"Magang di kantor kakak ipar nggak buruk-buruk amat rupanya. Baru pertama masuk aja bonusnya udah makan siang sekaligus jajanan. Aduh, semoga keluar dari sana nggak gendut, deh, aku."
Mikha berbicara sendiri di sepanjang perjalanan pulang. Mobil yang dia kendarai mulai membelah jalanan macet di Jakarta pada waktu sore hari.
"Harusnya tadi nggak usah lewat sini," gumamnya kesal sambil memajukan mobilnya pelan. Sudah setengah jam mobilnya berada di tengah kemacetan. Tapi baru bergeser maju lima ratus meter saja. Parah.
Hampir pukul tujuh, Mikha baru sampai di rumah. Seperti biasa, rumah terlihat sepi. Gilang belum pulang dan Mikha tak peduli. Lelaki itu selalu pulang tengah malam, bahkan pernah berhari-hari tidak pulang.
Tiba-tiba saja Mikha teringat ucapan Gavin pagi tadi sebelum memberikan tugas untuk Mikha.
"Maksud Pak Gavin apa, ya? Pernikahan kami normal-normal saja. Kami bercanda, makan bersama, tidur bersama. Bahkan kami juga begituan loh, Pak. Pak Gavin jangan sembarangan ngomong."
"Begituan bersama, ya?"
"Hu'uh."
"Iya. Bersama, kan? Dia sama siapa kamu sama siapa? Yang jelas pasangan dia bukan kamu, kan?"
Yang jelas pasangan dia bukan kamu, kan?
Ucapan Gavin terus terngiang di kepalanya.
Itu artinya Gilang melakukan hubungan tersebut dengan wanita lain di luar sana. Bisa jadi dia pulang malam dan kadang tidak pulang ke rumah itu karena dia menghabiskan waktu dengan wanita lain.
Memikirkannya, membuat Mikha enggan untuk masuk ke dalam rumah.
Di luar rumah, entah dengan teman-temannya atau hari ini dia mulai magang, dia bisa melupakan permasalahannya untuk sementara waktu.
Tapi ketika pulang ke rumah, dia harus kembali dihadapkan dengan rumah tangga tidak jelas yang dia jalani.
Pernikahan mereka sah secara hukum dan agama. Tapi kenyataannya hal itu hanya status saja. Bahkan jika apa yang Mikha curigakan itu benar adanya, Gilang telah mengkhianati pernikahan mereka.
Mikha masih duduk di depan rumah saat mobil Gilang masuk ke halaman rumah. "Tumben jam segini udah pulang," ujar Mikha dalam hati. Tapi dia tak memperdulikan Gilang. Dia mengalihkan pandangannya ke manapun asal tidak ke arah Gilang.
"Nggak masuk rumah karena udah nyaman di kantor Gavin, ya?" Bukan sapaan, justru sindiran pedas yang dilayangkan Gilang untuk Gavin.
Mikha beranjak dari tempat duduknya dan menatap Gilang dengan tajam. "Bukan urusan kamu. Kita butuh bicara."
"Bicara apa? Gue capek. Mau istirahat." Gilang sudah masuk ke dalam rumah. Hampir masuk ke kamarnya sebelum akhirnya suara Mikha menghentikan langkahnya.
"Gue minta cerai."
Gilang terdiam di tempatnya. Menatap Mikha dengan tatapan penuh tanya. "Sampai kapanpun kita tidak akan bercerai."
"Mau Lo apa, sih, Lang? Lo nggak mau ceraikan gue tapi Lo seenaknya sama gue. Lo pikir gue apaan? Gue juga butuh bahagia."
Gilang tersenyum sinis. "Bagus, ya, Mikha? Baru hari pertama magang di kantor Gavin aja Lo udah minta cerai. Dikasih apa sama dia? Lo udah tidur sama dia?"
Tanpa basa-basi, Mikha menampar pipi Gilang dengan keras. "Jaga mulut Lo, Gilang. Ini nggak ada hubungannya dengan Gavin. Permintaan cerai, itu murni dari hati gue sendiri yang udah capek jalanin ini semuanya."
"Dan gue nggak akan pernah menceraikan Lo, Mikha. Ingat itu baik-baik."
Gilang berlalu begitu saja. Membuat Mikha semakin kesal dan berteriak frustasi.
Sekuat apapun Mikha mencoba untuk kuat, tapi dia tidak bisa. Mikha manusia biasa. Dia tetap wanita pada umumnya yang cengeng, yang tidak bisa menahan rasa sakit jika itu dia dapatkan secara terus menerus.
Hatinya sudah lelah. Tapi dunia tak mengerti akan dirinya. Bahkan tempat berlindung Mikha satu-satunya, yaitu kedua orangtuanya, tidak pernah percaya pada apa yang di ucapkan Mikha tentang Gilang.
Mereka selalu mengatakan kalau itu adalah sebuah ujian di dalam rumah tangga. Untuk menguji seberapa kuat Mikha dan Gilang bertahan.
Tapi ujian itu sudah Mikha hadapi sejak hari pertama menjadi seorang istri dari Gilang. Perasaannya dihancurkan berkali-kali. Mentalnya dijatuhkan berkali-kali.
Hanya Sena tempat dia berbagi semua tanpa bisa memberikan solusi apapun. Tapi bagi Mikha, ada pendengar yang baik untuk dia berbagi pun rasanya sudah bahagia.
***
"Kamu sakit?"
Mikha menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan Gavin.
"Wajah kamu pucat, mata kamu sembab. Habis nangis semalaman apa gimana?"
"Nggak ada, Pak. Pekerjaan saya hari ini apa?" Mikha mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin masalahnya diketahui oleh Gavin. Cukup kemarin dia mempermalukan dirinya sendiri dengan menceritakan keharmonisan rumah tangganya padahal Gavin tau itu hanyalah sebuah kebohongan.
"Yakin bisa bekerja dengan fokus hari ini?"
Mikha mengangguk pasti. "Yakin, Pak."
Gavin menghela napas pelan. Sebenarnya dia penasaran dengan apa yang terjadi pada Mikha. Matanya tak bisa berbohong jika dia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Tapi Gavin rasa belum saatnya dia ikut campur dengan urusan Mikha.
"Saya ada jadwal meeting dengan beberapa kolega. Dan satu jam lagi saya harus meeting dengan Mr. Mike dari Singapura. Tolong siapkan berkasnya."
Gavin menunjukkan tumpukan file yang ada di mejanya. Mikha mengangguk dan dengan cepat mengerjakannya tanpa protes sedikitpun.
"Apa saya harus ikut meeting, Pak?"
"Lalu apa gunanya kamu jadi sekertaris saya kalau kamu tidak ikut meeting?"
Mikha membuang napas kesal. "Bisa kali jawab iya gitu doang. Nggak usah panjang lebar begitu jawabnya," gumam Mikha pelan namun masih bisa di dengar oleh Gavin.
***
"Aah, panas."
"Aduh, maaf, Kak. Saya nggak sengaja."
"Enggak apa-apa." Mikha sibuk membersihkan lengannya yang terkena siraman kopi panas pesanan Gavin.
"Bisa kerja nggak, sih? Ini kopi masih panas. Tangan adik saya bisa melepuh kalau begini caranya. Mana manager kamu? Saya perlu bicara sama dia." Gavin memarahi pelayan tersebut. Membuat pelayan tersebut ketakutan dan berkali-kali mengucapkan kata maaf.
"Udah, Kak, jangan dimarahin. Lagian dia nggak sengaja, kok. Udah minta maaf juga." Mikha menengahi. Menenangkan Gavin agar tak terpancing emosi.
"Nggak apa-apa gimana? Tangan kamu udah merah kayak gitu."
"Ini enggak apa-apa. Beneran, deh. Udah, ya. Malu dilihatin banyak orang," ujar Mikha sambil mengusap lengan Gavin pelan. "Kamu balik kerja, ya. Lain kali hati-hati. Buatkan kopi yang baru, ya," lanjutnya pada pelayan tersebut.
"Baik, Kak. Sekali lagi saya minta maaf, Kak."
Mikha dan Gavin kembali duduk setelah pelayan itu berlalu pergi.
"Tunggu di sini!" Tiba-tiba Gavin sudah berdiri.
"Kak Gavin mau kemana? Sebentar lagi Mr. Mike pasti datang."
"Sebentar saja."
Tanpa bisa Mikha cegah, Gavin berlari keluar dari restoran. Mikha tak tahu kemana Gavin pergi hingga lima menit lamanya. Mikha khawatir kalau orang yang mereka tunggu datang dan terlalu lama menunggu Gavin.
Mikha bernapas lega setelah melihat Gavin kembali masuk ke dalam restoran dengan terburu-buru. Di tangannya sudah ada sebuah plastik berisi obat oles untuk tangan Mikha.
"Obat apa?" tanya Mikha yang masih belum tau apa kegunaan obat yang dibawa Gavin.
"Buat bekas air panasnya biar nggak melepuh. Sini," ucap Gavin datar. Tapi tangannya menarik tangan Mikha yang tersiram kopi panas tadi.
Dengan lembut Gavin mengoleskan obat tersebut. Rasa panas di kulit Mikha seketika menjadi lebih adem saat obat itu merata di kulitnya.
Hati Mikha tersentuh dengan perhatian Gavin. Sederhana, tapi sangat bermakna. Bahkan dia rela lari-larian demi bisa membelikan obat untuk Mikha. Bahkan tadi Gavin menyebut dia adik di depan pelayan tadi. Karena itu dia memanggil Gavin dengan sebutan kakak.
Tanpa sadar, kedua mata Mikha tak pernah lepas dari wajah Gavin yang kini sangat dekat dengan wajahnya. Tiba-tiba saja detak jantungnya bekerja lebih keras dari biasanya. Berdebar tak menentu.
"Udah enakan?" tanya Gavin.
Mikha mengangguk kaku. "Udah. Udah, kok."
"Nanti kalau masih terasa panas kita bawa ke dokter kulit aja."
"Nggak usah. Nggak perlu, kok. Ini udah enakan. Makasih banyak loh, Kak, udah rela lari-larian buat beli obat olesnya." Mikha memasang senyuman manis.
Gavin melirik Mikha dengan cuek. "Saya cuma nggak mau sekertaris saya penampilannya kurang menarik. Kalau sampai tangan kamu melepuh dan meninggalkan bekas luka, penampilan kamu udah nggak menarik lagi."
Seketika Mikha merasa geram setelah mendengar ucapan Gavin. Kedua tangannya terkepal erat, hampir menonjok bibir Gavin sebelum akhirnya dua orang yang mereka tunggu datang dan membuat Mikha kembali meredakan emosinya yang sempat memuncak karena Gavin.
Hampir saja Mikha terbuai dengan perhatian Gavin. Tapi rupanya hal itu dilakukan Gavin bukan karena kasian kepada Mikha. Tapi demi kepentingannya sendiri.
🌹🌹🌹
...Kalian kalau jadi Mikha capek nggak sih kira-kira? 😭🤣🤣...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Efrida
org tua yg egois bgt...lagian jg knp mau2nya diajak sandiwara harmonis
2023-08-12
2
annisya noor nikmah
menarik thor, lanjutkan...
2023-06-03
0
Rini Fitrianingsih
gak capek kalau ada mas gavin
2023-02-28
0