Tepat hari ini Fatur dan teman satu kampusnya akan mengikuti demo masal dengan kampus lain untuk menyuarakan suaranya di depan kantor walikota. Sebenarnya Fatur tidak ingin ikut namun atas dasar kekeluargaan akhirnya ia ikut bersama dengan Erik. Mamanya sudah beberapa kali untuk melarang dirinya ikut karena Rudi menelepon Tias Ayu berkali-kali agar putra bungsunya tidak ikut turun ke jalan bersama mahasiswa lainnya. Rudi khawatir akan ada kerusuhan yang terjadi di lapangan. Namun lagi-lagi tekad Fatur begitu kuat karena dirinya tidak mau membiarkan teman-temannya berjuang sendirian untuk menyalurkan suara dan aspirasinya. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di lapangan saat Fatur mulai berjalan dan orasi pergi dari kampusnya bersama para rombongan teman-temannya menuju titik kumpul demo.
Seperti lautan manusia yang membuat barisan memanjang seperti pagar dengan membawa bendera kebangsaan serta tulisan-tulisan tangan yang berisi suara yang mewakili rakyat kecil. Fatur berjuang bukan untuk dirinya sendiri, bukan juga untuk rekan-rekan sesama mahasiswa, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Suara yel-yel, seruan aspirasi mulai terdengar nyata dan saling bersahutan. ratusan polisi mulai berjaga-jaga membentuk pertahanan barisan dengan tameng didepannya. Entah apa yang akan terjadi nantinya Fatur hanya bisa pasrah, ia mengambil barisan di belakang bersama dengan Erik dan kawan-kawan satu kelasnya. Berharap jika terjadi sesuatu mereka tidak saling terpisah.
"Lo udah minta izin sama kedua orang tua lo?" tanya Fatur kepada Arjun teman satu kelasnya saat mereka berjalan bersisian menuju titik demo.
Suara Fatur tidak terdengar begitu jelas jadi ia harus sedikit berteriak agar temannya itu bisa mendengar apa yang diucapkan olehnya. Karena suara Fatur tenggelam antara suara riuh lainnya. Gaya bicara Fatur dengan temannya yang lain tidak lagi memakai bahasa baku tapi memakai bahasa gaul karena kehadiran Erik dari Jakarta yang mempengaruhi mereka.
"Beres dong, masa belum," jawab Arjun yakin dan percaya diri.
Mengapa Fatur bertanya seperti itu kepada Arjun karena pada saat pertama kali Arjun mengikuti demo, tiba-tiba saja papanya Arjun menjemput ke lokasi demo. Papanya Arjun tidak mau jika putranya sampai kenapa-kenapa dan mau tidak mau Arjun harus ikut pulang bersama papanya walaupun saat itu harus menanggung malu yang luar biasa di depan teman-temannya.
"Nanti ada yang jemput lagi kayak waktu itu," ledek Fatur sambil tertawa ringan dan disambut tawa oleh Erik dan Habibi.
Arjun memang anak kesayangan kedua orang tuanya, anak bungsu dari tiga bersaudara selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Saat papanya tahu Arjun hendak ikut demo spontan papanya menjemput paksa Arjun di lapangan. Tanpa banyak bicara Arjun mengikuti perintah papanya.
"Nggak akan," timpal Arjun yakin sambil terus berjalan bersisian bersama Fatur dan Erik mengikuti barisan yang ada di depan.
"Yakin? Waktu itu lo dijemput setengah perjalanan," ledek Erik menggoda Arjun lagi.
"Resek kamu, Rik." wajah Arjun terlihat sedikit kesal namun Erik hanya tertawa disambut oleh kedua temannya yang lain yaitu Fatur dan Habib.
Kejadian itu sepertinya tidak akan pernah dilupakan oleh Fatur, Erik, Habib dan Arjun. Demo pertama mereka berempat di kampus. Selang beberapa waktu masih di tengah perjalanan saat mereka sibuk berorasi seseorang berjalan berada di pinggir barisan. Seorang laki-laki separuh baya menghampiri Habib dengan membawa sebuah paper bag coklat di tangannya. Sontak mata Fatur, Erik, Arjun dan Habib tertuju kepadanya ternyata itu adalah pamannya Habib. Pak Amir yang ditugaskan oleh kedua orang tuanya Habib untuk mengantarkan makanan kepada putra sulungnya yang sedang mengikuti demo. Mamanya Habib begitu khawatir jika Habib sampai kelaparan atau terlambat waktu makan.
"Bib! Habib!" panggil orang itu sambil menghampiri Habib dan berjalan bersisian mengikuti langkah kaki Habib yang ada dibarisan.
Keempat lelaki muda secara bersamaan menoleh dan mereka melihat seorang laki-laki separuh baya menghampiri Habib yang berada di samping Fatur. Habib terkejut bukan main saat mengetahui itu adalah pamannya.
"Paman! Paman lagi apa di sini?" tanya Habib kaget sambil terus berjalan berada di dalam barisan dan sesekali Habib menatap ke depan agar dirinya tidak menginjak kaki yang ada di depan barisannya, mengingat jarak Habib dengan rekan yang berjalan di depan sangat dekat.
"Paman mau mengantarkan titipan dari Mamamu." Pamannya Habib memberikan paper bag coklat yang ada di tangannya.
"Apa itu?" tanya Habib penasaran menatap paper bag coklat itu.
"Ini bekal untuk kamu, Bib. Mamamu meminta paman untuk memberikan ini kepada kamu. Ia khawatir kalau kamu akan terlambat makan," jelas pamannya Habib menyampaikan pesan untuk keponakannya.
Di tengah situasi tegang dan perasaan sedikit was-was akhirnya Fatur, Erik, dan Arjun bisa tertawa terbahak-bahak akan apa yang baru saja didengarnya. Apa mereka tidak salah dengar? Baru saja Habib dibekali makanan dari mamanya? Wajah Habib mendadak kemerahan karena malu mengapa mamanya sempat-sempatnya menyuruh pamannya untuk mengantarkan bekal makannya. Hancur sudah reputasi Habib sebagai cowok cool di kelas hanya karena nasi bekal.
"Apa! Paman nggak salah? Aku lagi demo dan buat apa mama memberikan itu?" Habib semakin malu saat sebuah paper bag coklat sudah berada di tangan kanan Habib saat ini.
Entah apa yang harus dilakukan oleh Habib saat ini, mana mungkin Habib mengembalikan bekal nasi kepada pamannya. Karena jika mamanya tahu pasti akan marah besar kepadanya. Tapi bagaimana bisa Habib membawa bekal makanan itu dalam keadaan sedang ikut demo. Sungguh merepotkan dan membuat Habib malu di depan teman-temannya.
"Paman nggak tahu, Bib. Mamamu berpesan agar kamu menghabiskan semua ini. Kalau sampai nggak habis nanti Paman juga bisa kena marah."
Bagai buah simalakama jika Habib tidak membawa bekal buatan mamanya pasti pamannya akan terkena marah akibat dirinya. Tapi jika Habib membawa bekal makanan sangat gengsi jikalau temen-teman yang lain tahu. Habib terdiam sejenak sambil berpikir apa yang harus dilakukan.
"Di dalam ada nasi, ayam, sayur, roti, susu, dan air mineral buat kamu." paman Habib mengabsen satu per satu isi di dalam paper bag itu.
Kali ini tawa Fatur, Erik dan Arjun terdengar sedikit keras. Ketiga lelaki itu tidak bisa lagi menahan tawa saat pamannya Habib mengabsen menu makanan satu-satu yang ada di dalam box paper bag titipan mamanya. Rasanya Fatur sangat iri karena mamanya Habib begitu sangat perhatian kepada putranya meskipun sudah dibilang sangat dewasa. Percuma Habib menyembunyikan rasa malunya lagi karena semua sudah terlanjur tahu, bahkan temannya yang ada dibarisan depan tahu akan hal itu.
"Ambil saja, Bib. Lumayan buat makan nanti siang," ledek Fatur sambil tertawa ringan.
Wajah Habib terlihat datar menahan rasa malunya dan Habib pasrah jika dirinya menjadi ejekan teman-temannya. Sorang Habib yang dikenal sangat cool dan kalem seketika reputasinya hancur karena terkenal anak manja.
"Setuju gue apa yang dibilang Fatur. Ambil aja lumayan buat makan siang, menghemat biaya," sambung Erik ikut meledek Habib yang masih terlihat sangat kesal.
Mau tidak mau Habib mengambil paper bag yang sudah berada di tangan kanannya dengan berat hati, sementara itu pamannya Habib pergi setelah berpamitan.
"Mau demo atau jalan-jalan, Bib. Bawa bekal segala," tambah Arjun belum puas meledek Habib.
"Ha...ha...ha..." terdengar suara gelak tawa Fatur dan Erik secara bersamaan dan itu membuat Habib ingin sekali memoles kepala teman-temannya yang sedang tertawa puas meledek dirinya.
"Resek kalian! Awas kalau minta!" ancam Habib dengan kedua bola mata hampir menjulur keluar
Keadaan demo membuat Rudi terlihat begitu panik dan khawatir, bagaimana tidak khawatir karena putranya ada di dalam bagian para pendemo. Hanya Mili yang tidak ikut karena sedang kurang sehat. Beberapa kali Rudi menelepon Fatur namun sayang lelaki itu mengabaikan panggilan masuk dari papanya. Rasanya Rudi bisa frustasi jika dirinya tidak bisa menemukannya dan membawa pulang dengan keadaan selamat di tengah para pendemo.
"Bagaimana keadaan di lokasi?" tanya Rudi saat menerima telepon dari sorang bawahannya yang sedari tadi mengawasi Leon di lokasi demo.
Tanpa Fatur tahu jika dirinya sedari tadi diikuti oleh seseorang utusan papanya. Orang itu juga anggota polisi yang ditugaskan Rudi untuk mengawasinya dari kejauhan dan mengikuti Fatur sejak dirinya melangkahkan kakinya keluar dari kampus.
"Sudah mulai nggak aman, Pak," jawab anggota polisi dari ujung telepon dengan nada suara terdengar sedikit cemas melihat kekacauan mulai terjadi saat demo.
Hati Rudi mulai gundah dan khawatir kedua matanya terpejam entah apa yang harus dilakukan. Satu-satunya cara adalah membawa Fatur pulang secara paksa dari sana. Rudi tidak mau terjadi sesuatu kepada putranya.
"Ada di barisan mana dia?" tanya Rudi memastikan keberadaan Fatur yang berada di mana
"Awalnya dia ada dibarisan belakang tapi karena volume pendemo semakin padat akhirnya dia berada dibarisan tengah."
Tidak ada tempat untuk lari bagi Fatur jika demo itu pecah, berada dibarisan tengah sama saja dirinya akan terancam. Hati Rudi sudah tidak menentu, ingin rasanya dirinya pergi menyusul ke sana membawa Fatur pulang dengan selamat.
"Demo pecah, Pak. Aparat menembakan gas air mata kepada pendemo dan barisan mahasiswa terpecah," tambah anggota polisi itu menceritakan apa yang telah terjadi saat ini di depan matanya.
Bagai disambar petir telinga Rudi saat mendengarnya, mengapa kejadiannya begitu sangat cepat. Jika demo sudah pecah itu tandanya sudah banyak konflik yang terjadi antara aparat dan pendemo. Bisa saja Fatur menjadi korban jika ditangkap oleh aparat polisi.
"Apa! Lekas cari Fatur sekarang juga!" kata terakhir Rudi sambil berteriak dan memutuskan saluran ponsel secara sepihak.
Suasana di lapangan sudah tidak kondusif lagi, aparat menembakan gas air mata terus menerus. Serta pendemo berlari berhamburan menyelamatkan diri dari perihnya gas air mata. Barisan yang tadinya kokoh, rapih dan padat tanpa celah kini menjadi hancur berantakan. Tidak sedikit ada beberapa pendemo yang masih dengan gerombolannya melemparkan batu kearah aparat.
Dan Fatur saat ini dalam keadaan genting dirinya terpisah dari rombongan lalu berlari mencari tempat yang aman bersama sahabatnya Erik. Sekuat mungkin kedua lelaki itu berlari dari kejaran polisi yang sedari tadi mengejarnya.
Sampai akhirnya Fatur bertemu dengan seorang gadis yang baru saja keluar dari sebuah toko kue. Dia adalah Anggita. Saat itu Anggita tidak tahu jika sedang ada demo yang tidak jauh dari tempatnya membeli kue. Anggita sedang bersama Lara teman kerjanya. Memang sudah beberapa hari ini Anggita dan Lara sedang berlibur di Batam, tapi sial bagi Anggita karena liburannya terganggu karena pertemuannya dengan Fatur
Buk, Fatur tidak sengaja menabrak Anggita dari samping yang baru saja keluar dari toko kue. Fatur yang berlari dari arah belakang hendak melewati Anggita langsung meraih tubuh gadis berwajah cantik dan menariknya ke dalam dekapannya. Hasilnya Anggita jatuh ke dalam dekapannya dan hampir saja dirinya jatuh. Bukan hanya Anggita yang kaget dengan kejadian itu tapi juga Fatur dan Erik. Mereka berdua terdiam sesaat dan kemudian saling menatap satu sama lain. Kedua tangan Fatur memeluk Anggita dengan erat dan kini wajah mereka berdua sangat dekat sekali. Kedua pasang bola mata saling menatap satu sama lain seolah saling menyapa untuk berkenalan. Tapi sial kejadian itu tidak berlangsung lama karena tidak jauh dari tempat Fatur berdiri ada beberapa anggota polisi yang sedari tadi mengejar kedua lelaki itu.
"Berhenti di sana!" teriak salah satu polisi dengan nada tegas dari kejauhan.
Romansa kisah romantis antara Fatur dan Anggita terhenti, saat sadar jika sedari tadi dirinya sedang dikejar oleh beberapa orang polisi. Tanpa berpikir panjang Fatur kembali berlari bersama dengan Erik, dan kali ini secara reflek Fatur tidak sengaja menarik tangan Anggita untuk ikut bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments