Sudah seminggu lebih dua hari aku dan Ibu memutuskan tinggal di rumah Nenek. Di rumah yang sederhana ini aku merasakan lebih tentram hidup bersamanya.
Bahkan aku juga merasakan sikap dari warga desa ini gak ada satu pun yang mencibirku mungkin karena mereka sangat segan kepada Nenek. Terlepas dari alasan itu, aku belum merasakan perlakuan yang menganggapku asing dari mereka.
Hari ini jam dua siang, dan sampai hari ini aku juga gak masuk sekolah sejak tinggal bersama Nenek karena Ibu memang sengaja berencana untuk memindahkan aku ke sekolah lain. Tapi aku belum tahu di mana sekolah lain itu, apakah kesannya sama saja atau lebih memandangku sebagai manusia normal
Diterik matahari yang beratapkan daun-daun lebat pohon mangga yang belum berbuah, ia menjadikan panas menjadi teduh. Membuat aku dan Nenek merasa nyaman duduk bersama di atas bale bale bambu
Siang ini aku dan Nenek duduk bersama di halaman belakang rumah.
Ya, hanya kami berdua saja.
Aku menyukai belakang rumah Nenek karena ada kebun kecil buatan Nenek dan ada juga bale bale untuk bersantai.
Dihadapan kami ada cobek batu berisikan cermai yang Nenek petik barusan langsung dari pohon yang dia tanam sendiri. Cermainya memang terlihat besar-besar tapi tetap saja masam
Rupanya Nenek berinisiatif membuatkan aku rujak tumbuk cermai.
Nenek masih menumbuk cermai dengan tiga cabai rawit hijau. Itu permintaanku supaya gak terlalu pedas nantinya.
Tapi rupanya sejak tadi Ibu mencari kami sampai akhirnya Ibu menemukan kami yang terlihat sibuk membuat hidangan bersantai
"Ya ampuun, aku cariin rupanya kalian ada di sini" ucapnya sambil berdiri dibalik punggung Nenek yang masih menumbuk dengan perlahan.
Tapi Nenek seolah gak menghiraukan Ibu meski dia menyadari ada Ibu dibelakangnya.
Meski begitu, Ibu juga tetap berdiri dibaliknya.
Suaranya kini berubah seolah tertahan dan pelan
"Bu ?" panggilnya dengan suara yang kecil. Seperti takut mengutarakan suatu hal
Tanpa menoleh Ibu, Nenek menjawab dengan suara dari tenggorokannya "Mmmm"
Tapi kini suara Ibu semakin pelan dan gemetar "Aku mau menikah lagi" ucapnya sertamerta
Mendengarnya, tangan Nenek tiba-tiba saja berhenti menumbuk seolah sejenak memikirkan hal lain. Nenek memandang tumbukan Cermai yang semakin hancur dalam cobeknya.
Tapi kali ini ia membalikkan badannya dan menatap Ibu dalam-dalam tanpa raut wajah yang menyiratkan kebahagiaan.
Nenek hanya diam dan kedua bola matanya yang masih awas itu terus memaku pandangan Ibu
Melihat sikap Nenek begitu, raut wajah Ibu seakan gak yakin akan direstui.
Ibu jadi salah tingkah.
Bahasa tubuhnya semakin dia perlihatkan kalau dia sebenarnya malu mengungkapkan itu.
Tapi akhirnya Nenek mulai tersenyum kecil "Dengan siapa ?" tanyanya
Meski begitu Ibu masih terlihat gugup, dia gak berhenti memainkan kedua tangannya dengan terus melintir jari-jarinya
"Dari desa sebelah dekat kota, Bu" jawab Ibu
Tapi justru Nenek menolehku lalu tangannya meraih cobek dan menyodorkannya pada Ibu
"Ini, cobain cermai tumbuk buatan Ibu. Dulu waktu kamu masih gadis, kamu suka sekali membuat ini" ucapnya
Ibu hanya tersenyum dan gak mencoba sama sekali, aku bisa merasakan kalau berita bahagianya barusan malah digantung oleh Nenek.
Mungkin Ibu berharap Nenek akan sumringah mendengar kabar baik ini.
Pukul sembilan malam aku dan Nenek masih menonton televisi sementara Ibu duduk membisu sendirian dibangku teras.
Ibu melamun bertopangkan dagu menatap langit hitam berbintikkan bintang-bintang, meski udara malam ini sangat dingin tapi Ibu sanggup menahannya.
Tapi rupanya Nenek menyadarinya, ia menoleh Ibu dari balik jendela lantas menyuruhku untuk istirahat lebih dulu
"Dhira, kamu tidur ya. Sudah malam" ucapnya
Tanpa menjawab apa-apa, aku langsung menurut lalu bergegas untuk tidur.
Setelah aku masuk ke dalam kamar barulah Nenek menghampiri Ibu yang masih merenungi nasibnya.
Nenek duduk di kursi rotan yang ada disebelah Ibu, diantara mereka ada meja rotan dan segelas kopi Ibu yang masih penuh tapi sudah dingin.
"Apa kabar dengan suamimu ?" tanyanya pada Ibu
Ibu menoleh sebentar pada Nenek lalu menatap langit kembali, rasanya mau menjawab tapi malas untuk membahas laki-laki yang sudah mencampakkannya dan membuatnya hidup menderita.
Akhirnya Ibu gak mau menjawab sepatah kata pun
Tapi Nenek tetap begitu "Apakah suamimu sehat ?" tanyanya lagi
Tapi akhirnya Ibu kesal juga dengan pertanyaan yang seolah mengembalikan luka hatinya
"Bu, apa Ibu bisa gak bertanya tentang dia ?" ucapnya dengan lirih. Kedua matanya merah berair tapi masih dia tahan.
"Kenapa ? Bukannya dia adalah laki-laki yang pernah kamu dambakan ?"
Akhirnya air mata Ibu pecah berhamburan
"Bu, apa aku harus berkata kalau aku lah yang paling salah ?" ucapnya
"Menurutmu bagaimana ?" tanya Nenek lagi
"Aku gak tahu kalau dia seperti itu, aku hanya tahu kalau dia orang baik" ucap Ibu
"Jadi menurutmu dari semua warga di desa ini apakah baik semua ? Kalau mereka baik kenapa kamu gak memaksakan diri untuk menikah dengan semua orang di kampung ini ?" tegas Nenek
"Ibu ngomong apa ? Aku gak paham maksud Ibu"
"Kamu memberikan kabar kalau kamu akan menikah lagi. Lalu apa yang kamu lihat dari laki-laki itu ?" ketusnya
"Dia baik" jawab Ibu cepat
Nenek tertawa kecil dengan diakhiri nada yang mengejek
"Baik. Semua kamu bilang baik. Kambing pun kalau bisa menggodamu pasti kamu akan menikahinya juga, kan" cibir Nenek
Mendengar cibiran Nenek seperti itu, lantas Ibu murka.
Suaranya meninggi dan serak seolah membentak Nenek dan gak bisa menerima ucapan Nenek yang sudah terlalu parah baginya
"Ibu gak pernah tahu rasanya jadi aku, Ibu hanya bisa menilai dari semua kesalahan aku !" ucapnya
Tapi Nenek malah menimpalinya dengan kalimat yang kembali menohok hati Ibu
"Apa kamu pernah merasakan apa yang Ibu rasakan ? Apa kamu pernah merasakan yang anak kamu rasakan ?" tanya balik Nenek
Mendengar Nenek berkata seperti itu, Ibu langsung terdiam. Nafasnya cepat dan air matanya mengalir tak kunjung usai
Sementara Nenek masih dengan tenang dan terus saja menyudutkan Ibu
"Sebelum kamu benar-benar menikah dengan laki-laki barumu itu. Apa kamu yakin dia akan membawamu ke dalam kebahagiaan ?" tanya Nenek
Tapi Ibu gak menjawabnya, meski Nenek terus menerus menimpalinya dengan kalimat yang terus menyinggung Ibu
Nenek terus saja bicara "Lihat nasib Dhira, dia gak seperti anak lainnya. Dia kurang gizi, bajunya kotor, rambutnya kusut, dan sekarang gak sekolah lagi, tubuhnya penuh bintik-bintik sampai semua orang menganggap dia anak hasil kutukan. Apa kamu sebagai Ibunya memikirkan itu ? Tapi kenapa kamu hanya memikirkan pernikahanmu saja ?"
Kemudian Nenek bangkit dari duduknya dan sebelum dia meninggalkan Ibu untuk ke dalam rumah, Nenek masih saja bicara tapi kali ini dengan nada yang pelan
"Bawa laki-laki itu ke sini. Ibu mau mengenalinya. Tapi kalau Ibu gak suka, tolong jangan memaksakan diri untuk tetap bersamanya. Ingat, kamu ini anak manusia bukan binatang yang hanya memikirkan hawa napsu saja" tutupnya
Setelah Nenek bicara seperti itu, ia melangkah pelan masuk ke dalam rumah. Sementara Ibu masih saja menangis.
Sepertinya kalimat Nenek cukup tajam menyayat hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
💎hart👑
👍👍👍 nek... lanjut lagi kak.. Jan lama2 ya😁✌️
2022-04-07
1
rien@
ayoo ka semngat,,usahain tiap hari up ya ka,,like prtama vote meluncur,,,
2022-04-07
1