Kemudian Ibu pergi entah kemana meninggalkan aku sendirian tanpa seorang kawan hingga malam pun tiba.
Aku menoleh jam dinding yang sudah kusam yang sengaja dipasang di ruang depan, ia seolah menunjukkan kepadaku kalau malam sudah sampai dititik jam sembilan.
Aku sempat keluar menanti Ibu di halaman gubuk, menatap jalan berharap dari jauh sosoknya terlihat.
Tapi sayangnya Ibu belum juga kembali.
Langit tampak muram berawan tebal seperti akan segera turun hujan, paduan suara jangkrik yang berderik bersama, belum lagi suara katak sawah yang saling bersahut-sahutan seraya terus memanggil hujan, angin semilir yang menembus dinding gubuk dengan penerangan yang seadanya hanya memakai lampu semprong menambah suramnya malam bagiku
Malam ini aku tetap menunggu Ibu di ruang depan, biasanya kalau sudah jam segini aku dan Ibu sudah tidur bersama di kamar.
Tapi kali ini aku hanya sendirian merebahkan tubuhku sambil terus menatap pintu berharap Ibu masuk karena memang pintu gak pernah dikunci
Tapi
Ibu gak kunjung datang
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat celah bilik bambu seolah memberi alarm padaku sudah saatnya aku bergegas ke sekolah, pelan-pelan aku membuka kelopak mata yang masih berat, rasa malas dan ngantuk yang masih tersisa seolah menahanku untuk kembali tidur saja
Aku belum beranjak bangun tapi kemudian melihat sisi bahuku yang rupanya Ibu benar-benar gak ada disampingku
Aku menghela nafas dalam-dalam lalu beranjak bangun untuk mandi. Tapi saat aku bergegas mandi rupanya Ibu ada di belakang gubuk yang kami sebut, dapur. Ia sedang membakar tempe untuk makan pagi seperti biasanya
Aku melihatnya duduk membelakangiku, dia sedang berhadapan dengan tungku tanah liat buatannya sendiri
"Ibu kapan pulangnya, aku kok gak tau ?" tanyaku seraya berbicara kepada punggungnya
Tanpa menolehku Ibu menyahut datar "Ibu pulang tengah malam, lebih baik kamu siap-siap untuk berangkat ke sekolah" jawabnya
Tanpa menjawabnya aku langsung mandi dan mengganti pakaianku dengan seragam yang sebenarnya harus terpaksa aku pakai lagi. Kalau bisa aku gak perlu ke sekolah lagi karena di sana aku hanya jadi bahan tertawaan para temanku.
Setelah lengkap dengan tas berisikan satu buku tulis dan pensil, Ibu memberikan aku nasi putih dan sepotong kecil tempe bakar.
"Ini makan " perintahnya lalu meletakkannya dihadapanku yang sudah duduk bersila
Aku meraih piring plastik yang sudah berisikan sarapan yang selalu itu saja setiap pagi lalu memakannya dengan lahap meskipun nasi yang aku makan sangat kering.
"Habiskan" ujar Ibu
Aku mengangguk "Iya Bu" jawabku
Setelah pamit dari Ibu untuk pergi ke sekolah akhirnya aku kembali berjalan mengitari pesawahan, berjalan pelan-pelan setapak demi setapak menghindari cangkang keong mas yang sudah kering dan rapuh, karena alas sepatuku sudah menipis
Biasanya para petani disini memang sengaja pecahkan keong mas di tepi sawah karena dianggap sebagai hama padi mereka.
Akhirnya aku sampai di jalan yang biasa dilalui kendaraan, jalan yang aspalnya sudah rusak berlubang penuh dengan kerikil seolah memanggilku untuk tetap pergi ke sekolah.
Tapi ditengah perjalanan tiba-tiba saja aku mengurungkan niat untuk kesana. Aku malah berbalik badan karena didalam pikiranku aku lebih tertarik untuk pergi ke sungai yang berada didalam hutan yang gak jauh dari jalan.
Meski tanpa direncanakan sebelumnya tapi aku terniat sekali untuk bermain air di sana meskipun tanpa kawan seorangpun.
Sungai disana memang gak sering ramai tapi gak sepi juga. Karena beberapa warga pun ada yang ke sana sekedar mencuci, mandi atau mengambil air bersih. Aku tau karena Ibu pernah mengajakku sekali ke sana dan pagi ini adalah kali pertama aku datang sendiri
Sebenarnya dari hati kecil aku yang paling dalam, aku agak sedikit ragu untuk pergi karena mungkin aja aku justru akan bertemu dengan orang-orang yang melontarkan perkataan kasar padaku
Tapi karena aku sudah merasa gak bersemangat untuk berangkat ke sekolah akhirnya aku putuskan untuk tetap pergi ke sungai.
Sesampainya di sana aku diperlihatkan pemandangan lima orang Ibu yang sedang mencuci, mereka saling bercerita, bergurau dan tertawa bersama. Suasana yang sangat ceria tapi tiba-tiba hening ketika mereka melihatku datang
Aku masih berada dipinggiran sungai, masih diam berdiri menghadap mereka. Aku takut untuk mendekat kepada mereka
Dan benar aja
Seorang Ibu tua mengusirku "Hush...sana...pergi..pergi !" usirnya, bagai mengusir binatang
Mendengarnya begitu aku malah mematung, berdiri menatap mereka. Mau pergi tapi rasa kaki seperti sudah terpaku
Seorang Ibu lainnya melempar batu kecil ke arahku meski gak sampai mengenaiku
"Pergi sana !"
Seorang lainnya menyiramkan air ke arahku meski gak mengenai
Dia juga mengusirku "Pergi..pergi !" ujarnya
Jantungku berdebar melihat sikap mereka, akhirnya aku berbalik badan dan bergegas melangkah pergi
Aku berlari dengan hatiku yang hancur
Tapi
Belum juga jauh dari sungai
Aku malah berhadapan dengan Ibu yang baru saja datang membawa jerigen lima liter yang sudah berubah kuning kecoklatan
Ibu kaget melihat keberadaanku, tapi aku lebih panik melihatnya tepat dihadapanku
Sontak aja Ibu marah padaku "Ngapain kamu ke sini ?" tanyanya.
Meski raut wajahnya gak seperti orang marah tapi nada ucapan dan raut wajah datarnya cukup membuat aku gemetar
Aku masih diam, bingung mau jawab apa dan hanya bisa menengok ke kanan ke kiri
"Kamu jawab !" tanyanya lagi
Aku masih diam belum sanggup menjawab
Dalam bersamaan seorang Ibu yang sudah selesai mencuci dengan membawa ember cuciannya berhenti dihadapan kami, sebelum dia pergi melewati kami dia masih sempat mencibir
"Bu, anaknya tuh diajarin bukannya sekolah malah lari ke sungai. Bikin sungai sial aja " cibirnya
Mendengarnya Ibu naik pitam lalu memarahi Ibu jahat itu dengan menunjuk-nunjuk wajahnya "Ibu jangan sembarang kalau ngomong ya !" kesalnya
Ibu jahat itu tertawa kecil "Saya mana sembarangan ngomong Bu, semua warga sini juga tahu kalau nih anak hasil kutukan setan!" ucapnya
Mendengarnya amarah Ibu makin meluap lalu menampar pipi Ibu jahat itu.
Plakkkk!
Ibu jahat langsung gak terima lalu berusaha memukul balik Ibu tapi gak kena karena Ibu cepat menangkisnya.
Karena mereka terdengar sangat rusuh akhirnya semua Ibu yang ada di sunga menghampiri kami lalu melawan Ibu dengan perkataan-perkataan kasar yang membuat Ibu semakin kalah
"Dasar janda miskin !"
"Anak sial !"
"Keluarga sial !"
"Anak hasil kutukan setan !"
Akhirnya dengan sakit hati dan kecewa Ibu menarik tanganku dengan paksa untuk pulang.
Sepanjang jalan Ibu memarahiku dengan perkataan kasar meski tangannya masih menuntun tanganku sambil melangkah dengan tergesa-gesa
"Kamu kalau di suruh sekolah harusnya kamu sekolah kenapa kamu malah ke sungai !" ucapnya masih terus menarik tanganku dan berjalan cepat-cepat
Lalu dia berhenti dan menatapku dalam-dalam, matanya merah berair terlihat jelas ia menahan air mata kecewanya supaya gak jatuh dihadapanku
Dia berhenti hanya untuk memarahiku dengan nada yang keras
"Kamu itu menyusahkan saya, kenapa kamu gak pernah nurut apa kata saya. Saya ini Ibu kandungmu yang melahirkanmu, yang membesarkanmu. Kenapa kamu gak sekolah. Hah ! jawab !"
Aku masih terpaku menatapnya
Tapi itu yang membuat Ibu semakin naik pitam lalu menampar pipiku
Plaakk!
Tamparan pertama kalinya mendarat dipipiku, tanpa sadar air mataku jatuh berhamburan
Tapi Ibu terlihat gak peduli dan masih terus memarahiku
"Seharusnya kamu mati saja sejak awal !" ketusnya lalu pergi meninggalkanku sendirian.
Meski begitu dari kejauhan aku masih melihat Ibu berjalan di depanku dan aku tetap mengikutinya pulang
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
rien@
ya Allah,,,ada ya ibu yg bgtu,,kasihan nasib bu dra,,,sabar ya,,lanjut ka thor,,,
2022-03-26
1
Veri Darmawan
lanjut ka
2022-03-02
1
💎hart👑
Perkataanmu membuatku sedih bu... Vote buat andhira...
Lanjut kak Rewinti, semangat trs
2022-02-26
1