Amel membuka pintu kamar Manda, ekspresinya terlihat berseri tanda baru saja terjadi hal baik. “Semalam Samuel nyanyi buat gue, suaranya adem banget gila! Kayak ubin! Gue baper” cerita Amel tanpa basa-basi.
“Aku kira kamu nggak suka sesuatu yang romantis kayak gitu”
“Dia mah tergantung orang Ra. Kalo yang nyanyi Heru, udah dilempar pakai beling” sahut Manda.
Amel nyengir. “Minggu depan gue diajak ke ulang tahun sepupunya Samuel. Ah gue bisa gila! Samuel manis banget sih! kayak tebu.”
Manda meringis. “Jatuh cinta itu bisa buat orang bertingkah gila ya”
“Sirik aja lu. Sana urusin cinta bertepuk kaki sebelah kiri lu sama koko Nikol” tangkis Amel sadis. Laras ketawa geli. “Jangan ketawa Ra, lu juga, urusin hubungan lu sama Angga, biar bisa bebas mesra-mesraan sama Dano” sindir Amel, bibir Laras langsung mengerucut.
“Oh iya Dano….udah ada gosip di sekre Hima Ra. Katanya Dano lagi ngejar cewek fakultas ekonomi, namanya Laras” cerita Manda. Laras angkat bahu langsung kena lempar bantal dari Amel.
“Sok misterius lu. Lihat aja, kalo sampai lu berdua jadian, gue sebarin berita itu pake toa. Kalo perlu gue sebarin brosur sampai ke ruang rektor”
“Ya aku harus bilang apa Mel?”
“Klarifikasi gitu kek, Dano ada ngomong suka nggak? Atau tanda-tanda jatuh cinta gitu?” tanya Manda penasaran.
“Nggak ada. Lagian aku heran, kenapa jalan sama Dano bisa jadi gosip sih? Kayak lagi jalan sama artis, heboh semua orang. Padahal cuman Dano doang” rungut Laras kesal.
“Cuman Dano doang. Wah, wah Mel. Jelaskan!” Manda geleng-geleng kepala seolah Laras baru saja mengatakan hal paling bodoh.
“Ra, lu tau nama lengkap Dano nggak?” tanya Amel menarik guling dari kasur.
“Valdano” jawab Laras lugu.
“Lebih lengkap?”
Laras menggeleng tidak tahu. “Emang apa?”
“Valdano Radja. Coba lu hitung dengan jari berapa orang bermarga aneh Radja tinggal di Jakarta?”
“Nggak banyak sih. Yang paling sering aku dengar, William Radja”
“Betul. Pemilik Radja group” tambah Manda.
Kening Laras berkerut, butuh waktu beberapa detik sampai matanya membulat lebar menyadari maksud Manda dan Amel. “Jangan bilang….”
“Bener Ra, Dano itu putra kedua dari William Radja. Dia cakep, populer, dan karena anak pertama William Radja cewek, lu pasti tau kan radja group akan jatuh ke tangan siapa?”
“...Dano?”
“Betul. Sekarang mikir deh Ra, Dano yang begitu sempurna bagi kebanyakan orang nggak pernah terlihat dekat sama cewek, sampai elu muncul. Apakah menurut lu kedekatan kalian nggak akan menjadi perbincangan?”
Laras menelan ludah, ia tidak pernah menganggap Dano serius sampai mendengar penjelasan Amel saat ini. Dano secara sukarela membantu Laras untuk balas dendam pada Angga, apa jangan-jangan cowok itu memang sedang gabut sepertinya katanya waktu itu?
“Ra, jangan bengong dong.” Manda menepuk-nepuk pipi Laras. “Sekarang cerita, lu sama Dano ada hubungan apa?”
“…Cuman teman...ya bener, kita cuman teman, tapi pakai jangka waktu. Kalian nggak perlu khawatir, aku nggak bakal ngelakuin hal aneh” jelas Laras berbelit-belit. Manda dan Amel bertatapan lalu tertawa ngakak.
“Ya ampun Ra, lu lucu banget sih. Mau lu jungkir balik sama Dano di lumpur juga nggak papa, kita cuman mau tau aja sebenarnya lu sama Dano itu cuman sekedar dekat, teman, atau pacaran? Bukan karena kita mau ikut campur, tapi cuman mau tahu, karena lu sahabat kita. Sama kayak gue dekat dengan siapapun, gue pasti cerita ke kalian” kekeh Amel geli.
“Intinya Ra, kalo suka sama Dano bilang, kalo nggak suka juga bilang, Kita akan selalu ngedukung lu. Kapan lagi kan lu bisa sayang sama pilihan sendiri dan sayangnya pakai hati” tambah Manda nyengir.
Laras mencibir kembali mengambil novel di lemari Manda. Ah, seandainya Manda dan Amel tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara Laras dan Dano, mungkin obrolan mereka tidak akan seribet ini.
Suara ketukan dari pintu luar kamar mengalihkan fokus mereka dari Dano. Manda mendumel, tahu siapa orang kurang ajar yang sedang menggedor pintu kamarnya. “Apa sih lu? Berisik banget, pulang sekolah malah ngajak berantem. Kalo pintu gue rusak gimana?” bentak Manda ketus, tangannya menahan pintu agar Marsel adiknya tidak menerobos masuk.
“Lagian elu sih kak! Kan gue udah bilang, komik gue jangan diambil tanpa ijin”
“Yaelah pelit banget lu”
“Gue nggak bakalan sepelit ini kalo lu nggak sekurang kerjaan itu buat warnain komik gue. Lu kira buku mewarnai apa?”
“Wah perang nih.” Amel dan Laras cekikan geli dari dalam. Perdebatan sengit Manda dan Marsel memang selalu menjadi tontonan menarik.
“Gue banting juga nih anak” dengus Manda mengambil komik Marsel. Mukanya tertekuk tanda baru saja kalah adu argumen. “Nih! Kunyah komik lu! Dasar anak pungut”
“Lah yang dipungut kan elu? Lu kan bahan pancingan biar nyokap bisa hamil gue”
“Kurang ajar!” teriak Manda mengejar Marsel yang secepat kilat melarikan diri masuk ke kamarnya.
“Adik lu kocak banget ih” kekeh Amel ketika Manda kembali.
“Marsel dulu alim banget, pas udah naik kelas dua SMA kelakuannya kayak setan. Masa kemarin Marsel iseng banget pake pensil alis gue buat ngegambar, kurang ajar banget!”
“Emang kalo punya adik cowok kayak gitu nggak sih? Sekalinya bandel, setan kalah”
“Tapi mending punya adek dibanding abang” sahut Amel. “Abang gue di rumah tiap hari nyuruh-nyuruh gue mulu. Gue di rumah berasa lagi training jadi pembantu.”
Laras dan Manda ketawa.
“Ngomong-ngomong Nda, aku lihat, taman mama kamu udah mulai kelihatan hasilnya” kata Laras melihat dari jendela kamar ke arah taman bunga milik Tante Jessi.
“Iya, perasaan bulan kemarin masih tandus. Sekarang gue tiap ke kolam renang, berasa lagi di taman kota” tambah Amel setuju.
“Perlengkapan berkebun mama kamu juga lengkap banget”
“Tinggal nambah traktor aja Nda” kata Amel membuat teman-temannya tertawa geli.
...----------------...
Gosip mengenai misteri kedekatan Laras dan Dano semakin berhembus kencang. Ada yang mengatakan bahwa Dano mengejar Laras, ada juga yang mengatakan Laras lebih dulu menggoda Dano, namun ada lagi yang mengatakan Dano terkena pelet Laras. Sosok Laras lantas menjadi pertanyaan banyak orang.
Siapa Laras sampai berhasil menaklukan hati pangeran Radja? Apa yang menarik dari cewek itu?
Dalam jangka waktu kurang dari sebulan, Laras lantas menjadi buah bibir. Fotonya selalu muncul dalam gosip yang membicarakan Dano, meskipun selalu berakhir dengan bisikan kecewa. Sosok Laras jelas jauh dari ekspektasi semua orang. Laras tidak cantik, rambutnya dikuncir ekor kuda, penampilannya norak bukan main dengan warna kaos mencolok dan tidak matching, tubuhnya mungil, dan wajahnya bebas dari sentuhan make up.
Kesimpulannya, Dano pasti kena pelet.
Laras jelas hanya bisa mencak-mencak kesal, karena terakhir ia mendengar gosip yang beredar bahwa dirinya mandi kembang tujuh rupa di dekat sumur rumah.
Disisi lain Dano yang juga menjadi topik utama sepertinya tidak ambil pusing, tingkahnya malah semakin menjadi-jadi. Tidak jarang Dano terlihat menunggu kelas Laras selesai atau bahkan ikut masuk ke dalam kelas. Dano dan Laras benar-benar lengket seperti permen karet.
Namun, gosip yang awalnya hanya desa-desu biasa perlahan mulai mengganggu Angga. Meskipun tidak ada satupun orang menyebut nama Angga karena hubungannya dengan Laras tidak banyak diketahui, tapi nama Dano membuat Angga tidak tahan untuk berdiam diri, ia merasa perlu meluruskan kebenaran gosip itu pada Laras.
Pada suatu hari di jam makan siang, Angga kembali bertanya. “Ra aku mau nanya”
“Apa?”
“Aku dengar gosip, kamu dan Dano dekat?”
“Iya kita temenan”
“Bukan itu Ra, lebih dari itu”
“Jawabanku masih sama kayak waktu itu” jawab Laras terkesan acuh tak acuh.
“Aku nggak larang kamu untuk dekat sama siapapun Ra, tapi kalo sama Dano aku punya hak sebagai tunangan kamu untuk ngelarang kamu dekat-dekat sama dia” kata Angga serius.
Laras mendongak, keningnya berkerut heran. “Emang kenapa aku nggak boleh dekat sama Dano? Dia baik kok”
“Nggak semua orang yang terlihat baik itu beneran baik.”
Iya, kayak kamu, batin Laras sinis.
“Nggak mau, aku suka temenan sama Dano, anaknya nggak banyak tingkah.”
Bohong. Dano adalah manusia paling pecicilan yang pernah Laras temui.
“Lagipula Mas Angga kenal Dano? Mas keliatan anti banget sama dia.”
Angga menghela nafas. Ia tidak tahu Laras bisa keras kepala dan menyebalkan disaat bersamaan. Dulu Laras sangat penurut, tapi entah mengapa akhir-akhir Laras terlihat sedikit berbeda. Laras suka mempertanyakan sesuatu yang tidak ingin dijawab oleh Angga. Seperti misalnya, pergi kemana Angga hari ini dan apa yang ia lakukan seharian, yang paling menyebalkan adalah Laras bertanya namun dengan raut wajah terlihat tidak peduli, seakan pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi belaka. Meskipun sebenarnya Angga juga tidak peduli karena fokusnya tertuju pada Sera, tapi tetap saja perubahan Laras sangat mengganggu. Apa ini karena efek berteman dengan Dano? Cowok itu memang memberikan pengaruh buruk bagi Laras.
“Aku secara pribadi sih nggak terlalu kenal ya. Tapi aku bisa ngeliat kalo menurutku dia itu nggak terlalu benar. Apalagi dia anak srikandi, kamu tahu kan reputasi srikandi di kampus kayak gimana?”
Kayak kamu, nggak bener, batin Laras lagi.
“Aku cuman temenan sama Dano, nggak lebih” sahut Laras tenang, ia kembali mengerjakan makalah, tidak memperdulikan tatapan Angga yang terlihat kurang puas dengan jawaban Laras.
Emang cuman kamu doang yang bisa nyembunyiin sesuatu? Aku juga bisa, batin Laras nyinyir.
...----------------...
Sri mengguncang tubuh Laras membangunkan cewek itu. Sebelah mata Laras terbuka, ekspresinya berubah bloon menatap Sri. “Kenapa Sri? Gempa?”
“Enggak Ra, ada Dano di depan nyariin kamu”
“Hah? Permen? Aku nggak makan permen”
“Dano Ra! Bukan nano-nano. Budeg!” teriak Sri geli. Laras mengeluh terpaksa bangkit dari tidur menuju ruang depan, ada Dano sedang memberi makan Apin.
“Matahari udah bersinar nih Ra. Kamu nggak mau berfotosintesis? mangap-mangap kek di teras” sambut Dano nyengir lebar.
Laras mendengus menarik sarungnya dan duduk di kursi. “Mau ngapain kamu kesini?”
“Main. Saya bosen di rumah” jawab Dano.
Dikira rumah aku taman bermain apa? batin Laras menopang dagu memperhatikan Dano mengajari Apin membaca pesan di ponsel, sejak awal cowok itu memang konsisten untuk menjadi orang aneh.
“Ra!” panggil Sri.Laras tersentak hampir jatuh dari kursi. “Tolong ke pasar beli bahan makanan. Aku mau bersihin rumah”
“Harus sekarang Sri?”
“Kalo kamu suka makan rumput, besok aja ke pasar. Kebetulan aku bisa buat tumis rumput.”
Laras nyengir mengambil secarik kertas berisi daftar belanjaan dari Sri. “Aku cuci muka dulu. No, kamu mau bantuin Sri atau ikut ke pasar?”
“Ke pasar dong, saya udah cakep gini masa di suruh ngepel. Sri, masak nasi yang banyak ya. Saya numpang makan” kekeh Dano mengikuti Laras ke halaman depan.
“Tumben bawa motor” kata Laras ketika Dano menyerahkan helm.
“Ini motor Heru, saya pinjem. Heru lagi pake mobil saya ke Bandung. Yuk Ra, entar matahari makin tinggi, nanti kamu nggak bisa berfotosintesis.”
Laras memukul punggung Dano pelan. Mereka kemudian melaju pergi menuju pasar tidak jauh dari tempat Laras tinggal. Dano memarkirkan motor dan masuk ke dalam pasar yang bau karena bersebelahan dengan got besar.
“Kenapa nggak belanja di supermarket aja Ra?”
“Mahal” jawab Laras singkat, selanjutnya ia sibuk memilih-milih sayur dan ikan diikuti Dano yang bertugas membawa keranjang belanjaan.
“Woi Pal! Paldano!”
Laras dan Dano berpaling, seorang cowok bertampang urakan datang ke arah mereka, tanpa basa-basi ia meninju perut Dano. Laras terkejut, tapi bukannya melawan, Dano malah tertawa geli. “Ngapain lu kemari?”
“Nih nemenin ibu negara belanja. Ra kenalin ini Bang Tigor, kembang pasar disini. Bang kenalin ini Laras”
“Ye goblok, lu kata gue perempuan?” kekeh Tigor mengulurkan tangan, ia tersenyum manis pada Laras dan bertanya tanpa basa-basi. “Udah berapa lama?”
“Hah?” Laras bingung.
“Pacarannya udah berapa lama?”
“Dano bukan pacar saya mas, kami cuman teman”
“Uh, panggilnya mas, lembut banget, pantas Dano suka” tawa Tigor geli, Laras meringis memaksakan diri tersenyum. “Lu kapan-kapan main ke pos, anak-anak kangen. Lu jarang muncul entar dikira meninggal loh”
“Iye bang, entar ye kalo nggak sibuk kuliah. Lagi banyak tugas nih”
“Okelah, abang jalan duluan. Eh tapi ngomong-ngomong ada kali serebu dua rebu, bekal beli gorengan.”
Dano nyengir, secara sukarela menyerahkan dua puluh ribu dari saku jaket. Tigor menepuk bahu Dano dan setelah itu ia pergi. Laras termangu, tampang Dano memang tidak memberikan kesan ia anak yang alim, tapi kenalan Dano tadi membuat Laras yakin cowok itu memiliki dunia lain dari yang sering ia tunjukan.
“Kenapa Ra?” tanya Dano membuyarkan lamunan Laras.
“Kenal dimana?”
“Siapa? Bang Tigor? Dia dulu yang bantuin saya waktu kecopetan. Terus kita jadi temen, temen dia temenan sama saya, dan ya gitu deh.”
Laras mengangguk tidak bertanya lagi, ia berjalan terus untuk membeli minyak goreng. Tanpa diduga Dano cukup dikenali di tempat itu, terbukti dari sapaan akrab beberapa orang sampai mereka harus berhenti sejenak untuk berbasa-basi.
“Kamu itu kayak kado ulang tahun, selalu penuh kejutan” kata Laras dalam perjalanan pulang dari pasar.
Dano ternyata bukan cowok kaya nan manja seperti bayangan Laras. Selain menyenangkan dan mudah akrab, ia juga jago untuk memperbaiki barang rusak. Sepanjang siang selama Sri dan Laras masak, Dano bertugas mengganti lampu, memperbaiki selang, dan memperbaiki meja belajar Sri yang miring. Ah seandainya Sri tahu Dano adalah Valdano Radja, pewaris Radja group, Sri pasti sudah menyuruh cowok itu duduk manis di kursi.
“No makan yuk” teriak Laras memanggil.
“Enak nggak No? Aku nyari resepnya di google loh” tanya Sri ketika Dano mencoba ikan kuah kuning buatannya.
“Enak, masakan kamu bisa ngalahin masakannya Gordon Ramsay. Ra, mau bayam lagi dong”
“Manis bener mulut kamu No kayak tebu” kata Laras, ponselnya berbunyi, ada pesan masuk dari Rendy, teman kelompoknya, ekspresi Laras langsung berubah kesal. “Dasar Rendy, disuruh ngeprint aja banyak alasan! Kalo kayak gini mending aku yang ngeprint. Jadi orang kok males banget sih” omel Laras sebal.
“Kenapa Ra?” tanya Sri ikut melongok ke arah ponsel Laras.
“Teman kelompok aku disuruh ngeprint tugas malah ke Semarang, malam baru balik. Padahal besok pagi udah presentasi. Udah minim kontribusi, males lagi, dikira kalo hari minggu gini fotocopy ada yang buka apa?”
“Kenapa nggak ngeprint dari kemarin?”
“Tau tuh. Lihat aja besok aku hapus namanya dari kelompok. Kuliah kok seenak jidat, nyusahin orang aja”
“Udah Ra udah, mending makan, entar kita nyari tempat fotocopyan, kalo enggak ada yang buka, saya paksa abang-abangnya buat buka” kata Dano kalem. Laras masih ngedumel.
“Ra, aku nitip pasirnya Apin ya” kata Sri ketika Laras hendak pergi mencari tempat fotocopy. Laras mengangguk mengambil flashdisk mengikuti Dano.
“Kamu yakin hari minggu ada tukang fotocopy yang buka?”
“Ra, Jakarta luas. kalo satu Jakarta enggak ada tukang fotocopy yang buka mending kita pindah tinggal di Bandung” jawab Dano.
Mereka kemudian melaju pergi, mencari tempat fotocopy. Laras hampir putus asa karena sudah sejam lebih berkeliling dan tidak ada satupun tempat fotocopy yang buka, beruntung di dekat kompleks perumahan ada satu tempat fotocopy kecil.
“Mang Idris, buka nggak?” tanya Dano ketika turun dari motor. Lelaki paruh baya bernama Idris menggeleng sambil merokok.
“Hari Minggu nih, mau self reward kerja seminggu jadi nggak buka”
“Yaelah mang, kalo gitu saya pinjam mesinnya ya. mau ngeprint tugas nih, kalo telat saya di drop out kampus” kata Dano. Idris mengangguk membiarkan Dano dan Laras masuk ke ruang fotocopy miliknya.
“Kamu bisa pakai mesin fotocopy?”
“Ngerakit mesin fotocopy juga saya bisa” jawab Dano asal, ia terlihat sangat cekatan untuk mengeprint dan menjilid laporan milik Laras.
“Dua puluh ribu, sebenarnya dua puluh satu sih, tapi karena kamu yang kerjain jadi dikasih diskon” kata Idris kalem.
Dano tertawa geli menyerahkan uangnya lalu menyalakan mesin motor, tanpa diduga ditengah perjalanan hujan turun deras. Dano melajukan motornya dan berbelok di sebuah rumah berpagar besar, seorang satpam sigap membuka pintu ketika mendengar suara klakson motor.
“Baju kamu basah nggak Ra?” tanya Dano ketika turun dari motor.
“No, ini rumah siapa?” tanya Laras justru termangu menatap rumah besar dimana ia berpijak, rumah berwarna putih dengan pintu utama yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua dengan ukiran rumit. Laras bahkan tidak memperdulikan kaosnya basah terkena air hujan.
“Rumah saya lah, masa rumah Pak Pangaribuan” jawab Dano kalem, yuk masuk Ra.”
Laras diam, sejenak ia merasa ragu membuat Dano menatapnya heran.
“Kenapa?”
“Nggak papa, aku nunggu diluar aja sampai hujannya redah.”
Dano tertawa geli. “Ya ampun Ra. Disini ada Pak Rudi, tuh” tunjuk Dano pada satpam tadi. “Di dalam juga ada Mbak Yanti, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu Ra, aman.”
Laras mengangguk canggung, akhirnya ia melangkah masuk ke dalam rumah Dano.
...----------------...
Selama ini Laras berpikir rumah Angga adalah rumah paling besar dan mewah yang pernah ia singgahi. Tapi, ketika menginjakan kaki di dalam rumah Dano, Laras langsung tahu milik Angga hanya setengah dari milik Dano. Mata Laras berbinar ketika melihat halaman luas di samping rumah, ada gazebo dan pohon jambu di ujung halaman. Seandainya tidak hujan, Laras pasti sudah berguling-guling di situ.
“Neng, mau minuman anget?”
Laras berpaling, ia tersenyum kikuk pada seorang wanita paruh baya di depannya dan memperkenalkan diri sebagai Yanti.
“Neng Laras nggak mau ganti baju dulu, basah banget, ntar masuk angin loh” kata Yanti.
Laras menggeleng sopan. “Nggak papa Mbak, nanti juga kering sendiri.”
Ting.
Terdengar pintu lift terbuka, Laras berpaling dengan tampang cengo baru menyadari rumah itu memiliki lift pribadi. Sebenarnya seberapa kaya bocah itu sampai mampu memiliki lift di dalam rumah? Laras jadi penasaran untuk melihat tagihan listrik setiap bulan rumah Dano.
“Ra pakai ini, hoodie saya.” Dano menyerahkan hoodie berwarna hitam pada Laras. “Sengaja kebesaran Ra, biar kamu bisa lepas baju dalam kamu dan nggak kelihatan, basahnya sampai dalam kan?” lanjut Dano kalem, wajah Laras langsung merona malu.
“Ini neng kantong, buat naruh baju kotor” kata Yanti. Laras mengucapkan terima kasih lalu menghilang ke kamar mandi di dekat tangga. Laras bersiul, bahkan ukuran kamar mandi itu lebih besar dari kamarnya.
“Saya ke belakang dulu ya, mau cek cucian. Bajunya mau mbak cuci juga neng?” tanya Yanti ketika Laras kembali dari kamar mandi.
“Nggak usah mbak. Nanti saya cuci sendiri di rumah, makasih Mbak Yanti udah nawarin”
“Oh ya udah neng kalo gitu, susunya diminum ya, sampai habis. Mbak buatnya pakai cinta” kekeh Yanti lalu melangkah pergi.
“Kenapa No?” tanya Laras ketika Dano menopang dagu menatap Laras.
“Saya baru sadar kamu mungil banget” kata Dano, tangannya terangkat merapikan rambut Laras yang tergerai karena basah.
“Aku belum cuci rambut, nggak usah megang”
“Oke” kata Dano langsung menarik tangannya.
Wajah Laras berpaling memperhatikan isi rumah Dano. Rumah itu bernuansa klasik dengan berbagai barang mahal di setiap sudut. Laras yakin kalau ada maling, pasti mereka tidak perlu repot-repot mencari barang berharga, karena semua barang di rumah Dano terlihat mahal, tinggal asal mengambil bisa dipastikan harga dari barang-barang itu mencapai jutaan rupiah.
“Rumah kamu sepi ya, pantes kamu bosen. Orang tua kamu lagi pergi kerja?” gumam Laras
“Mereka tinggal di Bogor, kadang juga di Swiss. Tergantung mood mama mau tinggal dimana. Kebetulan mama saya suka tinggal di tempat yang tenang.”
Laras mengangguk kagum, tidak sulit bagi orang kaya untuk berpindah tempat tinggal sesuka hati.
“Rumah ini sebenarnya milik Kak Della, kakak cewek saya yang pertama. Cuman Kak Della sekarang tinggal sama tunangannya di Paris, terus Dafa adik bungsu saya sekolah di Inggris, makanya saya sendiri disini”
“Adik kamu kuliah?”
“SMP.”
Laras mengangguk paham, ia menghabiskan susunya dan berpaling keluar, hujan perlahan mulai meredah. Suara salakan anjing menarik perhatiaan Laras. “Ya ampun lucu banget. Nama kamu siapa?”
Laras spontan turun dari kursi, ia mengelus anjing jenis golden yang terlihat bersemangat menyambut Laras. “Kubis. Aneh banget nama kamu, pasti tuan kamu yang ngasih nama” tawa Laras ketika membaca nama pada kalung yang melingkar di leher Kubis. “Kenapa dikasih nama Kubis?”
“Karena auranya kayak sayur” jawab Dano sembarangan. Laras tertawa geli. “Entar Ra, saya ambil cemilannya Kubis” kata Dano mengambil makanan Kubis dari lemari. Ketika kembali Laras dan kubis sudah berada di halaman, Laras tertawa lepas saat Kubis memperlihatkan beberapa trik dan menyalak keras.
“Akrab banget Ra, pernah jadi anjing ya?” tegur Dano melempar mainan Kubis. Kubis menyalak mengambil mainannya dan kembali pada Dano sambil meminta hadiah atas keberhasilannya.
“Lucu banget sih kamu, pengen aku bawa pulang” peluk Laras senang, ia mengikuti cara Dano melempar mainan Kubis kemudian menyodorkan cemilan anjing itu. “Kubis..sini, sini” panggil Laras mengajak Kubis lomba lari.
Dano nyengir memilih duduk memperhatikan dua mahkluk itu berkejar-kejaran. Teriakan bahagia Laras dan salakan Kubis membuat Dano merasa terhibur, sudah cukup lama ia tidak mendengar suara berisik seperti ini dari rumahnya.
“Kubis..Awh-!”
Kubis yang berlari kencang tiba-tiba berhenti di depan Laras membuat cewek itu spontan menyandung tubuh Kubis, ia terjungkal ke depan dan sukses menabrak Dano yang duduk di depannya.
“Aduh…” Laras meringis merasakan kening dan hidungnya terbentur dada Dano. Jempol kaki Laras terasa perih, ia mengusap-ngusap wajahnya kesakitan. “No nggak papa kan? maaf ya” kata Laras baru sadar masih berada di atas tubuh Dano, ia buru-buru menyingkir dengan ekspresi khawatir. “Ada yang luka nggak? Maaf banget nggak sengaja” kata Laras membantu mengebas kotoran di baju Dano.
“Ra…” panggil Dano pelan.
“Ya? Kenapa? ada yang terluka? Coba aku lihat? Sakit Nggak?”
“Bukan itu…” geleng Dano terlihat sedikit salah tingkah. “Baju dalam kamu...beneran kamu lepas ya?”
Laras termangu dan setelah itu wajahnya langsung bersemu kemerahan. “Danooooooo!!!!!!” Laras berteriak nyaring menutup wajahnya sementara Dano tertawa kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Helpy Arifien
😂😂😂😂😂
2023-03-18
0