Cowok bernama Dano

“Alah! Itu mah cuman pencitraan. Cowok kalo tiba-tiba baik, pasti karena ngerasa bersalah akan sesuatu. Udah lu nggak usah kemakan rayuan buaya kayak gitu. Sini kalung lu, gue beliin yang lebih bagus”

“Eh, eh, mau lu apain kalungnya Laras?” tahan Manda ketika Amel hendak meraih kalung dari leher Laras.

“Mau gue kasih ke Gegi” dengus Amel menyebut nama anjingnya. Laras ketawa geli sementara Manda mencubit tangan Amel agar menjauh.

“Udah Mel, kita nggak usah terlalu  ikut campur. Biar Laras yang buat keputusan sendiri” tegur Manda. “Apapun keputusan lu, gue dukung Ra”

“Sampai keputusan lu merugikan diri lu sendiri. Gue gampar” kata Amel cenderung kontra lalu menarik Laras mendekat dan menggandeng tangan cewek itu. “Sini Ra, jangan jauh-jauh dari gue. Sampai hari lu putus sama Angga, gue bakal ngawasin lu dua puluh empat jam.”

Ketiga cewek itu kemudian berjalan melewati taman kampus menuju gedung hukum untuk menghadiri mata kuliah umum pancasila.

“Woi Mel! Kemana aja lu? Gue kira meninggal.”

Amel ketawa ngakak melambaikan tangan pada teman-temannya. Bukan hal baru ketika melihat Amel ditegur oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Ini yang tidak bisa dimengerti Manda dan Laras. Jadwal kuliah mereka hampir sama, mereka selalu pergi kemanapun bersama, tapi Amel seakan memiliki menit-menit khusus untuk membangun pertemanan dengan orang lain.

“Siapa lagi tuh Mel? Kenal dimana?” tanya Manda seperti biasa ketika Amel menyapa seorang cowok yang berlari tergesa-gesa meninggalkan gedung hukum.

“Radit, habis cuti dua semester”

“Buset lama banget. Cuti melahirkan apa gimana?”

Amel cekikikan. “Sembarangan lu. Si Radit baru keluar rehab, biasalah mantan pemakai, makanya lu lihat aura mukanya kayak lambang BNN.”

Laras dan Manda ketawa. Amel mendorong pintu kelas dan melongo menatap seisi kelas, sudah penuh, padahal masih ada waktu dua puluh menit lagi sebelum kelas dimulai.

“Udah nggak ada tempat lagi. Yaudahlah, paling belakang aja” kata Manda menunjuk empat kursi di bagian paling belakang.

“Gini nih kalo matakuliah umum gabung sama junior, kelas belum mulai udah penuh. Minggu depan bisa duduk dilantai gue. Ru, ada yang duduk disini nggak?” korek Amel pada Heru, ketua srikandi bertubuh gede.

“Paling pojok buat temen gue. Tuh ada tanda” tunjuk Heru pada peniti kecil yang ia taruh di kursi ujung. Amel geleng-geleng, mereka kemudian duduk di kursi paling belakang, Laras tepat di belakang Heru.

“Tenang aja Ra. Kalo nggak bisa lihat, nanti gue pinjemin catetan gue, tapi bayarannya pakai ngedate di stasiun Cikini” goda Heru iseng ketika melihat Laras berusaha keras mencari posisi tepat untuk melihat ke arah papan tulis.

“Idih. Laras nggak perlu catetan lu, ada catetan gue”

“Emang lu nyatet Mel?”

“Enggak. Gue pinjem catatannya Manda. Sono lu ngadep depan, nggak udah balik-balik belakang. Laras muak lihat muka lu”

“Sensi banget sih Mel. Ada apa gerangan kawan? Nyokap lupa kirim uang? Sini gue bayarin hidup lu sebulan”

“Makasih Ru, gue mending minta dibayarin Manda atau Laras. Haram hukumnya pakai duit penjudi kayak lu” tolak Amel kejam. Heru menyentil jidat Amel membuat cewek itu mengomel.

“Hati-hati Mel, keseringan berantem bisa jadi jodoh” ujar Manda cekikikan.

“Dih najis. Mending gue nikah sama Mang Imang, tukang pisang goreng depan rumah. Tiap hari kenyang makan pisang, nah kalo sama yang ini apa yang bisa diharapkan? Kuliah aja nggak niat, tuh lihat mulai pinjem-pinjem pena” sinis Amel ketika Heru mulai berkelana mencari pena dan kertas binder.

“Mel!”

Amel tersentak hampir jatuh ke belakang ketika seorang cowok menarik tudung jaketnya. “Anjing lu No. Kalo gue jatuh gimana?”

Cowok itu tidak menjawab, ia menarik kursi duduk di samping Laras. Wajah Laras berpaling, tatapan mereka bertemu dan ekspresi Laras langsung berubah gugup begitu melihat siapa cowok itu.

Dano.

Cowok aneh yang pernah Laras temui tempo hari di taman kota.

“No, lu ikut judi bola semalam nggak?” tanya Amel dari samping.

Dano menggeleng. “Nggak Mel, gue cuman taruhan siapa yang nyesel ikut judi bola”

“Lu menang?”

“Iya”

“Terus siapa yang nyesel ikut judi?”

“Rafael, hari ini mau ikut ibadah sore di gereja. Katanya mau minta belas kasih Tuhan biar nggak dikerangkeng sama nyokapnya”

“Kalah berapa dia?”

“Nggak banyak sih, cuman duit SPP satu semester” jawab Dano kalem.

“Dua puluh juta dong!” Amel melongo.

“Ru pinjam pena dong” korek Dano ketika Heru kembali ke tempat duduk.

“Nggak punya, gua aja minjem sebiji punya Sarah”

“Nggak modal banget sih lu berdua, punya duit tuh beli pena. Niat kuliah nggak sih?” kata Amel.

“Sorry ya No. Pacar gue kalo pagi-pagi emang rada sensian. Maklum habis jadi siluman bulldog kemarin,  galaknya masih nempel”

“Kurang ajar!”

Dano ketawa geli melihat Amel mengamuk sementara Manda seperti biasa menjadi penengah, meskipun ia juga ikut cekikikan geli.

“Ra, pinjem pena” minta Dano tanpa basa-basi menyodorkan tangan.

Laras bengong sejenak lalu menyodorkan kotak pensilnya. Setelah itu sepanjang pelajaran Laras merasa gelisah. Fokusnya terbagi-bagi antara mendengarkan Pak Pangaribuan atau Dano. Tanpa perlu berpaling, Laras bisa merasakan Dano asik memperhatikan gerak-gerik Laras.

“Nyatet apa Ra? Emang kelihatan papan tulisnya?” bisik Dano membuat Laras sedikit terkejut.

“Enggak. Tapi aku nulis yang aku dengar”

“Rajin ya. Entar pinjem dong Ra, buat saya pake belajar”

“Emang kamu nggak nyatet?”

“Enggak, kan ada catatan kamu.”

Idih yang mau pinjemin siapa? batin Laras meringis.

“Ra, kamu pernah nggak-”

“Aku nggak pernah rebahan di genteng mapolda tengah malam” potong Laras. Tanpa diduga Dano cekikikan geli, Laras melemparkan tatapan bingung, cowok itu bersikap seakan mereka sudah mengenal sejak lama.

“Padahal saya mau nanya hal lain”

“Apa?”

“Udah pernah pergi ke warung makan sederhana di ujung gang dekat kampus nggak? Disitu ayam gorengnya enak”

“Belum pernah”

“Kapan-kapan makan bareng saya yuk disitu. Berdua doang, biar makin akrab”

“Makasih tawarannya, tapi aku nggak suka ayam bakar.”

Dano menyunggingkan senyum tipis. “Mungkin sekarang enggak, tapi besok-besok bisa suka.”

Mata Laras sedikit menyipit melemparkan tatapan sinis. Mendadak ia merasa muak harus meladeni Dano. Efek patah hati karena Angga membuat Laras tidak ingin berbicara pada cowok manapun, kecuali dosen yang sebenarnya memang cukup aneh kalau dijadikan teman mengobrol.

“Kenapa matamu? Kelilipan. Sini saya tiup, takutnya kerikil yang masuk” tanya Dano kalem. Laras melotot kesal, ia hendak membalas perkataan Dano namun suara Pak Pangaribuan terdengar dari depan.

“Itu mbak dan mas di belakang kenapa ngobrol sendiri?”

Laras berpaling. Semua tatapan mata kini terarah padanya dan Dano, membuat Laras menjadi gugup. Laras menelan ludah, ia ingin berbicara namun suara Dano sudah lebih dahulu terdengar.

“Ini pak si Laras, masa tiba-tiba ngajak saya nikah. Kan saya masih pengen kuliah.”

Laras bengong sementara sekelas tertawa kencang. Rona wajah Laras berubah merah, ia tidak bisa mengatakan apapun karena suara siulan terdengar keras memenuhi ruang kelas untuk menggoda dirinya. Wajah Laras berpaling pada Manda dan Amel meminta bantuan, namun kedua cewek itu justru menatapnya heran.

...----------------...

Laras meneguk es jeruk, ia merasa haus karena sejak tadi harus bercerita panjang lebar pada Amel dan Manda perihal Dano, cowok kurang ajar yang berhasil membuat Laras menjadi bahan tertawaan satu kelas.

“Aduh gue ngakak banget sama Dano. Gue tau dia lawak, tapi gue nggak nyangka bisa selawak itu.” Amel cekikikan geli masih mengingat kejadian di ruang kelas tadi, bisa dipastikan mulai minggu depan Dano dan Laras akan sedikit mendapat perhatian ekstra dari Pak Pangaribuan.

“Iya lucu bagi kamu, karena bukan kamu korbannya. Aku malu tau!” dengus Laras sewot.

“Ya ampun Ra, jangan marah dong. Itu bercandaan Dano doang. Laras lucu deh kalo marah, mukanya kayak bekicot” goda Amel, bibir Laras semakin manyun.

“Udah dong Mel, itu kalo bibirnya makin maju udah bisa jadi topi ulang tahun” tambah Manda ikut cekikikan geli.

Laras kembali menyeruput es jeruk, pura-pura tidak mendengar godaan kedua sahabatnya, ia mengebas-ngebas jeans merah mudanya lalu menopang dagu menunggu tawa Amel dan Manda reda.

“Kamu kenal Dano dimana?” tanya Laras.

“Dia anak srikandi” jawab Amel singkat.

Srikandi adalah nama organisasi band kampus. Banyak rumor buruk mengenai srikandi. Katanya ada anak srikandi yang ketahuan menggunakan narkoba sampai kampus harus turun tangan untuk menutup kasus tersebut agar tidak mencemarkan nama baik kampus. Ada juga yang bilang setiap acara internal anak srikandi pasti membawa miras, tapi anehnya tidak pernah ada teguran resmi dari pimpinan kampus untuk organisasi itu. Mungkin banyaknya prestasi dan trofi yang dibawa pulang srikandi membuat pimpinan kampus sedikit menutup mata. Karena meskipun anak srikandi rata-rata malas kuliah, tapi untuk ukuran mengikuti lomba mereka juaranya, bahkan banyak senior srikandi sudah wara-wiri di Tv.

Tampang anak srikandi yang rata-rata urakan dan terkesan sulit diatur, membuat banyak orang semakin yakin bahwa gosip yang mereka dengar benar adanya. Tapi sepertinya anak Srikandi tidak ambil pusing, terbukti dengan tulisan gede di dekat pintu masuk sekre srikandi yang berbunyi sarkasme untuk dibaca orang lewat; jangan masuk sekre ini, anak band nggak ada yang bener!!!

“Pantes…” gumam Laras dongkol.

“Pantes apa Ra? Bajingan?” kekeh Amel geli. “Dulu Dano mau dijadikan calon ketua Srikandi, cuman karena dia nggak punya visi misi jadi ya dengan sangat dipaksakan posisi Dano hanya sebagai donatur”

“Kok Donatur?”

“Ya nyumbang otak nggak bisa Nda, mau gimana lagi?”

Manda tertawa geli.

“Lagian ya, anak-anak tajir srikandi posisinya pasti jadi donatur. Lu perhatiin aja, tiap ngadain acara mereka nggak pernah jualan risol”

“Emang nggak ngerasa rugi?”

“Tau deh, selama ini sih pada nggak ada yang protes.” Amel angkat bahu lalu berpaling dengan ekspresi masam ketika melihat nama yang muncul dari ponsel Laras. “Lu berdua belum putus?”

“Putus sama Mas Angga nggak segampang itu Mel. Urusannya harus sama keluarga besar.

“Alah! Persetan sama keluarga besar! Masa lu mau ngorbanin masa muda lu dengan nikah sama tukang selingkuh? Sekalinya selingkuh mah bakalan selingkuh terus. Ibarat anjing yang suka tulang maka selamanya dia akan menjadi anjing” nyinyir Amel ngaco.

“Aku duluan ya” pamit Laras nyengir lebar. Laras menuju gedung ekonomi yang jaraknya cukup jauh dari kantin gedung hukum, terlihat Angga melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

“Untung ada kamu. Kalo enggak udah habis aku dimarahi dosen, Aku pinjam ya, besok baru aku balikin” kata Angga mengambil buku paket audit milik Laras. “Kamu udah makan?”

“Udah.”

Angga mengangguk tidak bertanya lagi, pertanyaan tadi memang hanya sekedar basa-basi. Ponsel Angga bergetar, ada sebuah panggilan masuk, cowok itu lantas mengambil sedikit jarak dari Laras. “Iya, dikit lagi aku kesana. Aku lagi sama Laras.”

Alis kanan Laras sedikit terangkat naik, ia diam-diam memperhatikan gerak-gerik Angga. Setelah kejadian di club waktu itu, sekarang semua menjadi terlihat lebih jelas. Laras tidak mengerti kenapa ia bisa begitu bodoh sampai tidak menyadari kebohongan Angga.

“Siapa?” tanya Laras ketika Angga selesai menelpon.

“Teman kelompok, mau kerjain tugas.”

Teman atau selingkuhan? batin Laras menyindir.

“Aku pergi dulu ya Ra.” Angga melambaikan tangan lalu melangkah pergi, ia terlihat terburu-buru seperti dikejar sesuatu. Laras mematung menatap Angga sampai cowok itu menghilang dari balik parkiran depan gedung ekonomi.

“Itu pacar kamu?”

Laras berpaling. Dano berdiri di samping, tangannya memainkan stik drum dan ikut menatap ke arah pandang Laras. “Ngapain kamu disini?” tanya Laras ketus karena Dano selalu muncul di momen-momen krusial.

“Dengan jeans merah muda, kaos kuning, kamu menarik perhatian dari kejauhan. Oh iya, sepatu kamu juga on fire. Lagipula ini koridor kampus, jadi semua orang bebas lewat sini” jawab Dano kalem. Laras mendengus, ingin rasanya menyepak Dano, tapi Laras memilih pergi, tanpa diduga Dano mengejarnya.

“Ra, kok pergi tanpa pamit sih? Ntar dimarahin orang tua loh karena nggak sopan”

“Orang tua aku di Surabaya, mereka nggak bakalan marahin aku karena nggak pamit sama kamu” balas Laras jengkel melangkah lebih cepat.

“Kalo gitu ntar dimarahin karena nggak pake pelukan perpisahan. Ra...Ra…Laras.” Dano terus mengejar langkah Laras, ia ikut mempercepat langkahnya dan menghalangi jalan Laras. “Ra, marah ya karena candaan tadi pagi?” tanya Dano serius.

Laras mendongak tidak nyaman, tingkah Dano sukses membuat mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berada di koridor. “Aku nggak marah”

“Tapi muka kamu kayak orang lagi marah”

“Aku nggak marah!”

“Lah tapi kamu ngegas?”

Laras menghela nafas dan berkata pelan. “Pokoknya aku nggak marah sama kamu Valdano. Puas?”

“Hmm… berarti kamu marah karena Angga selingkuh” tembak Dano sengaja.

Mata Laras membulat terkejut. “Kamu tau-”

“Dari mana?”

Laras mengangguk membuat Dano tersenyum, ia berhasil mendapat perhatian Laras. 

“Nggak penting saya tau dari mana. Tapi saya datang ke kamu karena saya mau ngasih ide buat kamu.”

Simpen idemu, aku nggak mau dengar!  batin Laras berteriak

Dano menunduk sedikit dan berbisik pelan. “Gimana kalo kamu selingkuh sama saya? Biar impas”

Laras melongo, Dano ternyata bukan sekedar aneh. Lebih dari itu, Dano sinting.

...----------------...

Sejak hari itu, hidup Laras tidak lagi tenang. Tubuhnya seakan timbul medan magnet kuat yang mampu menarik besi bernama Dano untuk mendekat. Entah bagaimana bisa, tapi Laras selalu bertemu Dano di setiap mata kuliah umum yang ia ambil. Seakan Dano adalah bunga matahari yang baru mekar ketika ada cahaya. 

Tidak hanya itu, Dano bahkan lebih berani untuk menggoda Laras, di setiap kesempatan ia selalu mendekati cewek itu dengan tingkah kocaknya. Laras sendiri tidak bisa melakukan apapun, selain Amel berteman dengan Dano, Manda sendiri juga tidak terlihat keberatan dengan kehadiran cowok itu.

“Ra, tuh penggemar lu” tunjuk Manda ketika melihat Dano muncul dari kejauhan bersama Heru. Laras mendengus mengunyah risol, wajahnya langsung tertekuk.

“Laras...cintaku, pujaan hatiku, bunga-bunga impianku. Ngapain kamu?” tanya Dano tanpa permisi duduk disamping Laras.

“Lagi nyemen” jawab Laras jutek.

“Kuat banget nyemen pake gigi” balas Dano ketawa.

Laras melotot kesal sementara teman-temannya tertawa geli. Tanpa malu-malu Dano memberikan kecupan jauh membuat Laras merinding dan setelah itu seolah tidak terjadi apapun Dano malah membahas acara makrab srikandi yang akan diadakan di bulan Agustus nanti, seolah ekspresi kesal Laras sudah menjadi hal biasa baginya.

“Emang yang daftar srikandi banyak?” tanya Manda karena sejak kemarin koridor utama gedung ekonomi sudah dipakai untuk membuka pendaftaran masuk organisasi kampus.

“Iya. Gue sampai harus buat jadwal wawancara” angguk Heru tanpa permisi mencomot risol Amel.

“Sok banget, masuk organisasi pake wawancara segala, kayak lagi daftar kerja. Mending kalo dibayar pake duit, ini cuman dibayar amer” kata Amel seperti biasa nyinyir.

Heru nyengir. “Justru itu Mel, karena sebotol amer lumayan nguras kantong mahasiswa kayak kita, makanya gue wawancara buat ngambil orang yang berpotensi. Ambisi gue mau mengubah pandangan orang tentang srikandi”

“Hapus tuh tulisan di samping sekre, baru lu ngomong gitu”

“Kalo itu nggak bisa Mel. Udah jadi semboyan Srikandi. Nda, mau gabung? Ntar lu gue jadiin maskot Srikandi”

“Enggak deh makasih, gue udah capek di HIMA” tolak Manda menggeleng.

“Tanya yang ini juga dong” tunjuk Dano pada Laras.

“Kalo itu urusan lu No” kekeh Heru.

Dano menopang dagu dan menatap Laras lekat-lekat. “Gabung srikandi yuk, khusus kamu nggak perlu wawancara”

“Nggak mau” tolak Laras mentah-mentah.

“Loh kenapa? Srikandi bagus loh, saya ajarin kamu main drum. Sambil pangku-pangkuan juga nggak papa” goda Dano, mata Laras memutar tapi tidak menjawab.

“Gila lo No” tawa Amel kencang.

“Serius loh gue Mel. Kalo Laras masuk, gue makin semangat buat gebug drum. Masuk ya Ra? Nanti saya beliin ale-ale”

“Mending kamu diam, makan risol” kata Laras langsung menyodorkan risol ke mulut Dano.

“Cielah udah suap-suapan. Cepat bener perkembangannya” goda Heru tertawa.

“Lu semua cukup lihat kita suap-suapan, lebih dari itu nggak boleh. Bener kan Ra? Ntar kalo ciuman, di tempat sepi aja Ra. Biar mereka nggak lihat” kata Dano pura-pura berbisik. Laras langsung mencubit lengan Dano kencang sampai cowok itu berteriak kesakitan.

“Aku duluan ya, mau kelas”

“Kan masih dua puluh menit lagi Ra, santai aja” ujar Amel.

“Nggak papa. Aku mau tag tempat” kata Laras buru-buru angkat kaki dari situ.

“Bareng gue Ra. Gue mau ngambil proposal di sekre.” Manda berdiri mengikuti Laras.

“Parah lu No, sampai kabur gitu anaknya” kata Amel cekikan geli.

Dano nyengir dan tanpa diduga ia berteriak kencang. “Hati-hati Laras sayang!!! Jangan sampai lecet dijalan!! Good bye my darling!!!”

Laras bergidik ngeri. “Dasar gila!”

...----------------...

Entah dari mana asalnya, tapi gosip kedekatan Dano dan Laras sudah menyebar dimana-mana. Saking kencangnya, gosip itu akhirnya sampai ke telinga Angga, ia yang awalnya tidak peduli Laras dekat dengan siapapun mulai merasa terganggu dengan munculnya nama Dano.

Di malam minggu dalam kencan membosankan yang sering dilakukan Angga bersama Laras di toko buku, Angga menyempatkan diri untuk menanyakan kebenaran gosip yang ia dengar.

“Itu nggak bener. Kebetulan aja Dano temenan sama Amel, makanya aku kenal dia. Kita nggak punya hubungan seperti yang diceritain orang-orang” geleng Laras tegas.

Emangnya aku kamu?  tukang selingkuh? batin Laras mendengus.

“Oh yaudah kalo emang cuman begitu. Aku percaya sama kamu” jawab Angga lugas tidak bertanya lagi. “Ra, kapan-kapan pake rok kayak gitu dong. Kayaknya cocok buat kamu” kata Angga mengubah topik pembicaraan menunjuk seorang cewek di dekat eskalator.

“Nggak mau ah, nggak nyaman kalo pergi dengan pakaian minim begitu” tolak Laras.

Laras menyukai cara cewek itu berpakaian, ia terlihat manis dengan rok pendek dan jaket kebesaran, tapi Laras yakin ia akan terlihat jelek dengan style seperti itu, lagipula keluar rumah dengan pakaian minim bahan terasa tidak nyaman. Laras lebih suka mengenakan baju dan celana gombrang yang menutup tubuhnya, meskipun terkadang warna bajunya suka membuat sakit mata.

Raut wajah Angga berubah kecewa, ia mengikuti Laras tapi diam-diam sedikit memperhatikan gerak-gerik cewek itu. Dulu bagi Angga Laras itu manis sekali, ia punya lesung pipit dan senyum yang menarik.

Namun akhir-akhir ini Laras terlihat sangat membosankan. Angga benci harus melihat Laras begitu pede mengenakan sesuatu yang tidak nyambung. Seperti sekarang, Laras mengenakan jeans hijau tua, baju oranye garis-garis, dan sandal jepit yang menurut Angga terlihat sangat norak. Angga berharap Laras sadar, betapa tidak menarik dirinya saat berpenampilan begitu. Jujur Angga  ingin setidaknya Laras sedikit merawat diri, seperti Sera misalnya.

Ya Sera.

Cewek yang beberapa waktu belakangan ini begitu menarik perhatian Angga.

Sera dan Laras itu ibarat langit dan Bumi.

Sera tau mana lipstik yang pas untuk baju yang ia kenakan, sepatu cantik yang cocok untuk acara yang akan ia hadiri, rambut tergerai badai, make up, dan paling penting Sera seksi.

Sedangkan Laras?

Jangankan seksi, make up saja ia tidak bisa. Angga bisa menghitung dengan jari berapa kali Laras mengenakan lipstik saat mereka pergi. Hanya di acara khusus cewek itu terlihat rapi, sisanya Laras seperti tidak peduli. Dan lama-kelamaan ketidakpedulian Laras membuat Angga jengah.

Ponsel Angga berbunyi, ada panggilan masuk dari Sera membuat senyumnya tanpa sadar mengembang. Angga buru-buru menjauh dan berbicara dengan Sera, tidak menyadari Laras diam-diam memperhatikan dirinya dari balik rak buku. Sekitar sepuluh menit Angga kembali. “Ra, aku anterin pulang. Aku harus nemuin teman”

“Mau ngapain?”

“Nyusun proposal acara organisasi. Hari senin mau nyerahin ke ketua”

“Temen siapa?”

Kening Angga langsung berkerut, Laras tidak pernah semau tahu ini pada urusannya. “Emang kalo aku kasih tahu, kamu tau siapa orangnya?”

Laras menggeleng dan memaksakan diri tersenyum manis. “Kamu duluan aja. Aku masih lama, masih banyak buku yang mau aku lihat”

“Jangan gitu Ra, masa aku ninggalin kamu disini?”

“Nggak papa. Aku masih mau keliling lagi, kamu pergi aja. Lebih urgent proposal kan?”

“Bener nih? Yakin nggak marah?”

“Iya. Nggak papa” angguk Laras. Angga tersenyum kemudian melangkah pergi.

Tubuh Laras berpaling mengambil buku di rak depan. Perlahan air mata Laras menetes, ia menangis. Hati Laras terasa sakit. Ia tidak pernah merasa serapuh ini dalam hidupnya. Harga diri Laras benar-benar tercoreng, tunangannya berselingkuh dan ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun.

Drrt….drrt

Suara ponsel Laras terdengar, ia melap air matanya dan menarik nafas mencoba untuk tetap terdengar tenang.

[Dimana lu?] tanya Amel tanpa basa-basi.

“Toko buku. Kenapa Mel?”

[Share location Ra. Gue mau ngajak lu sama Manda ke club. Malam ini kita party]

“Aduh Mel. Aku nggak bisa”

[Kenapa lu nggak bisa? Udah tenang aja. Gue bawa box khusus buat taruh buku-buku berharga lu itu]

“Bukan itu Mel. Masalahnya, aku pakai sendal jepit”

[Tenang Ra, club buat joget, bukan tempat adu alas kaki. Share location ya, nggak pake lama] kata Amel langsung mematikan sambungan telepon, tidak memberikan kesempatan pada Laras untuk menolak.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

masa laras ga ada tindakan gt ngilat cowo nya slingke

2024-06-08

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 59 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!