Wait wait wait. What? Masku?
Ah ... iya, aku lupa. Sekarang 'kan aku sudah punya kakak laki-laki, yaitu kak Darren. Eh salah, maksudku mm ... mas Darren. Iya, mas Darren. Mulai sekarang, aku harus memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
Tapi maaf ayah, ibu, Kei tidak perlu dijaga oleh mas Darren. Kei bisa menjaga diri Kei sendiri. Dan mulai sekarang, Kei akan belajar hidup mandiri. Lagi pula, Kei baru saja berusaha untuk menghapus semua perasaan Kei terhadap mas Darren, jadi jangan ada yang berusaha untuk menggagalkan usaha Kei. Oke.
"Iya, Sayang. Ibu juga bisa merasa tenang jika kamu dijaga oleh Masmu. Selama ini 'kan kalian berdua memang sudah sangat dekat dan akrab, memang sudah seperti saudara. Jadi Ibu bisa merasa jauh lebih tenang jika kamu Ibu tinggal," ucap Ibu yang kemudian beralih bertanya pada anak tirinya. "Iya, 'kan, Darren?"
"Iya, Ibu Lani." Mas Darren menjawabnya sambil tersenyum.
Huft .... aku hanya bisa menarik napasku dalam-dalam mendengar ucapan mereka. Tidak mungkin 'kan aku menceritakan yang sebenarnya pada ibuku dan ayah Gilang.
Memang benar apa yang dikatakan oleh ibuku bahwa kami berdua sangat dekat dan akrab. Tapi itu dulu, sebelum aku menyatakan cintaku untuk yang kedua kalinya pada kakak tiriku tersebut.
Ah, sudahlah. Aku tidak mau lagi mengingat kejadian memalukan itu. Mulai sekarang, nama Darren harus aku hempaskan secara perlahan dari hati dan pikiranku. Harus.
...****************...
Singkat cerita, beberapa hari kemudian. Aku dan mas Darren mengantar kepergian ibu dan Ayah Gilang sampai ke bandara. Setelah pesawat yang ditumpangi oleh ibu dan ayah kami terbang menuju Kota AB, aku pun memutuskan untuk pulang. Tapi kali ini aku ingin pulang menggunakan taxi yang sudah aku pesan sejak beberapa menit yang lalu. Aku tidak ingin pulang satu mobil dengan kakak tiriku itu. Bisa-bisa usahaku untuk melupakannya menjadi sia-sia begitu saja.
"Kei!"
Suara teriakan mas Darren terdengar sangat dekat di belakangku. Sepertinya dia berlari menyusul langkahku karena tadi aku pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu padanya.
Bukannya menghentikan langkahku saat aku mendengar teriakannya, aku malah semakin mempercepat langkahku. Sebisa mungkin aku harus menghindar dan menjauhi pria itu.
"Kei! Tunggu! Keisha!" Tangan besar mas Darren mencengkeram pergelangan tanganku dari belakang, membuatku menghentikan langkah.
"Kamu mau ke mana? Parkirannya bukan di sana, tapi di sana." Mas Darren menunjuk arah yang berbeda dari arah jalan keluar yang aku tuju.
"Maaf, Mas. Kei buru-buru." Aku berkata seraya melepaskan tanganku dari cengkeraman tangannya.
"Kalau kamu buru-buru, aku bisa mengantarmu. Memangnya kamu mau ke mana?" tanya mas Darren. Nada bicaranya terdengar sama seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami.
"Ke rumah teman, Mas. Kei pergi dulu. Permisi." Dengan cepat aku memutar badan dan berlari meninggalkan mas Darren. Aku tidak mempedulikan teriakannya yang berteriak memanggil namaku beberapa kali.
...****************...
Tidak terasa jam sudah menunjuk pukul 8 malam, dan aku baru saja kembali. Seharian ini aku menghabiskan waktu di rumah Laras. Dan saat ini aku pulang di antar oleh Laras dan kakak laki-lakinya.
"Kalian berdua hati-hati, ya?!" Aku berteriak melambaikan tangan ke arah mobil kakaknya Laras yang baru saja melaju kembali menuju rumah mereka.
Setelah melihat mobil yang mengantarku tadi melaju pergi, aku pun segera memutar badan sambil mengeluarkan kunci pagar rumahku dari dalam tas. Namun, aku sempat dibuat kebingungan saat melihat pintu gerbang rumahku tidak terkunci.
Apa tadi ibu lupa menguncinya, ya? Pikirku dalam hati.
