Langit masih terang kira-kira jam satu siang, seorang gadis kecil yang masih berpakaian seragam putih merah dan membawa tas sekolahnya berlari cepat-cepat ke arah pohon rindang berdaun banyak. Tubuhnya yang mungil itu bersembunyi dibalik badan pohon yang besar dan tua. Dia gemetar ketakutan, kedua matanya merah dan berair selalu awas pada serangan batu kerikil yang menghantam tubuhnya. Meski begitu dia sudah gak peduli dengan air mata yang berderai dipipinya, bagai sudah terbiasa menangis dalam cerita harinya.
Siang-siang bolong dijalan menuju pulang ke rumahnya, di jalan tanah yang masih banyak ditumbuhi berbagai macam pepohonan liar selalu menjadi saksi bisu atas segala perundungan gadis kecil itu
Dia selalu diserang oleh beberapa teman sekolahnya, tubuhnya yang penuh dengan totol-totol hitam adalah pemicu utama kebencian mereka. Karena di desa tempat gadis itu tinggal sudah tersebar luas cerita palsu ditelinga para warga kalau si gadis kurus berambut hitam sebahu berkulit coklat itu adalah anak hasil dari kutukan sesembahan Ayahnya yang sekarang pergi entah dimana keberadaannya.
Jujur, gadis itu memang gak tahu siapa saja yang gak percaya dengan rumor itu, tapi yang dia rasakan adalah, semua warga begitu mencibirnya seolah tak satupun ada yang membelanya.
Gadis malang itu adalah aku.
Ya, aku. Andhira
Yang artinya kuat dan berani. Ibu bilang padaku, Ibu Bidan lah yang memberikan nama itu padaku. Tapi sekarang Bu Bidan Rosi sudah pindah rumah entah pindah kemana, Ibu gak pernah mau tahu juga dan gak pernah peduli.
Lemparan kerikil mendarat ditubuhku berkali-kali meski gak membuat tubuhku terluka tapi lemparan itu cukup membuat hatiku hancur.
Tiga orang gadis melempari kerikil ke arahku, mereka teman sekolahku, satu diantara mereka adalah teman sekelasku. Dia adalah ketua genk dari tiga orang anak itu. Mereka terlahir dengan kulit yang normal tapi sayangnya otak mereka telah teracuni oleh orang tuanya untuk mengasingkan diriku
Mereka tertawa melihatku ketakutan, tubuhku gemetar, mereka gak peduli aku menangis. Sementara aku hanya mengintip dari balik badan pohon
"Heh, Terkutuk. Keluar kamu !" ujar Nanik. Dia ketua genk yang merasa paripurna dari siapa pun terlebih dariku
Ujarannya disambut gelak tawa dua dayangnya
"Hahahahaha!"
Tapi aku masih diam membisu sambil mengingtip ketakutan
Nanik melangkah perlahan ke arah pohon.
Melihatnya aku semakin was-was dan aku gak tahu harus melawannya atau gak.
Nanik berdiri tepat didepanku lalu dia menertawaiku
"Hahaha. Eh, lihat deh. Dia nangis. Hahaha !" ucapnya sambil menunjuk wajahku lalu memperlihatkan pada dua anggotanya.
Dua anak yang gak aku kenal namanya itu akhirnya ikut mendekat dan langsung menertawaiku juga
Mereka tertawa sambil menunjuk wajahku "Hahaha. Kasihan ya, hidupnya menderita" ejeknya
Aku diam saja, hanya mampu menatap mata mereka dalam-dalam
Nanik menoyol kepalaku "Ngapain sih kamu harus jadi teman sekelasku" ucapnya
Tapi aku diam saja.
Aku takut pada mereka.
Akhirnya karena aku udah gak sanggup bertahan dari ejekan mereka maka aku putuskan untuk melarikan diri saja dari hadapan mereka. Aku berlari sangat kencang sampai-sampai sempat jatuh tersungkur dihadapan mereka, melihat aku berlari terbirit-birit gelak tawa mereka kembali terdengar jelas, mereka merasa mendapatkan hiburan segar ditengah hari yang panas
Bahkan disepanjang perjalanan melewati rumah warga pun aku masih tetap berlari saking merasa kalau semua orang akan melawanku.
Akhirnya aku sudah sampai di rumah. Gubuk yang berada di tengah sawah yang dibangun oleh Ayahku sendiri tapi aku gak pernah melihat wajahnya sejak aku dilahirkan tapi Ibu gak pernah bercerita tentang Ayah, hanya saja kalau Ibu sedang marah padaku, Ibu sering berkata
"Seharusnya kamu sudah mati dibunuh Ayahmu sejak lahir!".
