei. Kami bukannya tidak punya modal untuk membuka  usaha untuk kamu. Hanya saja, rumah itu adalah rumah peninggalan mendiang ayah kamu. Ibu pikir dengan menjual rumah itu, kamu akan terus mengingat ayahmu, Nak. Mengingt bagaimana perjuangan ayahmu. Rumah itu memang sengaja ayahmu bangun untuk kamu," ucap ibu yang terus saja menjelaskan.

Ibu ini bicara apa sih? Meski pun kalian tidak menjual rumah itu untuk membuka usaha untukku, aku akan tetap mengingat mendiang ayah sampai kapan pun. Jadi jangan pernah menggunakan alasan tidak masuk akal itu untuk membujukku.

Singkat cerita, setelah mendengar penjelasan dari ibu yang panjangnya luar biasa, aku akhirnya terpaksa setuju untuk menjual rumah kami.

Dari kecil aku memang tidak pernah bercita-cita untuk menjadi wanita karir, dokter, polwan, PNS, atau yang lain sebagainya. Aku hanya bercita-cita ingin membuka toko kue sendiri, sama seperti ayah semasa beliau hidup dulu. Mungkin dengan memiliki toko kue sendiri, aku bisa memiliki alasan untuk tidak kembali ke rumah mas Darren. Ya, rencana yang bagus.

...****************...

2 Hari setelah aku selesai wisuda, ibu dan ayah akhirnya kembali ke Kota AB. Sedangkan mas Darren dan istrinya rencananya akan pulang besok lusa dari kota B seusai berbulan madu.

Aku merasa sedih bercampur lega melepas kepergian mereka. Sedih karena aku akan berpisah lagi dengan ibu, dan lega karena aku bisa kembali lagi ke rumah sebelum rumah itu laku terjual.

Aku baru sampai di rumah saat malam hari usai mengantar ibu dan ayah ke bandara tadi sore. Aku tersenyum lega begitu menginjakkan kakiku kembali di rumah ini, rumah tempat aku dibesarkan.

Aku berjalan menyusuri ruangan demi ruangan di rumah kami. Tidak terasa air mataku menetes mengingat semua kenangan yang pernah aku lalui bersama ibu dan mendiang ayahku. Di mulai sejak aku masih kecil hingga aku tumbuh dewasa. Rumah ini memiliki banyak sekali kenangan berharga. Kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapan pun.

Aku memasuki ruangan demi ruangan kemudian berakhir di bekas kamar kedua orang tuaku. Aku mengambil beberapa buah bingkai foto yang berisi foto kami bertiga. Nantinya foto ini akan aku simpan dimana pun aku akan tinggal kelak.

Aku masuk ke dalam kamarku kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Aku menatap gambar ayahku lalu mengusap fotonya menggunakan jemariku.

"Yah, Kei sudah lulus kuliah, Yah. Kei sekarang sudah jadi sarjana. Jika saja sekarang ayah masih hidup, ayah pasti akan sangat bangga pada Kei. Dan satu hal lagi, Kei pasti akan belajar lebih banyak lagi resep kue pada ayah." Aku tersenyum setelah mengucapkannya.

.

.

Pagi sudah menjelang, dan ternyata semalam aku tertidur sambil memeluk bingkai foto keluarga kecil kami.

Aku bangkit dari tidurku lalu meletakkan bingkai foto itu di atas meja dengan pelan. Mulai sekarang, benda ini akan menjadi salah satu benda paling berharga di dalam hidupku.

Pagi ini aku tidak tau harus berbuat apa. Aku pun memutuskan untuk menghubungi Laras. Aku ingin mengajak sahabatku itu untuk jalan-jalan ke mall, mumpung sekarang kami masih sama-sama senggang dan belum disibukkan oleh pekerjaan apa pun setelah lulus kuliah.

Tapi ... di mana ponselku? Aku mencari benda pipih itu di bawah bantal, di bawah selimut, di atas meja, di bawah tempat tidur, siapa tahu ponselku terjatuh di bawah sana. Kemudian yang terakhir aku mencarinya di dalam laci, tapi benda kesayangan umat manusia itu tidak ada di mana pun.

Astaga.

Aku menepuk jidatku sendiri. Sekarang aku baru ingat, pasti ponselku tertinggal di kamar sebelah, bekas kamar ibu dan ayah.

Setelah aku ke kamar sebelah mengambil ponselku dan mengeceknya, ternyata dayanya hampir habis. Aku juga melihat ada 5 panggilan tidak terjawab dari ibu, 3 dari Laras, dan ... dan ... ehem, 12 panggilan tidak terjawab dari kakak tiriku.

Terpopuler

Comments

zhA_ yUy𝓪∆𝚛z

zhA_ yUy𝓪∆𝚛z

Sedih ya emang kalo harus pergi dari rumah yang kita tempati dari kecil 😢🤧

2022-12-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!