Ms. Norak
Tangan Laras meremas erat gelas kaca bersamaan dengan air mata meleleh di pipi, tubuhnya bergetar hebat menyaksikan pemandangan paling menyakitkan tidak jauh dari tempat ia berdiri.
Angga.
Cowok yang beberapa tahun lalu mengucap janji bersama Laras dipertunangan mereka kini tengah mencium bibir seorang cewek asing. Hati Laras terasa sakit sekali, seperti diiris sebilah pisau tajam. Tidak kuat melihat pemandangan itu Laras lantas balik badan dan berlari ke arah pintu keluar. Ini adalah pertama kalinya Laras mengikuti ajakan Manda dan Amel pergi ke club, namun pengalaman pertamanya justru membawanya pada sebuah fakta menyakitkan.
Angga, tunangannya, berselingkuh di belakang Laras.
...----------------...
Laras sudah berhenti terisak sejak setengah jam lalu dan ia kini duduk di bangku panjang taman kota. Wajah Laras menunduk menatap sayu sepatu kuning terang yang sebenarnya tidak begitu cocok dengan kaos merahnya. Sepatu kuning yang selalu ingin Manda buang ke tempat sampah.
“Bikin sakit mata tau nggak? Sepatu lu ngegas kayak ibu-ibu kompleks lagi debat ending ikatan cinta!” ketus Manda setiap kali melihat Laras begitu pede mengenakan sepatu kuning itu kemanapun ia pergi. Tapi Laras tidak peduli, sepatu itu adalah sepatu pertama yang ia beli dari tabungan tiga bulan gaji part time di kafe.
Tanpa sadar bibir Laras menyunggingkan senyum kecil, Manda pasti sedang mencarinya, sejak tadi Laras sama sekali tidak berniat untuk memeriksa ponselnya yang terus bergetar sejak ia meninggalkan club. Senyum Laras menghilang begitu melihat tangan seseorang menyodorkan sapu tangan biru. Laras mendongak, untuk beberapa detik ia termangu menatap sosok seorang cowok dari balik hoodie hitam sedang menatapnya. Laras menelan liur kagum, cowok itu tampan dengan garis wajah tegas dan alis tebal, hanya saja sebuah piercing di alis memberikan kesan urakan dari raut wajahnya.
“Ada dua kemungkinan untuk cewek yang nangis tengah malam kayak gini. Kuntilanak atau orang gila. Kamu termasuk yang manas?” Nada berat cowok itu membuat perasaan kagum Laras buyar dan berganti was-was. “Nggak ngacuhin tangan orang itu hukumnya neraka loh” lanjutnya menyindir Laras karena terlihat tidak berniat untuk mengambil sapu tangan darinya.
“Kamu…siapa?” tanya Laras gugup, aneh, karena bukannya pergi Laras malah balas menatap cowok itu lekat-lekat. Laras seperti tersihir pada pesonanya.
“Valdano. Kamu bisa panggil saya Dano. Tadi saya lihat kamu nangis, makanya saya samperin. Tapi kamu malah nggak terima sapu tangan saya”
“Makasih” kata Laras pelan tapi tetap tidak mengambil sapu tangan itu. Jangan salahkan Laras, ia hanya sedang bersikap was-was. Bagaimana jika ternyata ada obat bius di sapu tangan itu seperti adegan sinetron? Lalu ketika Laras menggunakan sapu tangan itu, ia malah pingsan, dan saat sadar ginjalnya sudah tidak ada. Laras bergidik ngeri langsung mengambil jarak di antara dirinya dan Dano.
“Kamu kenapa nangis?”
“Nggak papa” jawab Laras cepat ingin memberikan kesan bahwa ia tidak mau mengobrol dengan Dano.
“Cewek itu aneh ya. Ditanya kenapa malah jawab nggak papa, padahal lagi ada sesuatu” balas Dano kalem. Kening Laras berkerut, tapi tidak membalas perkataan Dano, bagi Laras untuk ukuran orang asing Dano itu terlalu cerewet dan mau tau urusan orang lain. “Kamu pernah enggak, tengah malam gini rebahan di atas genteng mapolda?”
Laras jadi bengong. Ini orang ngajak bercanda? batin Laras malah makin was-was. Seandainya candaan itu keluar dari mulut Manda, Laras mungkin akan tertawa. Tapi sekarang Laras berada di situasi dimana saraf humornya mendadak mati begitu saja, karena itu tanpa menjawab pertanyaan Dano, Laras memilih berdiri hendak melangkah pergi.
“Laras!”
Langkah Laras langsung terhenti, ia balik badan terkejut mendengar Dano memanggil namanya. Apa Dano memang mengenalnya?
Dano berdiri mendekati Laras, ia sama sekali tidak terlihat canggung, berbeda dengan Laras yang justru berdiri kaku, tatapan Dano membuat kinerja sel motorik Laras mati sejenak, bahkan meskipun tangan Dano terangkat naik menarik pelan ikat rambut Laras, ia hanya bisa terdiam bagai orang bodoh.
“Saya simpan ikat rambut kamu. Soalnya kamu lebih cantik kalo rambutnya dilepas kayak gini. Sampai ketemu lagi Laras.” Dano memasukan ikat rambut Laras ke saku hoodienya. Senyum Dano mengembang kemudian tanpa berkata apapun Dano melangkah pergi melewati Laras.
Drrt..drrt…
Suara getar ponsel membuat Laras tersadar, ada panggilan masuk dari Manda. Cewek itu mengomel membuat Laras meringis.
[Gue kesana sekarang. Jangan kemana-mana! Lu hampir buat gue kena serangan jantung!] teriak Manda mematikan sambungan telepon tepat setelah Laras memberitahukan dimana dirinya berada.
Tiba-tiba Laras teringat Dano, ia membuka google dan mencari sesuatu. “Santet lewat ikat rambut…..Nggak mungkin kan ya, aku disantet? Bodoh banget aku biarin dia ngambil ikat rambutku” gumam Laras panik menscroll layar ponsel, dan ketika tidak menemukan apa yang ia khawatirkan Laras langsung menghela nafas. Angin malam berhembus pelan membuat helaian rambut Laras turun mengenai wajah. Laras berpaling mencari sosok Dano seandainya cowok itu masih berada disana. Namun, meskipun Laras mencarinya sampai ujung taman, Dano sudah tidak lagi berada disitu.
...----------------...
“Gila! Gue jadi lu, gue putusin. Bajingan! Awas aja kalo sampai ketemu gue, gue tonjok! Jadi cowok brengsek banget, bibir nggak bisa disekolahin, nyosor sana, nyosor sini.”
Laras meringis mendengar omelan Amel, wajah cewek itu tertekuk tanda bahwa mulai hari ini Angga akan menjadi musuh bebuyutnya. Laras tidak bisa membayangkan seberapa sinisnya Amel nanti ketika bertemu Angga.
“Tau tuh, si bajingan. Awas aja, gue kutik lak-lakannya” tambah Manda ikutan sebal.
“Udah-udah, aku cerita ke kalian biar kalian tahu aja kalo untuk sementara aku mau menghindari Mas Angga”
“Mas-mas! Nggak cocok dia jadi mas lu. Putusin aja!” dengus Amel emosi.
“Aku juga maunya begitu Mel. Tapi tahu kan, ribet urusannya kalo sama keluarga besar”
“Ya lagian elu mau aja dijodohin. Harusnya lu kabur”
“Nggak segampang itu Mel. Kalau aku kabur, nggak mungkin aku sekarang bisa duduk disini dan curhat sama kalian” balas Laras lemah.
Laras berasal dari Surabaya, di sebuah desa yang sedikit jauh dari pusat gemerlap kota Surabaya. Cewek berusia dua puluh tahun itu adalah calon mahasiswa semester akhir di sebuah kampus swasta Jakarta. Laras bukan berasal dari keluarga ningrat, tapi bapaknya adalah pemilik beberapa hektar sawah dan kandang sapi di desa, karena itu Laras cukup beruntung bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang kuliah, meskipun beberapa persen dari uang kuliah dibayar oleh beasiswa mahasiswa berprestasi kampus, tapi untuk biaya hidup Laras tidak merasa kekurangan. Namun semua itu bukan berarti akan melepaskan Laras dari jeratan kisah Siti Nurbaya. Laras ditentukan akan bertunangan dengan Rangga Liem alias Angga. Pertunangan itu dilandaskan atas dasar balas budi Hartono Liem pada Susanto, bapak Laras yang pernah menampung Hartono dulu saat pertama kali membuka bisnis. Sejak berada di sekolah menengah Angga bersekolah di Amerika, namun entah mengapa ia tiba-tiba kembali ke Indonesia dan menerima pertunangannya dengan Laras. Di pertemuan pertama mereka Angga memberikan kesan menyenangkan, ia baik dan sopan, begitupun seterusnya, membuat Laras berpikir tidak ada alasan untuk menolak perjodohan itu. Bahkan Laras bisa memberikan penilaian seribu dari seratus atas kesabaran Angga saat pertama kali mengajari Laras tentang seluk beluk kota Jakarta.
Bagi Laras Angga adalah segalanya. Tapi itu dulu. Dalam semalam semua berubah. Angga berhasil menghancurkan Laras sampai berkeping-keping, membuat Laras merasa jijik, bahkan untuk sekedar menyapa cowok itu.
“Apa aku sejelek itu ya? Sampai Mas Angga tega sama aku?”
“Lu tuh nggak jelek Ra, lu manis. Cuman perlu pembaharuan dari segi pilih-pilih baju aja” ceplos Amel langsung kena sikut Manda.
“Aku nggak terlalu ngerti cara pilih baju Mel, kalo menurut aku nyaman dan sopan, yaudah aku pakai itu”
“Loh kan ada gue disini sebagai penasehat lu.”
Laras langsung menggeleng keras. “Nggak Mel, makasih. Aku mending pakai kaos dari karung dibanding ikut gayamu.”
Amel mendengus mencubit Laras. Gaya berpakaian Amel memang cenderung cukup nyentrik. Kegilaannya pada musik metal membuat cewek itu tidak peduli berapa banyak piercing, tatto, ataupun kaos bergambar aneh yang selalu ia pakai setiap ke kampus. Bahkan Amel acap kali menjadi bulan-bulanan dosen pancasila yang merasa terganggu dengan ripped jeans Amel.
“Ke kelas yuk” ajak Laras melirik jam tangan. Mereka menyusuri koridor utama kampus yang selalu ramai di jam-jam makan siang.
“Bebek aja ngantri” ketus Amel ketika seorang cowok memotong antrian masuk lift. “Ih, pengen gue tonjok” dengus Amel sebal ketika cowok itu tersenyum kalem.
“Udah Mel, jangan kebanyakan marah-marah. Ntar jadi bengkoang loh” tegur Manda seperti biasa menjadi peredam emosi Amel yang selalu meluap-luap.
“Idih apa hubungannya?”
Manda dan Laras sama-sama tertawa geli. “Cowok lu” korek Manda menunjuk Angga dari kejauhan.
Laras berpaling, ekspresinya langsung berubah tidak enak. Ia buru-buru pindah di sebelah Amel, postur tubuh Amel yang sedikit lebih besar membuat Angga tidak akan melihatnya. Laras sangat berharap Angga tidak akan menyapa, karena Laras masih belum siap untuk bertemu atau berbasa-basi dengan cowok brengsek itu.
“Naik tangga aja yuk” ajak Manda berinisiatif menarik Laras melarikan diri dari Angga tepat sebelum cowok itu melihat mereka.
“Mau sampai kapan kita kabur-kaburan kayak gini?” tanya Amel ngos-ngosan menginjakan kaki di tangga lantai tiga. “Ini untung kelasnya di lantai tiga. Coba kalau di lantai sembilan, apa enggak semaput kita?”
“Maafin aku ya, jadi ngerepotin kalian gini” kata Laras tidak enak hati.
Amel menggeleng, menarik nafas panjang saat membuka pintu tangga darurat. “Pokoknya lu harus putus sama Angga. Urusan keluarga besar biarin belakangan.”
...----------------...
Pukul lima sore Laras baru selesai dari semua kegiatan kampus. Setelah menaruh berkas laporan penggunaan dana di ruang sekretariat paduan suara, Laras melangkah keluar.
“Sayang!” Laras tersentak tanpa permisi Angga merangkul pundaknya dari belakang.“Kamu kemana aja? Aku cariin dari tadi. Chat aku nggak dibalas”
“Aku nggak sempat nyalain ponsel” kata Laras menepis pelan tangan Angga. Ia sedikit mengambil jarak di antara mereka. Melihat Angga sekarang membuat rasa jijik Laras kembali. Cowok yang tersenyum di depannya ini adalah cowok yang mencium selingkuhannya di club kemarin malam.
“Kamu kemarin kemana?”
“Club. Bareng anak-anak” jawab Angga santai. Laras mengangguk, tidak bertanya lagi. “Yuk, aku anterin pulang”
“Kamu nggak latihan futsal?”
“Masih lama. Aku mau nganterin cewek aku pulang dulu. Kalo cewek aku diculik di jalan gimana? Apa nggak jadi gila aku?” Bohong. Dasar pembohong. Laras memaksakan diri tersenyum, ia masuk ke dalam mobil. “Aku punya sesuatu untuk kamu.” Angga mengambil sebuah bungkusan dari belakang dan menaruh di atas pangkuan Laras. “Waktu ngeliat ini aku ngerasa ini cocok buat kamu. Sini aku pasangin.”
Laras menatap kalung matahari di lehernya dengan perasaan berkecamuk. Ia membenci Angga, tapi sebagian dari hatinya merasa bimbang. Haruskan ia merelakan cintanya pergi begitu saja?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Anonymous
bahasanya enak niy... Ringan...
2024-06-08
0
Lavinka
hai kak salken. aku Lavinka. mampir yah kak ke Destiny RiBay. saling dukung dengan Tap love
2022-03-04
1