Sungguh perkataan yang menyayat hatiku
Setelah mengganti pakaian sekolah, aku menemui Ibu yang tengah memasak ubi di belakang gubuk, gak ada ruang dapur hanya ada tungku kayu dengan pemandangan sawah membentang luas, dari kejauhan mata memandang masih ada juga gubuk lain tapi gubuk itu hanya singgahan bagi pemiliknya saja bukan tempat menetap seperti gubuk aku dan Ibu. Apa lagi di gubuk ini gak ada listrik
Ibu menolehku "Sudah pulang Dhi " ucapnya datar
"Iya bu" sahutku
Lantas aku langsung menyiapkan piring plastik untuk makan siang. Menu hari ini ikan bakar yang Ibu tangkap dari sungai dan ubi rebus.
Siang ini kami langsung makan di belakang gubuk dengan pemandangan sawah yang hijau dan langit yang biru, angin yang bertiup sepoi-sepoi seolah membuat hatiku kembali tenang
Ibu memberikanku ubi rebus dan ikan bakar hasil tangkapannya "Makan" suruhnya
Aku menerimanya lalu memakannya tanpa jawaban
Tapi Ibu masih mau bicara padaku "Ibu mau menikah lagi, nanti kamu punya saudara tiri" ucapnya
Aku yang mendengarnya gak begitu paham apa maksudnya, aku hanya mendengarkannya masih sambil makan
"Sebentar lagi kita gak akan tinggal di gubuk ini lagi, kita akan pindah di rumah Ayah barumu. Di desa dekat kota yang jauh dari sini" ucapnya lagi
"Kita mau pindah Bu ?" tanyaku lagi.
Hanya itu bagian kalimat yang menarik fokusku
Ibu mengangguk "Iya kita akan pindah dari gubuk terkutuk ini. Ibu sudah lelah. Ibu sudah gak mau lagi mengingat semua yang terjadi di gubuk ini" ucapnya
Aku mengangguk meskipun gak begitu paham maksud Ibu.
"Bu"
Ibu menyahut dengan suara datar "Iya"
"Apa di sana banyak orang jahat Bu ?" tanyaku
Ibu diam gak bergeming, dia hanya terus memakan ubi yang ada didalam piringnya dengan cuilan jarinya
Tapi aku tetap melontarkan pertanyaan dengan harapan yang sangat tinggi
"Apa aku akan pindah sekolah Bu?" tanyaku lagi
Tapi Ibu justru mematahkan pertanyaanku yang sebenarnya itu adalah harapan berharga bagiku
"Sudah lah, lebih baik kamu habiskan saja makananmu !" potong Ibu
Tapi aku masih bertanya "Apa disana ada anak baik yang mau berteman denganku Bu ?" tanyaku lagi
Tapi kali ini Ibu membentakku "Diam !" kesalnya
Aku kaget mendengar suara kerasnya lalu menatap Ibu dalam-dalam, aku yakin Ibu tahu perasaanku dan aku yakin dia juga menyadari kedua mataku yang sudah membendung air mata yang sebentar lagi akan tumpah ruah dipipiku.
"Jangan menatap Ibu seperti itu, segera habiskan makananmu. Setelahnya cuci piring lalu segera tidur siang" ucapnya sambil meninggalkanku.
Sebenarnya makanan Ibu belum habisdia makan bahkan masih terlihat utuh tapi dia akan pergi meninggalkanku
"Ibu mau pergi dulu dan akan kembali nanti sore" pamitnya
"Ibu mau pergi ke mana ?" tanyaku yang masih duduk memangku piring
"Ibu mau kerja, mau cari uang supaya kamu tetap bisa sekolah" ucapnya
Sambil dia bersiap-siap beranjak pergi aku malah menahan langkahnya dengan permintaanku
"Bu, apa bisa aku gak ke sekolah lagi ?" pintaku
Ibu menolehku "Apa yang kamu bilang barusan ?"
Kembali aku pertegas "Aku gak mau sekolah lagi Bu. Aku mau berhenti" ucapku
"Kenapa ?" tanya Ibu
Aku diam dan sulit mengatakan perasaanku pada Ibu
"Kamu mau jadi orang bodoh kah ?" tanya Ibu
Tapi aku masih diam menunduk ke arah piring plastik yang aku letakkan diatas pahaku
"Kamu pikir, sekolah itu gak penting !" ujar Ibu
Akhirnya aku angkat bicara
"Aku takut sekolah karena mereka semua jahat padaku" jawabku dengan suara berat menahan air mata
Ibu tersenyum miring menatapku "Lihat dirimu Dhira, apa kamu terlihat normal atau sekarang kamu sudah buta ?" tanyanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
💎hart👑
Andhira yang malang. Ibu jgn bicara sprti itu kasian Andhira😥.
Lanjut lg kak Rewinti semangat up kakak.
2022-02-23
2
blessed
Duh ibu jgn bicara sprti itu kasian andhira 😢... Semangat lanjut lg kak.. Jgn lama-lama 😀
2022-02-20
5