Bagian 2

Alisha menatap rumahnya dengan wajah kecewa. Sebab ternyata Suaminya belum juga tiba di rumah, padahal waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Bukankah keterlaluan." Gumamnya membuka pintu rumah dan memasukkan motornya.

Setelah motor terparkir, Alisha kembali menutup pintu dan langsung menuju dapur untuk menghangatkan masakan yang sudah di siapkan sebelum dia keluar rumah tadi.

Sembari menghangatkan makanan, dia mengganti baju dengan daster rumahan. Alisha masuk ke dalam kamar mandi, untuk mencuci muka agar wajahnya terlihat lebih segar.

Nanti saja mandi, aku takut Mas Tama keburu pulang.

Klik..

Kompor di matikan, bersamaan dengan suara motor Tama yang terdengar. Alisha meninggalkan masakannya dan bergegas menyambut kedatangan Tama.

"Malam sekali Mas." Tanya Alisha lembut.

"Mama tidak memperbolehkan ku pulang." Meski jawaban itu seringkali terlontar, nyatanya hati Alisha langsung terasa sesak.

Alisha tidak menjawab lalu menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Dia tidak ingin banyak bicara karena pertengkaran kerapkali terjadi hanya karena masalah yang sama.

Tanpa bertanya, dia berjalan melewati Tama untuk mengambil makan malam.

"Silahkan Mas." Tawarnya meletakan nampan di atas meja.

"Aku sudah makan tadi." Tolak Tama pelan.

"Sudah terlanjur ku ambilkan."

"Makanya, tanya dulu. Jangan asal ambil."

"Hm.." Alisha kembali mengambil nampannya lalu berjalan ke dapur untuk membuangnya." Kenapa tidak sekalian menginap Mas." Imbuh Alisha kesal, melihat sikap suaminya yang semakin menjadi-jadi.

"Aku ingin melakukannya tadi. Kenapa sih? Itu rumah Mamaku sendiri loh." Tarikan nafas panjang berhembus melewati rongga hidung Alisha. Mencoba menekan rasa sakitnya seolah Tama kembali menunduhnya dan tidak memperbolehkannya ke rumah Ibunya.

"Ya tentu saja. Lakukan apa yang menurutmu benar." Jawab Alisha berjalan melenggang masuk ke dalam kamar.

"Kau selalu saja membahas masalah sepeleh seperti ini. Yang penting aku kan pulang ke rumah. Ayolah Al, aku sudah lelah berkerja tapi setelah pulang, harus menerima sambutan tidak baik darimu."

Alisha yang duduk di pinggiran tempat tidur, sontak menoleh mendengar perkataan memuakkan dari Tama.

"Aku juga butuh waktu Mas, bukan hanya Mama."

"Mama itu sudah tua Al. Dia menginginkan aku datang ke sana dan aku tidak bisa menolaknya."

"Tapi tidak setiap hari Mas, hiks.." Alisha mulai terisak, namun tidak membuat Tama merasa kasihan.

"Malah nangis! Pusing aku lihat kamu nangis terus!! Ah! Sial!!" Umpat Tama berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan ponsel di tangannya. Dia duduk di Kloset dan membalas pesan singkat dari Lilis.

💌Besok lagi ya Tam.

💌 Iya tapi traktir ya.

💌 Beres lah. Aku kesepian, andai kamu bisa datang.

💌Wah bisa bahaya nanti.

💌Kalau sama-sama diam, tidak akan bahaya.

💌Bisa saja. Sampai jumpa besok di kantor.

💌Oke

Tama tersenyum, mengingat kebersamaannya dengan Lilis sepulang berkerja. Mereka kembali akrab setelah sempat terpisah sembilan bulan yang lalu.

"Lilis tambah cantik saja, sayangnya istri orang." Tama berdiri untuk mencuci muka kemudian berjalan keluar dan mendapati Alisha sudah berbaring.

Hasrat Tama tersulut, melihat kemolekan tubuh Alisha yang memang lebih cantik dan muda dari Lilis, teman dekatnya. Namun itu tidak membuat Tama bisa lebih menghargai istrinya di rumah. Dia malah sibuk mencari kesenangan di luar dan menuruti keinginan Ibunya yang di rasa keterlaluan.

"Sudah tidur." Tama berbaring di samping Alisha yang ternyata masih membuka matanya.

Alisha menggeser tubuhnya menjauh, hatinya terasa sakit dengan nada bicara Tama yang selalu meninggi.

"Aku minta maaf untuk tadi." Tama kembali mendekat, mulai membelai tubuh Alisha, demi memenuhi hasratnya.

Sikapnya sekarang kerapkali di perlihatkan. Tama akan merayu, berkata lembut jika dia menginginkan sesuatu seperti sekarang. Itu tentu memuakkan untuk Alisha, seolah dia hanya di jadikan pelampiasan hasrat Tama saja.

"Aku lelah Mas. Sebaiknya kamu langsung tidur." Tolak Alisha berusaha menghindar.

"Kamu tidak merindukan aku?" Suasana mendadak hening, Alisha tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya terdiam seraya mengendalikan perasaannya yang bergemuruh." Kamu cemburu pada Mamaku sayang? Kamu tidak kasihan padanya?" Tama masih berusaha merajuk agar keinginannya tercapai.

Kamu hanya kasihan pada Mama, tapi tidak denganku..

"Hampir setiap hari kamu selalu sibuk dengan urusanmu Mas."

"Hm maafkan aku." Tangan Tama menelusup masuk dan menyentuh benda kecil yang ternyata sudah mengeras. Dia memilin nya dan sesekali meremasnya, membuat Alisha ikut tersulut hasrat.

Seburuk apa dia, Mas Tama tetaplah Suamiku..

Hati Alisha kembali luluh, membiarkan Tama menjamah tubuhnya seperti sekarang. Padahal Tama tidak pernah perduli, jika Alisha melayaninya setengah hati saja, asal hasratnya terpuaskan.

Hanya sebentar, sangat sebentar sampai Tama mendapatkan pelepasannya.

"Ahhh.." Lenguh Tama panjang. Tubuhnya ambruk di sisi Alisha dengan dengkuran keras yang langsung terdengar.

Alisha duduk, melirik malas ke arah Tama seraya memungut dasternya yang tergeletak di lantai.

Aku bahkan belum puas.. Umpatnya dalam hati. Pemanasan yang begitu panjang dan hanya berakhir dalam waktu singkat.

Bukan hanya payah dalam menjaga perasaan, tapi Tama juga payah saat berada di ranjang. Dari dulu hingga sekarang, sekalipun Alisha tidak pernah merasa puas dengan percintaannya namun menyembunyikannya dengan sangat rapi.

Seolah dia puas, tersenyum lepas, menyeka keringat, karena hanya tidak ingin menyinggung perasaan Tama. Dia tahu, tersinggung itu rasanya sungguh sakit. Sehingga dia tidak ingin melakukan itu dan mencoba menghormati kelemahan Tama.

Namun balasan yang di dapatkan sangat menyakitkan. Tama tidak pernah memikirkan perasaannya. Mengabaikannya hanya demi Ibunya dan kepentingannya sendiri.

Alisha berdiri dan memakai lagi dasternya. Dia masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan miliknya setelah percintaan yang memuakkan.

"Lapar.." Alisha mengambil piring lalu menaruh sedikit nasi dan lauk yang tidak seberapa sedap.

Kunyahannya begitu pelan sebab masakannya tidak tersentuh oleh Tama. Dia sadar jika masakannya buatannya memang tidak sedap namun setidaknya, dia ingin sedikit di hargai.

Klunting!

Alisha meletakan sendoknya begitu saja. Hanya beberapa sendok masuk, selera makannya menghilang tiba-tiba. Dia memutuskan untuk membereskan piring dan membuangnya.

Apa kamu tidak ingat Mas. Dulu aku selalu menunggu kepulangan mu hanya untuk makan bersama.. Tapi sekarang..

Alisha duduk lemah, meraih ponselnya setelah melihat pesan singkat dari Monik.

💌Aku sudah dapat tujuan untuk besok pagi.

💌Jangan terlalu malam pulangnya.

💌Memangnya kenapa? Dia marah? Katamu pulang jam delapan.

💌Ku ceritakan besok.

💌Apa yang di lakukan oleh Suami gilamu itu?

💌Dia Suamiku Mon.

💌Dia anak Mama. Astaga!

Alisha menarik nafas panjang, memikirkan perkataan Monik yang sudah terbukti. Di umurnya yang menginjak 27 tahun. Tama tidak juga bisa bersikap dewasa. Seharusnya dia bisa lebih mengalah padanya tapi yang terjadi justru berbalik.

Alisha di tuntut untuk menurut tanpa mampu berprotes. Di tuduh sebagai tersangka pada setiap masalah.

💌Itu sudah jelas. Jadi tidak perlu di balas.

💌Aku tunggu jam 10 ya. Aku punya kejutan untukmu.

💌Apa itu.

Monik tidak menjawab pesan. Alisha memutuskan untuk tidur saja agar malam itu dapat di lewatinya dengan cepat. Langkahnya terhenti, melihat ke arah Tama yang berbaring dengan tubuh polosnya.

"Mas.." Panggil Alisha berjalan mendekati ranjang." Kamu tidak ke kamar mandi dulu." Imbuh Alisha duduk di pinggiran tempat tidur.

"Hmm sebentar." Gumam Tama kembali tidur.

Alisha mendengus, kemudian berbaring. Dia yakin jika Tama tidak akan bangun dan akan tetap pada posisinya seperti sekarang. Dia memiringkan tubuhnya memunggungi Tama dengan mata yang engan terpejam.

Ada sesuatu yang aneh, padahal hari ini tubuh Alisha terasa begitu lelah setelah tadi. Seharusnya dia gampang mendapatkan kantuknya. Tapi malam ini begitu lain. Alisha hanya berguling-guling di tempat tidur. Dia tidak tahu, jika saat ini ada seseorang yang tengah memikirkan nya.

"Ahh apa yang terjadi." Eluh Eldar menutup laptopnya. Bayangan saat Alisha mengikat rambutnya terus saja melintas hingga dia tidak mampu berkonsentrasi untuk mengerjakan tugas kuliah untuk besok." Seharusnya aku tidak perlu menolongnya tadi." Imbuhnya beranjak dari tempat duduknya kemudian berbaring.

Tok...Tok...Tok...

Eldar segera berdiri untuk membuka pintu. Bu Ana yang merupakan pengelola Asramah, berada di balik pintu dengan sebuah bungkusan di tangan.

"Ada titipan El." Ucapnya menyodorkan bungkusan pada Eldar.

"Dari siapa?"

"Entahlah, Ibu tidak tahu, sebaiknya kamu cek sendiri."

"Jika tidak jelas jangan berikan padaku."

Braaaakkkkk!!!

Bu Ana berjingkat seraya mengelus dadanya. Padahal kejadian seperti ini sudah sering terjadi namun apa daya. Bu Ana hanya ingin menyampaikan amanat.

Dean yang mendengar suara pintu, langsung keluar dari kamarnya untuk memeriksa.

"Ada apa Bu?" Tanya Dean ramah.

"Ini ada titipan untuk Eldar tapi dia malah tidak mau menerimanya."

"Biar ku sampaikan." Bu Ana memberikan bungkusan pada Dean.

"Bilang pada temanmu untuk tidak menutup pintu sekeras itu. Jika Ibu punya jantungan bagaimana." Dean terkekeh mendengar itu. Eldar terkenal sebagai makhluk kutub Selatan, sehingga hawa dinginnya pasti terasa pada setiap makhluk hidup di sekitarnya.

"Aku bingung harus bagaimana berbicara dengan anak itu."

"Ya sudah. Besok kalau ada titipan, jangan harap Ibu mau mengantar." Gumam Bu Ana pergi.

Dean melangkah menuju kamar Eldar lalu mengetuknya. Beberapa saat menunggu, Eldar keluar dengan wajah datar apalagi melihat bungkusan yang tengah di genggam Dean.

"Lain kali ambil saja. Bu Ana tidak bersalah jadi kau harus bersikap sopan padanya El."

"Terserah. Bawa saja, aku tidak butuh." Dean mencegah pintu kamar Eldar yang akan tertutup.

"Aku sulit tidur. Ingin mengopi bersama di depan?" Eldar menatap Dean tanpa ekspresi." Tatapan mu sangat hangat, jika tidak mau aku akan pergi sendiri." Tanpa membalas ucapan Dean. Eldar menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju lift." Seharusnya kau memasukkan ini dulu." Dean mengangkat bungkusan dan dengan cepat Eldar mengambilnya lalu membuangnya di tempat sampah.

"Beres kan."

"Seharusnya tadi bisa ku makan."

"Lalu kenapa kau berikan padaku?" Jawab Eldar ketus.

"Aku hanya menawarkan."

"Pungut saja di tempat sampah!"

Pertemanan sudah terjalin begitu lama, hingga tidak ada celah. Meski Eldar dan Dean terpaut 2 tahun.

Sifat Dean yang tidak mudah sakit hati, tetap bertahan pada Eldar yang berwatak sekeras baja. Bicaranya pun ketus juga singkat. Meskipun ada seseorang yang jatuh di hadapannya, Eldar enggan menolong. Tapi, apa yang terjadi dengan hari ini? Dia menolong Alisha hingga harus bolak-balik untuk membelikan bensin. Eldar memikirkan sikapnya itu hingga sekarang.

"Tumben kau belum tidur El." Tanya Dean seraya mengunyah makanan.

Aku memikirkan gadis itu..

"Entahlah." Eldar menatap lekat ke jalan seraya sesekali menyeruput kopinya.

"Biasanya kau tidur tepat waktu." Eldar tidak merespon ucapan Dean. Potret tentang Alisha kembali melintas dan memenuhi otaknya.

"Aku melakukan kesalahan hari ini." Ucapnya pelan.

"Kesalahan apa?"

"Menolong seseorang di jalan." Dean mengerutkan keningnya.

"Menolong itu bagus." Jawab Dean mendukung.

"Aku tidak suka terlibat dengan urusan orang lain!"

"Kau akan butuh orang lain suatu hari nanti."

"Tidak akan terjadi." Jawab Eldar cepat.

"Itu akan terjadi jika kau sudah jatuh cinta." Sontak Eldar menoleh ke arah Dean yang tengah tersenyum ke arahnya." Aku tidak salah. Jangan menatapku begitu. Apa kau akan hidup sendiri selamanya? Suatu saat kau akan punya istri anak dan keluarga kecil. Saat itulah kau akan sadar jika kita saling membutuhkan." Imbuh Dean asal bicara. Dia yakin jika Eldar tidak akan merespon ucapannya sekarang.

Apa aku menyukainya.. Ach!! Omong kosong..

Eldar berdiri dan pergi begitu saja setelah meninggalkan uang seratus ribu di meja. Dean yang melihat sikap Eldar sekarang, hanya menarik nafas panjang seraya menikmati sisa kopi dan cemilannya.

**************************************

Keesokan harinya...

Pukul setengah lima pagi, Alisha sudah bangun untuk melakukan perkerjaan rumah. Seusai itu, dia meraih dompet kecilnya dan berniat untuk berbelanja di tukang sayur yang biasa mangkal di samping gapura gang rumahnya.

Namun niat itu terhenti, ketika Alisha sadar jika uang miliknya tinggal 50 ribu dan beberapa lembar uang dua ribu.

Minyak habis. Jika memasak nanti tidak akan cukup. Sebaiknya ku belikan saja di warung depan..

Alisha berjalan keluar menuju ke warung kecil yang cukup dekat dengan rumahnya. Terdapat beberapa bapak-bapak yang tengah bersarapan pagi di sana. Mereka berdecak kagum pada lekuk tubuh Alisha yang aduhai

"Bu rawonnya 30 ribu ya." Ucap Alisha sebenarnya merasa malu tapi di tepisnya jauh.

"Iya, tunggu ya." Alisha tersenyum dan berdiri tepat di belakang Bapak-bapak yang tengah makan.

Beberapa saat menunggu, akhirnya pesanan Alisha siap. Dia membayarnya dan segera pergi dari warung kecil itu.

Setibanya di rumah, Alisha menyiapkan sarapan untuk Tama yang terlihat sudah bangun. Tidak lupa, kerupuk dan teh hangat untuk pelengkap sajiannya.

Tama keluar dengan memakai baju kerjanya. Segera saja Alisha mengambilkan makanan untuk Tama dan meletakkannya di hadapannya.

"Silahkan Mas." Ucap Alisha menawarkan. Baru saja dia akan duduk, suara decakan Tama terdengar begitu jelas.

"Ini beli?" Protes Tama.

"Hm iya. Uangku tinggal 50 ribu jadi tidak cukup untuk berbelanja."

"Apa?!! Tinggal 50 ribu!!" Tama meletakkan sendoknya dan memandangi Alisha yang tengah menatapnya." Bukannya aku bilang jika untuk berhemat." Imbuhnya semakin menganggap Alisha tidak becus mengelola uang.

Bagaimana bisa becus, jika Tama hanya memberikan uang satu juta untuk keperluan satu bulan. Semua tagihan pun di bebankan pada Alisha. Sementara harga bahan pokok mencekik leher dan Tama selalu saja ingin makan enak.

"Lain kali ikutlah berbelanja, agar kamu tahu jika bahan makanan begitu mahal. Aku sudah berusaha mengatur itu, tapi memang tidak cukup Mas." Tatapan Tama berubah tajam menusuk relung hati Alisha yang merupakan wanita perasa.

"Bahan pokok itu berapa sih? Aku juga jarang makan di rumah bukan." Alisha terdiam, bukan merasa bersalah tapi dia kembali menjadi tersangka atas perdebatan kali ini.

"Listrik bulan ini hampir mencapai 400 ribu Mas. Sebaiknya pendingin ruangannya di lepas saja." Alisha masih ingin menghormati Tama sebagai kepala rumah tangga. Hingga dia berusaha menekan rasa kesalnya sekarang.

"Di lepas!"

"Hm."

"Rumah ini begitu panas dan buruk jika tanpa pendingin."

"Daripada Mas keberatan karena uang belanja habis."

"Itu karena kau yang terlalu boros." Tuduh Tama lagi. Dia tidak juga berkaca jika gaji minimnya tidak cukup banyak.

"Aku sudah mengaturnya dengan irit. Maaf Mas, em sepertinya kita belum waktunya bisa menabung, jadi sebaiknya Mas berikan jatah uang padaku seperti bulan-bulan sebelumnya." Dengan segala keberanian Alisha mengatakan itu. Sebab dia mulai kebingungan dengan habisnya uang dan hanya menyisakan 50 ribu, sementara hari gaji masih 10 hari lagi.

"Tidak. Dulu saja waktu belum menikah. Mama bisa mengatur uangku dengan baik tapi sekarang, kita bahkan tidak memiliki simpanan." Ingin rasanya Alisha menangis, saat menyadari jika selama ini Tama tidak ikhlas memberikannya nafkah.

"Aku tidak pernah membeli sesuatu untuk diriku sendiri Mas. Uang itu habis untuk kebutuhan sehari-hari. Jika Mas Tama mengurangi itu, bagaimana aku bisa menambahi kekurangannya."

"Makanya hemat! Jangan beli terus seperti ini." Tama berdiri seraya menyingkirkan baskom berisi kuah rawon hingga membuatnya tumpah sebagian di atas meja." Kau lupa, jika aku tidak suka makanan yang berasal dari warung itu!!" Mata Alisha mulai berkaca-kaca, menahan rasa sesak atas sikap Tama sekarang.

Memang sejak awal, Alisha tahu jika selera makan Tama begitu rumit. Dia tidak menyukai sembarangan makanan seperti dirinya. Tama menyukai makan mewah, enak tanpa memikirkan apakah kantung uangnya cukup untuk memenuhi itu.

Dulu semua terasa mudah, karena Ayah Alisha selalu membantunya dengan memberikan sejumlah uang hingga Alisha mampu menabung sedikit demi sedikit.

Namun sejak kematian sang Ayah. Seluruh kebutuhan keluarga di bebankan pada gaji Tama yang sedikit. Sehingga Alisha tidak mampu lagi untuk menabung. Akibatnya, Tama merasa kaget. Saat dia harus membayar biaya rumah sakit paska keguguran namun uang simpanan tidak ada.

Kala itu Tama masih bersikap sedikit lembut dan tidak seperti sekarang hingga Alisha rela memberikan cincin kawinnya untuk membayar biaya rumah sakit.

"Mas berangkat saja." Alisha berdiri lalu membereskan meja makan. Dia sudah sangat bosan dengan perdebatan, sehingga dia lebih memilih mengalah.

"Ya aku memang akan berangkat." Alisha mematung, menatap Tama yang masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas kerjanya. Matanya tidak lagi berkaca-kaca, tapi mulai mengeluarkan air ketika melihat Tama pergi berkerja tanpa berpamitan dengannya.

Ya Tuhan.. Kenapa hubungan kami semakin terasa buruk setiap harinya..

Alisha mengusap kasar sudut pipinya, lalu melanjutkan aktifitasnya untuk membereskan makanan yang bahkan belum tersentuh.

Sebaiknya aku meminjam uang pada Monik nanti...

Setelah semua beres, Alisha meraih ponselnya untuk menghubungi Monik agar menyiapkan uang nanti.

"Aku sebenarnya malu Mon sebab yang bulan kemarin belum ku bayar.

"Bulan kapan?

"Jangan berpura-pura, hutang tetaplah hutang.

"Memang lupa. Sudahlah Al, nanti ku siapkan uangnya dan tidak perlu di kembalikan.

"Aku akan mengembalikannya setelah mendapatkan perkerjaan.

"Ah terserah saja. Jemput aku sekarang jika begitu. Aku tahu kau habis menangis lagi.

Alisha tidak menjawab dan membenarkan ucapan Monik.

"Ganti bajumu, dandan yang cantik dan kita cari suami baru untukmu.

"Itu hiburan yang basi.

"Tama yang basi, bukan kau.

"Jangan katakan lagi. Aku berganti baju dan akan ke sana.

"Oke.

Alisha tersenyum meski sembab pada matanya tidak bisa di tutupi. Dia memoles bibirnya dengan lipstik untuk menyamarkan wajah tidak baiknya dan langsung melajukan motornya menuju rumah Monik.

"Kemana ini?" Tanya Alisha saat Monik sudah naik ke boncengan.

"Berangkat saja, nanti ku tunjukkan jalannya." Alisha melajukan motornya sesuai dengan arahan dari Monik.

Keduanya turun ketika tiba di sebuah Kafe yang baru di buka seminggu yang lalu. Banyak paket hemat sehingga Monik mengajak Alisha ke sana dan secara kebetulan, Eldar juga tengah berada di sana untuk mencari bahan tugas kampus.

"Wahh amazing.." Ucap Monik tersenyum lebar namun memudar ketika melihat raut wajah Alisha yang mendung." Ish! Tidak asyik." Imbuh Monik pelan.

"Pesankan aku kopi yang sangat pahit seperti hidupku." Alisha mulai berjalan, di ikuti oleh Monik yang langsung memegang lengannya erat.

"Tama yang pahit bukan hidupmu." Alisha menarik nafas panjang mendengar itu." Bisakah kau menggunakan topeng jika sedang bersamaku seperti sekarang? Wajahmu sangat terlihat tidak baik." Protes Monik yang selalu saja terlontar.

"Bagaimana bisa baik jika hatiku sangat tidak baik. Berhentilah berprotes, kau membuatku semakin pusing."

Baru saja Alisha melangkah masuk ke dalam Cafe, sorot mata Eldar langsung menangkap sosoknya. Seolah merasa terpanggil, Alisha sempat menoleh sebentar sebelum akhirnya kembali mencari kursi kosong.

Dia.. Kenapa bisa? Hati Eldar bertanya-tanya, tentang pertemuan keduanya dengan Alisha.

"Yuk El." Ajak Dean seraya berdiri.

"Kita duduk sebentar dulu." Pinta Eldar begitu saja keluar dari bibirnya. Alisha mengelitik hatinya bahkan semalam dia sulit memejamkan mata karena terus menerus terbayang gerakan Alisha.

"Katamu malas di tempat seperti ini." Dean menyadari, jika Eldar tengah menatap sesuatu tanpa berkedip." Wah pilihan yang bagus." Imbuh Dean terkekeh.

"Tutup mulutmu jika tidak ingin ku masukkan gelas ke dalam sana." Dean langsung terdiam seraya menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

Sementara di meja Alisha.

"Nih." Monik meletakan amplop putih di hadapan Alisha.

"Maaf Mon." Perlahan Alisha mengambil amplop itu dan melihat isi di dalamnya.

"Maaf untuk apa?"

"Aku tidak tahu harus meminjam di mana lagi."

"Itu bukan pinjaman tapi pemberianku, hanya untukmu." Meskipun Monik berwajah biasa saja, namun nasibnya lebih beruntung daripada Alisha. Monik memiliki suami yang mapan dan begitu bertanggung jawab.

"Aku akan mengembalikannya." Alisha tersenyum tipis dan segera memasukkan amplopnya ke dalam tas.

"Tidak perlu Al. Jadi jangan fikirkan."

"Aku sudah diam sesuai perintah mu tapi dia malah tidak berpamitan. tadi." Ucap Alisha mulai bercerita." Aku juga berusaha untuk bicara baik-baik agar tidak ada kesalahpahaman namun rasanya itu sangat sulit Mon. Berbicara dengannya tidak sehangat dulu. Aku menyerah, aku tidak mengerti harus berbuat apa." Imbuh Alisha sangat pelan karena tidak ingin terdengar sekitar.

"Bercerai saja."

"Ini pernikahan bukan berpacaran. Kau tahu kan."

"Jika tidak nyaman, mau bagaimana lagi." Alisha menarik nafas panjang dan mengedarkan pandangannya hingga maniknya menangkap sosok Eldar yang tengah menatapnya dalam.

~Bersambung

Terpopuler

Comments

Lenina

Lenina

jangan suka buang2 makanan..tidak baik..banyak yang kelaparan diluar sana..

2023-01-28

0

Lenina

Lenina

masak yang sedap dong..setidaknya buat diri sendiri ..diri sendiri aja ogah gimana orang lain..

2023-01-28

0

Lenina

Lenina

sepele thor bukan sepeleh..

2023-01-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!