Apa jangan-jangan ...? Ah, sudahlah. Mungkin ibu memang lupa mengunci gerbangnya sebelum kami berangkat ke bandara tadi pagi.
Saat aku berjalan menuju teras, aku melihat seorang pria yang tidak asing sedang duduk di kursi teras rumahku.
Ck, kenapa dia bisa ada di sini sih? Apa jangan-jangan, dia juga punya kunci rumahku? Hng, sepertinya begitu. Pasti ibu yang sudah memberikan kunci serep padanya. Tidak salah lagi.
Dengan langkah malas aku berjalan ke arah pria itu. Seharian ini aku sengaja memblokir nomor teleponnya agar dia berhenti menghubungiku terus. Ternyata ujung-ujungnya dia malah datang ke sini.
Dasar menyebalkan. Disaat aku berusaha keras untuk melupakannya, kenapa malah dia yang selalu muncul sendiri di hadapanku. Sepertinya aku harus berusaha ektra lebih keras lagi untuk menyingkirkan namanya dari dalam hatiku.
"Dari mana saja kamu, Dek? Seharian ini Mas terus menghubungi kamu tapi nomor kamu tidak pernah aktif." Mas Darren bertanya padaku.
What? Dek?!! Sekarang dia mengubah panggilannya padaku, dari 'Kei' menjadi 'Dek'. Ya, memang tidak ada salahnya, karena sekarang kami adalah saudara. Tapi ... aku merasa aneh saja. Rasanya ... aku belum terbiasa dipanggil 'Dek' olehnya.
Jika saja sekarang ibuku dan ayahnya belum menikah, aku pasti akan merasa sangat senang bak melayang-layang di udara saat dipanggil 'Dek' oleh mas Darren. Tapi entah mengapa sekarang aku malah tambah sakit hati? Entahlah.
"Dek, kok diam? Mas dari tadi siang terus berusaha menghubungi kamu loh. Tapi nomor kamu tidak kunjung aktif. Hp kamu rusak, ya? Mau Mas belikan yang baru?" Mas Darren kembali mengulangi sebagian ucapannya.
Hah? Aku sempat melongo mendengar ucapan mas Darren. Perasaan, dulu dia tidak secerewet ini. Ditambah lagi gaya bicaranya yang terdengar seperti kami berdua ini sangat akrab sebagai kakak adik benaran.
"Mas sehat?" tanyaku padanya.
Jika saja kami berdua tidak pernah ada masalah sebelumnya, mungkin aku sudah menyentuh keningnya untuk mengecek apakah dia sakit ataukah baik-baik saja.
"Tentu saja. Mas baik-baik saja. Kenapa?" ucapnya, balik bertanya. Dia malah terlihat bingung mendengar ucapanku.
Aku menggeleng. "Nggak, nggak apa-apa. Hanya saja ... Kei merasa ada yang aneh dengan Mas Darren malam ini."
"Aneh? Aneh kenapa? Apa salah jika Mas perhatian pada adik Mas sendiri?"
Mendengar pertanyaannya, aku kembali menggeleng. "Kalau begitu Kei masuk dulu, Mas. Mas Darren boleh pulang sekarang."
Aku memilih mengusirnya secara halus. Jujur saja, aku tidak sanggup jika harus mengobrol dengannya lebih lama seperti sekarang ini. Bisa-bisa usahaku untuk melupakannya gagal total.
"Loh, Dek? Kamu mengusir, Mas? Bukannya ayah dan ibu sudah bilang kalau kamu harus ikut dan tinggal bersama Mas di rumah Mas. Tadi pagi kamu juga sudah setuju, 'kan? Mas ke sini mau menjemput kamu."
Astaga orang ini. Benar-benar menguji kesabaranku ya. Dia ini polos apa pura-pura polos sih. Sepertinya kami berdua harus membicarakan sesuatu.
"Mas, sepertinya Kei harus memperjelas sesuatu. Dan Kei yakin, Mas pasti bisa mengerti alasannya kenapa Kei tidak mau tinggal satu atap dengan Mas Darren."
Mas Darren terdiam, lalu kemudian berkata, "Dek, jangan bilang kamu masih mempermasalahkan masalah yang waktu itu. Masalah itu sudah lama berlalu. Mas saja sudah melupakan semuanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
gak gampang mas buat lupa sama masalah itu...
2022-12-08
2
Defi
benar2 menguji mental Kei ini Mas Darren 🙈
2022-10-08
0