SUDAH 2 minggu mereka hidup berumah tangga. Walau tidak ada peningkatan karena Fal selalu pergi pagi pulang malam tanpa memberitahunya. Lebih lagi Fal jarang berbicara padanya.
Tanvi semakin sedih namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagaimana ia bisa bertahan?
Seperti malam ini, ia menunggu Fal.
Biasanya ia tertidur di sofa menunggunya, tapi sekarang ia menahan ngantuk karena ada keperluan dengan Fal.
Jam 10 malam, pintu apartemen terbuka.
Tanvi langsung memburunya. “Kak Fal?”
Fal melonggarkan dasi dan menyerahkan tasnya. “Kok belum tidur?”
“Ngg aku mau bicara. Boleh minta waktunya sebentar?” Tanvi agak takut.
“Aku capek. Besok aja.” Fal ngeloyor ke kamar.
Tanvi terduduk sedih.
Dia ingin memberitahu besok dia diwisuda. Dan ia harus ke sana dengan suaminya. Tapi bahkan Fal tidak mau bicara.
Air matanya menetes membasahi toga dan topi wisudanya. Sepertinya dia harus pergi sendiri.
Fal keluar kamar mandi sambil menyeka wajah dengan handuk, dan melihat Tanvi duduk di sofa sambil terisak.
“Kenapa nangis?”
Tanvi kaget dan menghapus air matanya.
Fal melirik benda yang dipegangnya. “Apa itu?”
Tak ada salahnya mencoba. “Besok aku diwisuda, Kak. Apa Kakak mau temani aku ke sana?”
Mata Fal menyipit. “Kamu minta sama Mama aja. Besok aku ada meeting.”
Oke. Kelar. Nggak ada harapan suaminya mau menemani.
Fal masuk kamar dan keluar membawa selimut dan bantal. “Sana tidur di kamar. Biar aku di sofa.”
Tanpa bicara, Tanvi memasuki kamar sambil terisak.
“Kak Farhan, andai Kakak yang ada di sini. Mungkin aku nggak akan sesakit ini.”
***
Akhirnya Mama dan Nindy yang menemaninya ke acara wisuda. Begitu ia membawa ijazahnya, Mama dan Nindy memeluknya memberi selamat.
“Menantuku udah jadi sarjana. Alhamdulillah.”
“Selamat ya, Kak. Tapi kok Kak Fal nggak ke sini sih? Curang banget.” Nindy mengeluh.
“Katanya ada meeting, Nindy. Makanya nggak bisa.”
“Tapi seharusnya dia mengerti hari penting istrinya.”
“Ya udah, Ma. Kak Fal kan emang gitu. Awas aja kalo nanti Nindy wisuda dia nggak dateng! Nindy nggak bakal mau ngomong lagi sama Kak Fal.”
Tanvi dan Mama tersenyum. Manalah Fal nggak dateng kalo Nindy yang wisuda, secara Fal sayang banget sama adik semata wayangnya.
“Eh Mama mau pergi arisan. Kalian mau jalan ke mal?”
“Iya, Ma. Nganter Kak Tanvi ke apartemen dulu ganti baju, baru deh jalan-jalan.”
“Ya sudah Mama naik taksi saja. Tanvi, Mama duluan ya.”
“Iya, Ma. Terima kasih sudah datang.” Tanvi mencium tangan Mama.
Begitu Mama pergi, Nindy mengajaknya pulang untuk bersiap jalan-jalan.
***
Ternyata Nindy emang maniak belanja. Tanvi sudah pegal sejak tadi keluar masuk toko. Tangannya sudah penuh membawa kantong belanjaan.
Papa terlalu memanjakannya dengan memberi beberapa kartu kredit.
“Nindy, ini parfum kamu udah banyak lho. Masih mau beli?” tanya Tanvi ketika Nindy mulai lihat-lihat parfum lagi.
“Bukan buat Nindy. Buat Kak Tanvi.”
“Duh aku nggak pernah pake parfum, Nin. Enggak usah deh.”
“Justru itu, Kakak harus dandan, biar Kak Fal makin cinta.”
Tanvi terdiam. Jelas Fal tidak mencintainya. Begitu juga dirinya. Lalu bagaimana mereka bisa bahagia menjalani pernikahan?
“Nih suka nggak wangi parfum ini, Kak?” Nindy menyodorkan tester.
Tanvi menghirup aromanya dan menggeleng. “Terlalu nyengat, Nin.”
“Yang ini kalo gitu. Wanginya bikin Kak Fal cenat-cenut ntar deket-deket Kak Tanvi.”
“Ihh kamu tuh bisanya godain Kakak terus.” Tanvi menghirup aroma parfum. “Yang ini soft wanginya.”
“Kalo gitu beli yang ini ya.”
“Eh enggak usah, Nin. Aku nggak perlu kok.”
“Apa? Nggak perlu? Ini penting, Kak!”
“Tapi…”
“Kalo gitu, ini hadiah dari Nindy, dan Kak Tanvi nggak boleh nolak.”
“Hadiah? Kemaren waktu pernikahan kan kamu udah kasih Kakak hadiah?”
“Ya gimana Nindy dong! Mau kapan aja kasih hadiah, dan Kak Tanvi nggak boleh nolak! Deal! Mbak, yang ini bungkus ya.” Nindy langsung mengeluarkan kartu kredit.
Tanvi meringis melihat harga parfum itu 585rb. Kalau dipakai untuk panti, pasti berguna uangnya.
Setelah belanja, Nindy mengajaknya ke coffeeshop.
“Nin, Kakak boleh tanya?”
Nindy asyik menikmati blackforest-nya. “Tanya apa.”
Tanvi mengaduk-aduk minumannya. “Kamu terima Kakak jadi Kakak ipar kamu?”
Nindy menatapnya aneh. “Silly question itu, Kak!”
“Ya mungkin konyol. Tapi kan kita baru kenal pas acara pernikahan.”
“Oooo…” Nindy mencomot tiramisu punya Tanvi, cuek. “Sebenernya Nindy kaget juga sih waktu Mama telepon bilang Kak Fal mau nikah. Tapi begitu ketemu Kak Tanvi, Nindy lega. Mendingan sama Kak Tanvi. Soalnya Nindy nggak suka kalo Kak Fal nikahnya sama Kak Alisha.”
“Alisha?” Tanvi bingung. “Siapa itu?”
“Mantan pacar Kak Fal waktu kuliah di Inggris. Kak Fal susah move on dari Kak Alisha. Makanya Nindy kuatir Kak Fal ngotot nikahin si bule sombong itu. Dia itu ngerusak Kak Fal. Dulu Kak Fal perhatian sama keluarga. Perhatian sama Nindy. Tapi sejak pacaran sama Kak Alisha, Kak Fal jadi cuek. Apa-apa Kak Alisha, semua orang selalu salah. Selalu belain Kak Alisha. Waktu Kak Alisha dateng ke rumah, dia bersikap seakan-akan Nindy ini pembantu. Disuruh ini, disuruh itu. Waktu belanja, Nindy sama Mama malah disuruh bawa belanjaan. Kurang sopan gimana, coba, Kak! Tapi Kak Fal selalu belain Kak Alisha. Katanya Kak Alisha nggak kuat angkat barang berat. Nindy benci banget deh sama tu orang. Makanya begitu tau Kak Fal bukan mau nikah sama dia, Nindy mau pulang untuk pernikahan kalian.”
Oooooo gitu ceritanya. Awalnya Tanvi khawatir Nindy hanya berpura-pura menerimanya karena Kakek yang menikahkan mereka. Tapi, apa mungkin sampai sekarang Fal masih mencintai Alisha?
Dan siapa desainer cantik yang pernah diungkit temannya Fal di telepon?
“Eh Kak, abis ini kita ke salon yuk. Nindy mau perawatan. Kak Tanvi juga.”
“Duh aku nggak biasa ke salon, Nin.”
“Kalo sama Nindy, harus dibiasain. Minimal Kak Tanvi potong rambut lah. Ini model rambut Kakak udah jadul.”
Tanvi memegang rambutnya yang lurus panjang kaku. Tak ada salahnya memperbaiki penampilan. “Boleh deh.”
***
Di sudut kafe, Fal bersama tiga sahabatnya berkumpul. Terjadi sidang terhadap Fal, sehingga disinilah ia wajib mentraktir mereka semua. Usut punya usut, mereka baru mendengar kabar pernikahan Fal.
“Gimana sih lo? Nikah kagak bilang-bilang?” sungut Ares yang paling dekat dengannya.
“Iya nih, mana 2 minggu lo ngilang dari kita? Abis bulan madu?” Wandi tidak kalah galak.
“Weits.. sabar dong, gue kan belum jelasin apa-apa.” Fal mengangkat tangan.
“Siapa emang cewek yang lo nikahin? Jangan-jangan lo hamilin cewek?” tuduh Rendy.
“Sembarangan lo! Kayak nggak tau gue aja.” Fal menceritakan semua secara detail waktu dia mabuk.
“Wah gila lo! Jadi lo nikahin pacarnya sepupu lo gara-gara lo tidur sama dia?”
“Eh sotoy banget, gue kan udah bilang gue lagi mabuk, mana gue tau tu cewek lagi tidur di kamar si Farhan.”
“Tapi lo asem banget, nggak ngabarin kita!” Wandi masih tidak terima.
“Gue mana sempet. Acaranya aja buru-buru. Alasan keluarga gue, takutnya tu cewek keburu hamil gara-gara tidur sama gue. Jadi gue harus cepet nikahin dia.” Fal membela diri.
“Tapi lo emang ‘gitu’ sama dia?” selidik Rendy.
Fal mendelik sebel. “Lo sekali lagi nanya, gue pites juga lo! Gue kan lagi mabuk, mana lah gue inget.”
“Ya kali aja. Lo kan kalo lagi mabuk mana bisa nahan diri. Bisa-bisa ada nenek-nenek juga lo samber.”
“Sialan lo!”
Ares teringat. “Lo nikah 2 minggu lalu? Jangan-jangan yang ngangkat telepon gue waktu itu bini lo?”
Fal kaget. “Kapan lo nelepon gue?”
“2 minggu lalu. Kamis pagi.”
“Trus dia bilang apa?”
“Dia jawab telepon, tapi nggak bicara. Gue sempet heran dan coba telepon lo lagi, tapi nggak dijawab. Emang lo ke mana waktu itu?”
“Gue lagi sakit, gara-gara kecapean, makanya gue tidur di kamar….”
“Cieeeee…” semua langsung meledek.
“Kecapean malam pengantin ya lo?”
“Sembarangan! Gue belum pernah nyentuh dia. Yah meski dia lumayan cantik. Tapi gue nggak minat.”
“Yakin?” goda Ares.
“Ya yakin lah.”
“Emang lo kuat tinggal berdua doang, tiap hari ketemu, masa’ iya kagak cenat-cenut gitu liat dia?” goda Wandi.
Fal jadi sebel. “Kagak!”
“Eh sekarang lo tinggal di mana?”
“Di apartemen.”
“Bawa lah kita ke sana. Kenalin sama bini lo.”
“Bener tu, Fal! Kita juga pengen liat.”
“Ntar aja lah,” sahut Fal males. “Gue aja males balik.”
“Emang kenapa? Dia rempong?” selidik Wandi.
“Ya gue nggak suka aja sama dia. Jauh dari kriteria cewek gue.”
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Wajahnya langsung gembira. “Nih guys, cewek idaman gue nelepon.”
“Siapa? Alisha?” tanya Rendy.
“Sok tau lo!” sembur Fal langsung menjawab telepon. “Halo bebz..”
Semua mencibir.
“Siapa sih?” bisik Rendy.
“Gwen. Desainer yang gue ceritain itu,” jawab Ares berbisik. “Fal lagi kesengsem sama dia.”
“Ya gue juga demen lah yang bening kayak gitu,” sahut Wandi. “Sayangnya gue nggak selevel sama Fal. Susah deh saingan.”
“Si Fal kagak bersyukur banget dah punya bini.”
Fal melotot karena acara teleponnya terganggu.
“Iya jadi kok. Besok gue jemput lo ke rumah. Jangan lupa dandan yang cantik buat gue. Oke. Bye honey…” telepon diputus.
“Woy inget lo udah punya bini!” samber Ares.
“Tau nih! Bibit-bibit poligami.” Wandi menambahkan.
Fal tertawa santai. “Gue balik duluan.”
“Lo nggak mau makan dulu?”
“Kagak lah. Buat lo aja. Gue nggak selera makan. Pada makan aja. Udah gue bayar semuanya.”
“Eh kapan jadinya kita mau ke apartemen lo?”
“Kapan-kapan, ntar gue kasih tau. Oke bye..”
Fal meninggalkan kafe sambil bersiul-siul senang.
***
Karena hari ini hari penting setelah diwisuda, Tanvi berniat masak enak. Meski Fal belum tentu mau makan, yang penting dia sudah berusaha.
Dia bertanya pada Mama makanan kesukaan Fal. Yaitu ayam bakar. Ia mencoba membuatnya dari resep yang diberikan Mama.
Meski sulit membuat bumbu yang pas, akhirnya jadi juga masakan untuk suaminya.
Sambil menunggu Fal pulang, Tanvi menelepon Indah untuk mengabarkan dirinya sudah diwisuda.
“Wahhhh selamat ya, Tanvi. Kami di panti ikut seneng. Trus seneng dong tadi kamu didampingin suami?” pertanyaan Indah membuatnya tersenyum pahit.
“Ya gitu deh. Eh gimana kabar kalian semua?”
“Alhamdulillah baik kok, Vi. Adik-adik terus nanyain kamu. Mereka belum terbiasa tanpa kamu.”
“Aku juga kangen kalian. Tapi mau gimana. Aku bakal izin sama Kak Fal untuk jengukin kalian di panti.”
“Ya kalau kamu sempet aja. Jangan dipaksain. Inget kata Bu Ratna, kalo udah menikah, harus patuh sama suami. Utamakan suami, selalu minta izin kalau mau pergi. Kalau patuh sama suami, ibadah buat kita juga. Jangan bikin dosa, karena suami yang nanggung dosa kita nanti.”
Tanvi tersenyum. “Kayaknya kamu yang udah lebih siap menikah. Aku aja lupa-lupa inget kata-kata Bu Ratna. Karena aku cuma fokus kuliah. Nggak kepikiran mau nikah cepet.”
“Ya kita kan pasti menjalani hidup berumah tangga. Oh ya, Vi, aku lupa ngabarin. Nira dan Tata udah diadopsi.”
Tanvi kaget. “Serius? Kamu udah selidikin latar belakang keluarga yang adopsi? Alamatnya, sama kondisi keluarganya, gimana?”
Dia khawatir mereka tidak diperlakukan dengan baik. Ada saja kasus yang terjadi. Yang tidak bisa ia lupakan, waktu Ardi diadopsi. Saat itu Ardi berumur 7 tahun. Tapi bukan dirawat, Ardi malah diperlakukan seperti pembantu. Ardi kerap dipukuli. Sampai Bu Ratna mengambilnya lagi setelah lapor polisi. Namun Ardi meninggal beberapa bulan kemudian, karena ada cacat di otaknya bekas benturan.
“Tenang aja, Vi. Yang adopsi Nira, itu salah satu orangtua murid di sekolah Nira. Mereka ingin punya anak perempuan. Kalau Tata, diadopsi sama Pak Dewo yang jadi donatur panti.”
Tanvi menghela nafas lega. “Bagus deh kalo gitu. Biar kita nggak kecolongan kayak waktu Ardi diadopsi.”
“Oh ya, Vi, kayaknya Dena dalam waktu dekat mau dilamar sama Roni.”
“Serius? Mereka udah bilang sama kamu?”
“Belum sih. Tapi udah ada tanda-tanda. Soalnya Roni udah bicara tentang pernikahan.”
Tanvi terpikir, jika Dena menikah, berarti Indah sendiri yang akan mengurus panti. Lagipula meski baru sebentar berpacaran, nampaknya Roni dan Dena sudah serius.
“Kamu jangan khawatir, Vi. Lagipula adik-adik kita sudah SMP. Mereka bisa ngurus diri sendiri.”
Terdengar bel membuatnya kaget.
“Eh nanti kita lanjut ya, Kak Fal pulang. Salam sama adik-adik.” Ia memutuskan telepon dan beranjak membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, Fal tertegun.
“Sini aku bawain tasnya, Kak.” Tanvi mengambil tas kerjanya, dan masuk ke kamar.
Fal melirik meja makan yang ditata dengan lilin dan bunga. Kok suasananya jadi romantis begini?
Tanvi muncul lagi. Wangi parfum yang lembut menerpa hidung Fal.
“Ini ada apa?” tanya Fal datar.
“Aku diwisuda hari ini. Mama sama Nindy ikut ke acara. Makanya aku mau ngerayain sama Kakak.”
Fal terdiam menatap masakan di meja.
“Sekalian aku mau izin untuk ngelamar kerja.”
“Kenapa mesti izin? Itu kan urusan kamu.”
Tanvi menelan ludah. Sungguh ia harus sabar menghadapi makhluk satu ini. “Karena kita udah menikah. Aku wajib minta izin sama Kakak.”
Fal mendengus malas. “Kita menikah cuma karena salah paham. Aku nggak ada perasaan sama kamu. Kalau bukan gara-gara aku mabuk juga nggak bakalan kita nikah begini.”
Tanvi menunduk sedih.
Fal jadi sedikit tidak tega. “Ya udah, kamu boleh ngelamar kerja.”
Tanvi mengangkat kepala dan tersenyum kecil.
Fal mengeluarkan HP-nya. “HP-ku mati. Charge sana.”
“Iya Kak.” Tanvi mengambil charger dan menyambungkan ke stop kontak.
Diam-diam Fal memperhatikan Tanvi. Gadis itu terlihat berbeda. Rambutnya segi panjang yang halus. Kulitnya lebih cerah dan merona. Jelas gadis itu habis perawatan tubuh dan rambut, sehingga makin mempesona.
“Oh ya, besok aku tugas ke Bogor. Mungkin nginep. Jadi kamu boleh ke panti.” Ucapan Fal membuat Tanvi kaget.
“Serius, Kak? Aku boleh nginep di panti?”
“Iya.” Fal menyahut pelan, semoga Tanvi nggak curiga besok dia mau pergi sama Gwen. Walau ia sendiri tidak peduli, tapi ingin menjaga perasaannya saja.
Tanvi tersenyum senang. “Makasih, Kak. Oh ya, mau berapa hari di Bogor? Biar aku siapin bajunya.”
“Minggu juga udah pulang.”
“Oh oke, aku beresin bajunya.” Tanvi masuk kamar penyimpanan. Selain mengepak baju Fal, ia juga menyiapkan pakaiannya untuk menginap di panti. Akhirnya, tanpa ia meminta pun Fal yang menyuruhnya menginap di panti.
Fal terduduk di kursi makan, dan tercenung.
Melihat makanan yang tersaji, ia menelan ludah. Perutnya bergemuruh pelan. Setelah lihat-lihat, sepertinya Tanvi sedang sibuk packing barang. Tanpa buang waktu, ia menyendokkan nasi dan menikmati makanannya.
Diam-diam Tanvi mengintip suaminya yang makan lahap. Ada rasa bahagia menyusup di hatinya. Ternyata mudah untuk bahagia. Melihat suaminya menyukai masakannya saja rasanya sejuk.
***
“Ini berkas lamaran aku, Om. Kalau di perusahaan ada tempat buat aku.”
Om Tito menerima map dan tersenyum. “Pasti lah. Om akan pikirkan posisi yang tepat buat kamu.”
“Apa saja boleh, Om. Yang penting aku bisa kerja.” Tanvi balas tersenyum. “Kak Fal juga sudah izinkan.”
“Kamu sudah paham perusahaan keluarga kita bergerak di bidang apa?”
“Kosmetik.”
“Kalau Om berikan posisi di bagian pemasaran, apa kamu mau?”
“Mau, Om. Yang penting aku bisa belajar.”
“Baik kalau begitu. Om akan koordinasi dengan HRD.” Om Tito berdiri.
“Terima kasih, Om.”
“Sama-sama. Om tinggal dulu.” Om Tito berlalu.
Tanvi menghela nafas lega. Kalau di bagian pemasaran, dia tidak akan bertemu dengan Fal dan Farhan.
Fal menjabat sebagai Manager Finance, sedangkan Farhan sebagai Manager Personalia.
Awalnya dia tidak ingin melamar kerja di perusahaan keluarga, tapi ditegur oleh Mama, dan diminta untuk masuk perusahaan keluarga.
Yang penting, mereka beda divisi, dan jarang bertemu di kantor.
Tanvi mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Tapi ngomong-ngomong, Kak Farhan ke mana ya? Kok udah nggak pernah keliatan?
“Nyari Farhan?”
Ia tersentak, Fal sudah berdiri di belakangnya.
“Ngg…” Tanvi tidak berani mendongak. “Enggak kok.”
“Enggak usah bohong. Kamu masih cinta kan sama dia?” tembak Fal.
Tanvi tidak menjawab.
“Eh cucu-cucu Kakek, apa kabar?”
Kemunculan Kakek bikin mereka kaget.
“Alhamdulillah baik, Kek.” Tanvi yang menjawab.
“Bagaimana rasanya jadi pengantin baru?” pertanyaan Kakek mencekik mereka. “Kok tidak dijawab? Ada masalah?”
Fal langsung memeluk bahu Tanvi mesra membuat gadis itu kaget. “Oh enggak, Kek, asyik kok. Siapa yang nggak seneng sih nikah? Pagi siang malem diurusin. Ya kan, Sayang?”
Tanvi memaksakan tersenyum.
Kakek tersenyum. “Bagus. Kalian sudah merencanakan mau bulan madu ke mana? Eropa? Atau ke mana?”
“Ngg belum, Kek. Nanti kalau sudah ada tujuan, kami pasti beritahu Kakek.”
“Ya harus. Namanya pengantin baru harus bulan madu, supaya hubungan semakin harmonis.”
“Pasti, Kek. Fal akan cuti untuk bulan madu kami.”
“Kakek..” muncul Nindy tergesa-gesa.
“Kenapa, Nindy?”
“Kak Farhan udah dateng. Yuk kita ke depan, Kek.”
DEG!
Farhan?
“Ayo kita ke depan.” Kakek bersama Nindy berlalu.
Fal melepas pelukannya. “Jangan salah paham. Aku cuma nggak mau Kakek curiga pernikahan kita kayak gini.”
Tanvi tidak menanggapi. Karena rasa rindunya pada Farhan mengganggu pikirannya. Sudah sebulan lebih ia tidak bertemu cowok itu.
Begitu tiba di ruang tengah, ia melihat Farhan mengobrol dengan Papa dan Om Tito mengenai pekerjaan. Mantan pacarnya itu terlihat tampan seperti biasa. Namun terlihat lebih kurus dari terakhir mereka bertemu.
Tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Farhan. Mereka saling pandang dari kejauhan.
“Woy brother gue apa kabar? Ngilang aja lo!” seru Fal sambil berpelukan dengan Farhan.
Farhan menepuk-nepuk punggung Fal. “Gimana kabar pengantin baru nih?”
“Ah lo ngalihin topik!”
“Gue ngiri liat lo duluan married.”
Mereka tertawa bersama.
Namun Tanvi melihat Farhan memaksakan senyum. Matanya melirik-lirik ke Tanvi yang menunduk.
Ketika tiba-tiba muncul seorang gadis berambut ikal sebahu, perasaan Tanvi menjadi tidak nyaman.
“Ini Reva. Calon istri aku, Pa.”
Jlegeeerrr!!!
Tanvi merasa kepalanya pusing, lalu jatuh pingsan.
***
Ternyata Farhan sudah mempunyai calon istri yang akan dinikahinya dalam waktu dekat.
Dia tidak menyangka secepat itu Farhan mendapat pengganti dirinya. Dia dengar dari Nindy, Reva itu model salah satu produk kosmetik perusahaan.
Sungguh Tanvi sedih, harus melihat Farhan menikah. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ia tidak ingin merusak persaudaraan antara Fal dan Farhan.
Seandainya ingin bersikap egois, mungkin ia akan menemui Farhan dan menangis meminta dirinya jangan menikah.
Namun dia tidak bisa melakukannya.
Ini jalan yang harus ditempuhnya.
Melihat lelaki yang dicintai bersanding dengan wanita lain di pelaminan.
Tanvi tidak kuasa menahan tangisnya.
***
“Senyum dong, Kak. Ini kan hari bahagianya Kak Farhan.” Nindy menegurnya yang terus bersedih.
Nindy memang tidak mengetahui hubungan antara Tanvi dan Farhan sebelumnya.
Sejak acara ijab qabul tadi pagi, Tanvi menghindar dari keramaian, karena takut tidak bisa menahan diri untuk menangis.
Dan malam ini diadakan pesta di rumah, merayakan pernikahan Farhan dan Reva. Semua bergembira. Kecuali Tanvi tentunya.
Fal tidak mempedulikan istrinya yang bertingkah aneh, asyik mendekatkan diri dengan keluarga Reva yang datang dari luar kota.
Nindy sudah sibuk membereskan kado-kado pernikahan.
Tanvi tidak kuat melihat Farhan bersanding dengan Reva di pelaminan, ia langsung meninggalkan ruangan.
Dengan langkah lambat-lambat, ia menyusuri jalan setapak berbatu menuju taman. Ia yakin tidak ada yang datang ke sana. Di taman penuh bunga mawar, ia duduk di bangku taman sambil memandang langit penuh bintang.
Air matanya menitik.
Ia tidak habis pikir hubungannya dengan Farhan akan begini ending-nya.
Menyaksikan orang yang disayang bersanding dengan orang lain bukan hal mudah. Rasa sakitnya menusuk hati terdalam.
Andai ia masih punya orangtua, ada yang menghibur dan menguatkannya. Sungguh ia merindukan Bu Ratna yang senantiasa merawatnya dari kecil.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang membuatnya kaget dan menoleh. “Ka-Kak Farhan?”
Farhan menatapnya lekat. Lelaki itu terlihat tampan dengan jas pengantin hitam.
Tanvi mengalihkan pandangan dan menghapus air mata. Tak peduli riasan wajahnya rusak dan gaun pilihan Nindy jadi kusut. Jantungnya sakit mengingat lelaki di sampingnya sudah menjadi milik orang lain.
Untuk beberapa saat mereka duduk berdampingan, tanpa bicara.
“Kenapa Kak Farhan ke sini? Kalo ada yang liat kita, bisa-bisa salah paham.” Tanvi tidak berani memandangnya.
“Aku mau bicara sama kamu.”
Tanvi menggigit bibir dan menunduk.
“Tanvi,” suara Farhan bergetar, seakan berat mengatakannya. “Aku minta maaf, semua jadi begini. Karena kebodohan aku, kita berada dalam situasi rumit yang ngehancurin perasaan kita masing-masing. Tapi kamu harus tau, bukan ini yang aku inginkan. Situasi yang memaksa kita, pada akhirnya, harus menikah dengan orang lain.”
Air mata Tanvi bergulir turun. Berusaha menahan sakit.
“Jujur, saat ini, sampai detik ini, aku masih sayang kamu, Tanvi.” Pengakuan Farhan membuat ia makin sulit melepaskan lelaki itu.
“Aku harus berbuat apa, Kak?” Tanvi menutup mulutnya, tenggorokannya terasa tercekik. “Aku sayang banget sama Kak Farhan, tapi kenapa harus begini?”
Farhan memandangnya sedih dan menarik nafas berat. “Ini nggak mudah untuk kita. Tapi, aku harap kita bisa belajar ikhlas dan menerima semuanya. Kita udah punya kehidupan masing-masing.”
Tanvi terisak tidak sanggup menatapnya.
“Kita saling sayang, tapi tidak bisa saling memiliki. Mungkin ini yang terbaik. Kita harus lupakan perasaan kita masing-masing. Mulai sekarang, kita harus jalani hubungan sebagai saudara ipar.”
Tangis Tanvi pecah, ia menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia kesulitan mengendalikan nafasnya. Rasanya ada bongkahan besar menyumbat tenggorokannya. Ini hal yang ditakutinya. Harus kehilangan orang yang dicintai.
Farhan menahan sakit di dadanya. Ia meraih tangan Tanvi.
Mereka berdiri berhadapan.
Namun Tanvi tidak berani menatapnya.
“Aku percaya, kamu bisa. Yang perlu kamu tau, ini juga sulit buatku. Tapi kita pasti bisa. Aku sudah punya istri. Kamu pun sudah menjadi istri Fal. Kita harus janji, untuk menjaga keutuhan rumah tangga masing-masing. Aku percaya, kamu bisa lupain aku dan mulai mencintai suami kamu. Jangan terpengaruh dengan perasaan yang ada diantara kita. Karena aku percaya, ini yang terbaik untuk kita. Kamu mau janji?”
Farhan mengulurkan jari kelingkingnya. Kebiasaan mereka saat pacaran.
Tanvi memalingkan wajah sambil menggigit bibirnya kuat-kuat.
“Please.” Farhan pun berat mengatakannya.
Tanvi menelan ludah dan menarik nafas berat. Tangannya bergetar hebat ketika mengulurkan jari kelingkingnya. Begitu jari mereka bertautan, Farhan memaksakan tersenyum.
“Fal mungkin keras kepala, tapi dia sebenarnya baik. Janji untuk setia sama suami kamu?”
Tanvi mengangguk pelan sambil terisak.
Tangan Farhan satunya membelai kepala Tanvi, hal yang selalu dilakukannya untuk menenangkan gadis itu.
Lalu Farhan menariknya dalam pelukannya.
Dalam pelukan Farhan, tangis Tanvi pecah.
Farhan mempererat pelukannya sambil menahan sakit hatinya.
Diam-diam, Fal menyaksikan kejadian itu dari sudut tertentu. Fal menarik nafas panjang dan berbalik pergi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments