Benar ucapan Evan tetangga kamar kontrakan Dila, sepulang dari makan siang Evan langsung mandi dan berganti pakaian menggunakan baju seragam PT tempatnya bekerja, seragam berwarna putih dengan tulisan bordir di bagian punggung berwarna merah bertuliskan nama PT tempat Evan bekerja.
Ternyata Evan terlihat lebih keren setelah menggunakan seragam kerja, dibanding saat memakai kaos oblong dan celana pendek santai seperti tadi.
" Dil, As, nitip kamar ya, bentar lagi teman sekamarku juga pulang, dia shift pagi, jadi pulang jam 3, paling sampai sini jam setengah 4 an, kalau nggak lembur atau mampir ngopi di warung depan".
Evan keluar dari kamar, mengunci pintu kamar dan meletakkan kunci kamar itu di atas pintu kamarnya.
" Kenapa nggak buat duplikat kuncinya saja? biar lebih hati-hati, kalau di taruh di atas pintu seperti itu kan bisa ada yang liat dan bisa membuka pintu kamar kamu".
Evan menggeleng, " kalau kamu mau masuk ke kamarku juga nggak papa, nggak ada barang yang bisa di curi, kamarnya cuma isi bajuku dan baju Kunto".
Tidak sengaja Evan menyebutkan nama teman sekamarnya.
Dila dan Asna hanya menggelengkan kepalanya, mana mungkin seorang gadis masuk ke kamar seorang pemuda, apa lagi mereka baru saja saling kenal, sungguh tidak sopan.
Evan pergi dengan langkah cepat karena jam sudah menunjukkan pukul 3 kurang seperempat, kalau terlambat dan tertinggal bus jemputan, harus ngojek dan butuh ongkos. Karena itu Evan sedikit berlari takut ketinggalan bis jemputan.
Dila dan Asna memilih berjalan-jalan keluar agak jauh, sampai di jalan raya dimana Evan dan beberapa pemuda berseragam sama sedang bergurau di pinggiran jalan menunggu bus jemputan datang.
Tak lama kemudian bus jemputan berhenti dan mengangkut semua pemuda yang berseragam sama dengan Evan.
" Lumayan bening-bening juga teman-teman Evan", gumam Asri sambil senyum-senyum sendiri.
" Aw.... ", Asri kaget karena tiba-tiba Dila mencubit pipinya.
" Jangan mikirin cowok dulu As, kita ke sini tuh tujuannya buat kerja, cari uang buat bahagiain orang tua", tegur Dila sambil berjalan menyebrangi jalan raya menuju mini market yang ada di ujung jalan.
" Iya-iya, tadi cuma bercanda Dil, iseng-iseng buat hiburan kan nggak papa, hidup jangan terlalu serius, nanti jadi cepet tua".
Dil hanya manyun dan masuk ke dalam minimarket, mengambil dua botol air mineral ukuran 1'5 liter untuk persediaan minum di kontrakan. Kemudian mengambil roti dan beberapa biskuit untuk persediaan makan jika tiba-tiba lapar malam hari.
Asri hanya mengambil air mineral dan keripik saja, karena jarang makan malam dan takut gemuk kalau makan di malam hari.
Saat Dila dan Asri keluar dari minimarket dan menyebrang jalan raya, dia kembali melihat bus besar berhenti di depan halte, bus itu mengantar karyawan pabrik yang berangkat shift pagi. Terlihat ada beberapa pemuda pemudi yang turun dari bus itu. Namun seragamnya beda dengan yang dipakai Evan tadi.
Dila dan Asna berjalan kembali ke kontrakan sambil bercanda sepanjang jalan, sengaja melewati jalan yang berbeda agar paham daerah sekitar kontrakan. Saat Dila dan Asri sampai di kontrakan, pintu kamar kontrakan Evan sudah terbuka, karena penasaran, Dila melongok ke dalam kontrakan itu.
" Maaf maaf Mas, tadi saya dititipi kamar ini sama mas Evan, jadi saya cek siapa yang ada di dalamnya".
Dila merasa tidak enak, karena sepertinya pemuda yang di dalam kamar Evan adalah teman sekamar Evan yang bernama Kunto, karena pemuda di dalam nampak sedang memasukkan beras ke dalam magicom dan menyambung kabel untuk mulai memasak nasi.
"Kalian penghuni baru kamar sebelah?, tadi Evan sudah kasih tahu lewat pesan singkat kalau kamar sebelah sudah ada yang menempati". Ternyata Kunto seorang pemuda dengan wajah yang sangat kharismatik, mirip Hyun bin oppa, atau lebih mirip seperti Aril Noah, seperti itulah wajah Kunto.
" Iya Mas Kun, saya Asri dan ini Dila", Asri begitu bersemangat memperkenalkan dirinya, sedangkan Dila hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian masuk ke kamarnya menaruh barang belanjaannya tadi.
Hari semakin gelap, usai sholat Isa, Dila menerima telepon dari Nino yang ingin mengetahui bagaimana keadaannya.
Dila sedikit berbohong dengan mengatakan dirinya baik-baik saja dan mungkin akan betah tinggal di perantauan, karena Dila tidak mau membuat teman maupun keluarganya khawatir dengan keadaannya saat ini.
Meski yang sebenarnya Dila mulai merasa kedinginan karena tidur diatas tikar pandan yang tipis, berbantalkan tas berisi baju yang terasa keras.
Selesai ngobrol lewat telepon dengan Nino, Dila memilih membuka pintu kamar dan duduk di depan kamarnya.
Nyamuk di kota besar ternyata lebih ganas dari nyamuk-nyamuk di desa, dan jumlahnya bahkan lebih banyak. Dila terus menggaruk tangan dan kakinya karena terus di gigit nyamuk.
" Pakai ini", Kunto melempar botol lotion anti nyamuk di pangkuan Dila.
Dila langsung memakaikan lotion anti nyamuk ke tangan dan kakinya, rasanya sudah tidak tahan sejak tadi di gerumut nyamuk.
" Makasih ya", ucap Dila sambil mengembalikan botol lotion anti nyamuk pada Kunto.
" Pasti di daerah asal kamu tinggal jarang ada nyamuk ya?, jadi nggak persiapan lotion anti nyamuk?".
Dila mengangguk membenarkan ucapan Kunto.
" Tadi yang habis telepon siapa?, pacar?", tanya Kunto tanpa basa-basi. Memang tinggal bersebelahan dengan hanya selembar papan triplek sebagai penghalang, membuat suara bisa terdengar jelas dari kamar sebelah, meski sudah berbicara pelan dan lirih, seperti tidak ada privasi sedikitpun tinggal di kontrakan kecil seperti itu.
" Nggak tahu, hubungan tanpa status, seperti teman...., tapi perhatian. Di bilang pacar, kita nggak pernah jadian", jawab Dila jujur.
" Rumit".
" Hubungan kamu dan dia nggak jelas".
" Kalau aku, punya pacar di desa, dia sekarang sedang kuliah di STIKES, pengen jadi perawat katanya, makanya aku biayai dia buat melanjutkan sekolah".
Dila terkejut dengan sikap Kunto yang begitu terbuka. Dila bahkan tidak menanyakan apa-apa, tapi Kunto bercerita dengan sendirinya.
" Kalian sudah serius mau menikah?", tanya Dila.
" Nggak tahu, kalau jodoh ya menikah, kalau belum mau bagaimana lagi". Jawab Kunto enteng.
" Tapi kan kamu yang biayai dia kuliah, kalau nggak jadi suaminya, kamu yang rugi banyak dong", gumam Dila begitu polos.
" Tinggal minta ganti rugi, apa sulitnya, tiap kali aku transfer ke rekeningnya kan ada bukti transfer yang selalu aku simpan".
Dila mengernyitkan keningnya menatap Kunto dengan tatapan aneh. " Kok ada ya cowok kaya kamu, hidupnya dibikin santai serasa tanpa beban".
Kunto terkekeh mendengar ucapan Dila.
" Kita hidup di perantauan sudah susah, jadi jangan dibikin tambah susah dengan terlalu banyak berpikir".
" Kamu sudah makan?", tiba-tiba Kunto mengalihkan pembicaraan.
Dila menggelengkan kepalanya, " nanti makan roti kalo laper", jawab Dila jujur.
Kunto masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu kamarnya, Dila bisa melihat Kunto mengambil nasi yang dimasaknya tadi sore, nasi dari magicom di pindah ke wadah seperti piring besar.
Setelah itu Kunto memasukkan air dan mie instan kedalam Magicom lagi dan memencet tombol 'cook'.
Sekitar lima menit, Kunto memanggil Dila untuk masuk ke kamarnya.
" Sini masuk, kita makan malam bersama, cuma nasi dan mie goreng, nggak papa kan?, oh iya, aku ada sisa keripik beli kemarin", Kunto mengambil keripik dari atas lemari kecil yang ada di kamarnya.
" Santai saja, di kontrakan sini, cowok masuk kamar cewek atau sebaliknya itu sudah biasa, yang penting kan kita nggak ngapa-ngapain. Kalau mau ngapa-ngapain juga boleh, nggak ada yang mempermasalahkan, tapi tenang, aku nggak suka gadis muda dan polos kaya kamu. Aku lebih suka dengan yang sudah berpengalaman dan nggak perlu merasa bersalah karena harus buka segel".
Dila tahu maksud ucapan Kunto, dan hanya bisa menelan salivanya. Tapi tetap berdiri di depan pintu kamarnya yang bersebelahan dengan pintu kamar Kunto.
" Kamu nggak usah takut, hidup di kota besar harus terbiasa dengan kalimat-kalimat yang sedikit kasar dan terbuka seperti itu, nanti juga setelah kamu tinggal beberapa bulan disini kamu akan terbiasa dengan kalimat-kalimat seperti itu".
Kunto keluar membawa dua piring nasi dengan lauk mie goreng dan keripik. Kemudian menyerahkan satu piring pada Dila.
" Ya sudah kalau mau kamu begini, kita makan malam di luar..... di luar kamar maksudnya", ucap Kunto sambil terkekeh.
" Teman sekamar kamu mana?, mau ikut makan malam di luar nggak?".
Dila menggelengkan kepalanya," Asri nggak pernah makan malam, katanya takut gendut".
" Tapi dia tadi keluar pergi ke kamar teman-teman yang lain, pas aku lagi teleponan".
Kunto hanya mengangguk sambil menikmati makan malam sederhana buatannya sendiri.
" Dimakan nasinya, kalau dingin nanti nggak enak mie gorengnya".
" Kenapa kamu baik banget pada tetangga baru, padahal kan kita baru kenal?", tanya Dila penasaran.
" Karena aku pernah merasakan menjadi anak rantau baru, yang harus menghemat pengeluaran agar bisa bertahan hidup, setidaknya harus berhemat sampai kita bisa bekerja dan menerima gaji".
Jawaban Kunto memang masuk akal.
" Setelah berapa bulan bekerja kamu bisa beli kasur, magicom dan juga lemari kecil?", tanya Dila lagi.
" Aku beli patungan sama Evan, baru pertama dapat gaji, kita langsung beli kasur, magicom dan lemari, karena itu kebutuhan yang cukup penting, dulu kami juga tidur beralaskan tikar tipis seperti kamu saat ini, selama dua bulan".
Mendengar kata-kata Kunto, membuat Dila tiba-tiba kangen dengan kamar tidurnya di desa. Meski kasur di kamar Dila terbuat dari kapuk, bukan busa atau spring bed, tapi itu sudah terasa sangatlah nyaman.
" Kenapa diam?, ayo dimakan nasinya, nanti keburu dingin, nggak enak".
Dila mengangguk dan makan malam bersama Kunto di depan kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Ida Firdaus
realita anak perantauan. ..
2022-04-19
1
Indah Sri
semangat up nya seruni cerita nya
2022-02-14
2