Terima Kasih Cinta - Bagian 2

“APA?!!!”

Tanvi sudah menduga reaksi saudara-saudaranya bakal begini.

“Semua pergokin kamu sama sepupunya Kak Farhan tidur bareng, dan nyuruh kalian nikah?!” Dena tidak percaya.

“Bukan, Den!” Tanvi meremas kepalanya sendiri, frustasi. “Kak Fal itu mabuk dan salah masuk kamar Kak Farhan. Dia nggak sadar ada aku di sana. Dan akhirnya, semua menduga kami udah ngelakuin ‘itu’. Karena Kak Fal nggak inget kejadian semalam.”

“Kamu nggak inget semalam dia apa-apain kamu?” Indah memastikan. “Mungkin nggak terjadi apa-apa antara kalian.”

“Aku nggak tau, Ndah. Semalam aku tidur nyenyak banget. Kamu kan tau akhir-akhir ini aku kurang tidur.”

“Oh iya kita juga ketemu cowok itu kan, Ndah?” Dena teringat.

“Kalian udah ketemu?” tanya Tanvi.

“Oh iya iya, yang kemaren mobilnya nabrak pagar kan?” Indah baru ingat. “Ya ampun, kok jadi begini?”

“Trus kamu nggak ngebela diri, gitu?”

“Nggak ada gunanya, Den. Kakeknya itu keras kepala. Baginya yang terjadi nggak perlu ada penjelasan.”

“Lalu Kak Farhan?”

Tanvi sedih mengingat ekspresi putus asa Farhan begitu Kakek memutuskan dirinya harus menikah dengan Fal.

“Harusnya kamu menikah sama Kak Farhan.”

“Eh Dena, Tanvi juga maunya sama Kak Farhan. Tapi situasinya sekarang dia harus nikah sama Kak Fal. Ini pasti berat buat Tanvi, karena dia cinta sama Kak Farhan.”

Sungguh Tanvi ingin berbicara berdua saja dengan Farhan. Tapi laki-laki itu malah menjauh. Bahkan Farhan menyuruh supir mengantar Tanvi pulang ke panti. Padahal Farhan tidak pernah membiarkan Tanvi diantar supir.

***

Minggu pagi yang cerah, Tanvi dan anak-anak bergotong royong membersihkan rumah dan halaman.

Semua ceria, kecuali Tanvi tentunya.

Sudah 2 hari Farhan tidak ada kabar. HP-nya off. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Farhan. Yang ia inginkan Farhan percaya padanya.

Sedangkan Tante Jihan, ibunya Fal, menghubunginya ingin bertemu.

Sungguh tidak terpikir akan terjerumus hal rumit ini.

Saking ruwet pikirannya, ia tidak sadar air yang disiram pada pot tanaman kepenuhan sampai meluap. Ia melamun, sampai tidak sadar ada yang berdiri di belakangnya.

“Kalo kayak gini, rumah kamu bisa banjir, Vi.”

Tanvi kaget setengah mati. “Kak Farhan?!”

Farhan mengambil selang air dan mematikan kerannya.

“Kakak ke mana aja? HP Kakak off terus. Kakak marah sama aku?” Tanvi menatapnya sedih.

Farhan tidak menjawab, malah melihat-lihat ke arah lain. “Ikut aku yuk.”

“Ke mana?”

“Nanti juga kamu tau.”

Sikap Farhan berubah dingin. Ia pun tidak mengerti mengapa Farhan tidak membelanya.

***

“Kenapa Kakak ngehindarin aku?” tanya Tanvi begitu mobil berhenti di pinggir danau.

Farhan mengetuk-etuk jari pada stir. “Karna nggak ada gunanya.”

“Maksud Kakak apa?”

“Situasinya udah berubah, Vi. Keluarga aku udah tau hubungan kita. Dan itu memperburuk keadaan, mereka nggak percaya kamu dan Fal nggak berbuat apa-apa.”

Tanvi menggeleng. “Kak, walau saat itu aku tidur, tapi aku yakin hal itu nggak terjadi. Aku baik-baik aja.”

“Tanvi.” Farhan menatapnya serius. “Aku percaya sama kamu. Tapi aku nggak bisa percaya sama Fal. Aku kenal dia dari kecil. Sifatnya, kebiasaannya. Kalau udah mabuk suasana hatinya memburuk. Selalu ada perempuan ketika dia sadar dari mabuknya. Dalam kondisi begitu, aku susah percaya kalo dia bilang nggak ngelakuin apa-apa sama kamu.”

“Trus salah aku apa, Kak?” Tanvi mulai menangis. “Kakak yang bawa aku ke sana. Dan aku nggak kenal sama Kak Fal, kenapa mesti aku yang…?”

Farhan tidak tega dan memegang tangannya. “Please jangan nangis. Aku yang salah. Jelas-jelas aku tau Fal mabuk, malah ngebiarin dia masuk rumah sendiri.”

“Lalu? Kenapa Kak Farhan nggak belain aku?”

“Kamu pikir aku diem aja? Aku mati-matian belain kamu, tapi nggak ada gunanya. Semua lebih percaya yang dilihat daripada pembelaan.”

“Kalau itu semua salah paham, apa Kakak nggak bisa bantu aku menjelaskan? Kalau perlu, aku bisa visum untuk membuktikan aku nggak pa-pa.”

“Maaf ngecewain kamu. Aku udah coba mengusulkan itu sama keluarga. Agar kamu divisum. Tapi semua menyaksikan kalian di tempat tidur yang sama. Pembelaan apapun nggak ada gunanya. Semua udah terjadi. Nggak ada yang bisa menentang keputusan Kakek. Kakek itu keras kepala. Keputusannya tidak bisa bisa diganggu gugat. Demi nama baik keluarga kami, keputusan Kakek sudah mutlak. ”

“Jadi?”

Dengan berat hati, Farhan memejamkan mata. “Kamu harus menikah dengan Fal.”

Tubuh Tanvi terhempas lemas. “Aku nggak nyangka, ini hadiah kelulusan yang Kak Farhan janjikan ke aku?”

Farhan tidak berani memandang Tanvi, ia pun terpukul harus memutuskan hal yang pasti menyakitinya.

“Jawab, Kak!”

“Ya!” Farhan menatapnya tajam. “Ini hadiahnya.”

Tanvi tidak menyangka Farhan sebegitu mudah menyerah. Tanpa bicara, ia keluar mobil dan berlari pergi.

Farhan meremas stir mobil, dengan penuh emosi.

Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya.

Jantungnya sakit mengingat ekspresi kecewa Tanvi. Ia menatap cincin yang berkilauan. “Ini hadiahku sesungguhnya. Tapi nggak ada yang bisa merubah keadaan. Yang harus aku lakukan sekarang cuma melupakan kamu, Tanvi. Melupakan cinta kita. Dan melupakan mimpiku untuk menikahi kamu. Semoga kamu nggak benci sama aku.”

Ia keluar dari mobil dan melempar cincinnya ke danau.

***

Acara ijab qabul berlangsung lancar. Pesta pernikahan sederhana diadakan di rumah, hanya dihadiri kerabat dekat.

Selama itu pula Tanvi tidak bicara sepatah katapun.

Bahkan ketika foto keluarga, ia tidak tersenyum.

Begitu juga Fal.

Farhan tidak terlihat. Menurut pembicaraan, Farhan ke luar kota untuk pekerjaan. Tapi sesungguhnya Farhan tidak tahan melihatnya bersanding dengan lelaki lain di pelaminan.

“Meski pernikahan ini tidak seperti harapan, tapi kamu sudah jadi menantu kami. Jadi, tolong urus Fal baik-baik.” Tante Jihan, Mama mertuanya, tersenyum tulus.

Tanvi tidak menjawab hanya menunduk.

Papa memeluk Fal yang diam saja. “Ini hadiah dari Papa. Apartemen tempat tinggal kalian. Kalian kan pengantin baru. Butuh waktu untuk saling mengenal. Jadi Papa, Kakek, dan Om Tito memutuskan kalian akan tinggal berdua saja. Hitung-hitung belajar untuk mandiri.”

Fal menerima kunci apartemen. “Terima kasih, Pa.”

“Tanvi, Papa titip jaga Fal baik-baik.”

Tanvi tersenyum kecil. “Baik, Pa.”

Begitu semua pergi, tinggal mereka berdua.

“Ini cuma salah paham, kenapa kamu nggak nolak pernikahan ini?” tanya Fal pelan, hingga cukup Tanvi yang mendengar.

“Aku bisa ajuin pertanyaan yang sama ke Kakak.” Tanvi membalas pelan, tanpa menoleh. “Kenapa Kak Fal menerima pernikahan ini?”

“Itu bukan keinginanku.”

“Sama. Itu juga bukan keinginanku. Kita cuma terjebak sama situasi rumit dan nggak bisa menolak.”

Fal mendengus kesal.

***

“Dena, Indah, aku minta maaf, harus ninggalin panti. Kalian tau aku nggak suka situasi ini. Ninggalin kalian jelas berat buatku.” Tanvi tidak bisa menahan air matanya, tanpa peduli riasan pengantinnya berantakan.

Dena dan Indah menatapnya kasihan. Mereka tahu betul Tanvi tidak bahagia di hari yang harusnya membahagiakan.

“Vi, kita emang kaget. Karena ini terlalu cepat kamu harus pergi. Semoga ini yang terbaik.” Dena mencoba ikhlas.

Indah memeluk Tanvi sedih. “Walau sulit kami urus panti tanpa kamu, tapi Insya Allah kami sanggup. Sekarang kamu udah punya kehidupan sendiri.”

“Demi Allah, Indah… bukan mau aku ninggalin kalian.” Tanvi terisak dan melepas pelukannya. “Kalian lebih tau hatiku ini ada siapa. Tapi sekarang, aku…” Tanvi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Mereka bertiga berpelukan sambil menangis.

“Kita bakal kangen kamu, Vi.”

“Aku juga.”

“Kalo ada waktu, sempetin nengokin kita di panti ya.”

Tanvi mengangguk.

“Neng Tanvi..”

Tanvi kaget dan menoleh. “Eh Mang Aduy.”

Pembantu rumah Farhan memanggilnya.

“Dipanggil sama Nenek. Ditunggu di kamarnya, Neng.”

“Oh iya Mang, terima kasih.”

Begitu Mang Aduy pergi, Tanvi menatap dua saudarinya. “Kalian mau pulang sekarang?”

Indah mengangguk. “Ada banyak yang mesti kita urus.”

“Kalo ada kesulitan, aku siap bantu kok. Kalian baik-baik ya sama adik-adik.”

Setelah berpamitan dengan adik-adik panti, Tanvi bergegas masuk menuju kamar Nenek.

***

“Nenek ingin tau silsilah keluarga kamu, Nak.”

Tanvi terdiam sejenak. “Aku dibesarkan di panti, Nek.”

Nenek mengerutkan dahi, dan memijit-mijit kepalanya. “Sepertinya Tito pernah mengatakan sama Nenek. Mungkin Nenek lupa. Bagaimana ceritanya?”

“Waktu aku masih bayi, aku ditinggal di panti. Cuma ada kertas berisi namaku aja, Nek. Setelah itu, aku mencoba cari tau siapa orangtuaku, tapi nggak berhasil.”

Nenek menghela nafas paham. “Begitu ya.”

Tanvi hanya menunduk, tidak tahu harus bicara apa.

“Apa kamu sayang sama Fal, cucu Nenek?”

Pertanyaan Nenek membuat Tanvi bingung. Jawabannya sudah jelas, ia tidak mengenal Fal bagaimana bisa memiliki perasaan itu.

“Nenek paham, pernikahan ini bukan yang kamu inginkan. Tapi apapun itu, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Nenek. Nenek ingin kamu beradaptasi dan mengenal seluruh keluarga.”

Tanvi hanya meremas-remas baju pengantinnya, resah.

Kemudian Nenek menjelaskan, Papanya Farhan adalah kakak dari Mamanya Fal. Mereka dua bersaudara. Farhan anak tunggal, sedangkan Fal mempunyai adik perempuan yang kuliah di Malaysia. Farhan dan Fal seumuran, dan menjadi teman main sejak kecil. Sejak 6 bulan terakhir mereka semua tinggal di rumah Farhan. Karena Kakek yang menginginkan semua anak cucu dan menantu tinggal bersama.

Mengenai pindahnya Fal dan Tanvi ke apartemen pun sempat menjadi perdebatan. Karena Tante Rima ibunya Farhan, dan Mama Jihan menginginkan mereka tinggal di rumah. Tapi mengingat pernikahan mereka cukup terburu-buru, dan belum saling mengenal juga, akhirnya disepakati Fal dan Tanvi boleh tinggal di luar.

“Fal mungkin keras kepala, tapi sebenarnya baik. Nenek harap, kalian bisa akur ya.”

Tanvi menitikkan air mata, dan memeluk Nenek.

Nenek mengusap kepalanya, lembut. “Meski kamu tidak dihadapkan dua pilihan, tapi kamu harus ikhlas. Insya Allah kalian akan menjadi keluarga yang sakinah.”

Pintu terbuka. Tanvi melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air matanya.

Fal masih memakai jas pengantin memandang mereka. “Nek, kami pergi dulu.”

Nenek menatap mereka. “Nggak mau nginep di sini?”

“Enggak, Nek. Lagipula kamar Fal dipake sama Nindy.” Fal menyebut adik semata wayangnya.

Tanvi tersenyum. “Aku pergi, Nek. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Kalian jaga diri ya, Nak. Jangan lupa datang ke sini. Nenek pasti kangen sama kalian.”

Fal dan Tanvi keluar kamar Nenek.

“Semua barang udah dikirim ke apartemen sama Papa.” Fal berkata tanpa menoleh, tanpa senyum.

Tanvi diam saja.

“Kalian baik-baik ya di sana. Harus akur. Saling menjaga,” pesan Mama.

Pak Tito yang sekarang menjadi pamannya, menepuk bahu Tanvi. “Kamu tidak perlu khawatir tentang panti. Om pasti akan membantu.”

“Terima kasih, O-om.” Tanvi masih canggung.

Papa berpelukan dengan Fal. “Jaga istrimu baik-baik.”

Fal hanya tersenyum kecil.

“Hati-hati ya, Kak. Kak Fal suka ngorok kalo tidur,” sahut Nindy membuat semua tersenyum. Nindy memang selalu mencairkan suasana tegang di keluarga sebagai satu-satunya anak perempuan.

“Oh ya, Kak Tanvi, ada koper hijau dari Nindy. Isinya hadiah. Nanti dibuka ya.” Nindy mengedipkan mata nakal.

Tanvi tersenyum kecil. “Terima kasih ya, Nindy.”

“Ayo. Nanti kita kemalaman.”

Semua melepas kepergian mereka berdua.

***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!