Selama 5 jam lebih perjalanan Dila terus berbalas pesan dengan teman-temannya, termasuk pada Nino yang tadi turut mengantar kepergiannya.
Saat jam menunjukkan pukul 1 siang, bus yang membawa Dila dan rombongan sampai di salah satu PO bus yang ada di daerah Cibitung, Bekasi. Dari PO bus tersebut Dila dan yang lain harus naik bus lagi menuju kontrakan yang akan menjadi tempat tinggal sementara mereka.
Saat menuju kontrakan seorang bapak-bapak yang menjadi pemandu mereka menunjukkan sebuah bangunan cukup besar dengan pelataran yang cukup luas. Itu adalah bangunan LPK penyalur tenaga kerja yang akan menjadi penyalur kerja mereka.
" Itu LPK Jaya Sentosa yang akan menjadi penyalur kalian masuk ke PT besar, besok jam 7 pagi kalian harus sudah ada di depan sana untuk mulai mengikuti training".
Bus berhenti di depan lahan kosong yang bersemak, Dila dan rombongan berjalan melewati lahan kosong dan berhenti di depan rumah cukup besar yang menjadi kontrakan sementara para perantau.
" Kalian akan tinggal sementara disini, karena selama dua minggu harus mengikuti pelatihan kerja di LPK, sebagai bekal kalian bekerja di PT nantinya".
" Saya harus mengurus beberapa berkas ke LPK, jadi kalian semua beristirahat dulu, kalau mau cari makan, di depan sana ada warung makan yang buka selama 24 jam, kalian bisa kesana kapan saja".
Bapak-bapak itu pergi meninggalkan Dila dan yang lain begitu saja, Dila masuk ke rumah besar itu dan bertemu ibu pemilik kontrakan.
" Kalian yang akan tinggal di kontrakan bisa ikuti saya ke belakang", ucap ibu pemilik kontrakan terdengar dingin dan tidak ada ramah-ramahnya.
Ternyata di belakang rumah besar itu terdapat bangunan cukup besar berlantai 2 dan berpintu cukup banyak, ada sekitar 50 pintu dengan luas kamar 2x3 meter. Bahkan kamar Dila yang di desa saja lebih luas dari kamar kontrakan itu.
" Biaya kontrakan selama seminggu 150 ribu, dan itu harus di bayar di muka".
Dila merasa bingung dengan ucapan ibu pemilik kontrakan tersebut, dan ternyata kontrakan itu harus bayar sendiri-sendiri.
Untuk menghemat pengeluaran, Dila mendekati salah satu teman perempuan yang berangkat bersamanya, gadis hitam manis yang sejak tadi tersenyum ramah pada Dila, gadis itu berasal dari SMK yang berbeda dengan Dila.
" Maaf, kalau boleh tahu, nama kamu siapa?", bisik Dila pada gadis itu.
" Asri, namaku Asriati".
" Aku Dila ".
Mereka berdua saling berkenalan dan menyebut nama masing-masing.
" As, buat hemat pengeluaran, gimana kalau kita tinggal sekamar berdua, jadi biaya 150 ribu perminggu kita bisa bayar setengahnya", Dila mencoba bernegosiasi dengan Asri.
Asri yang sama-sama baru merantau dan juga harus menghemat pengeluaran setuju dengan usul Dila. Begitu juga dengan yang lain yang mengikuti cara Dila dan Asri agar berhemat.
Dila dan Asri menerima kunci kamar milik mereka berdua setelah membayar biaya kontrakan untuk seminggu kedepan.
" Ini kuncinya, tinggal disini boleh menerima tamu, tapi dilarang berisik dan membuat gaduh, paham?".
Dila dan Asri mengangguk mengerti, dan mencari nomor kamar sesuai nomor yang tertera di bandul kunci yang Dila pegang.
" Kamarnya ini As", tunjuk Dila.
Kamar yang berada di lantai bawah, ada 3 kamar yang saling berhadapan, dan kamar yang ditempati Dila berada di tengah-tengah kamar yang menghadap ke arah timur.
Kamar mandi umum berada tak jauh dari kamar mereka, karena berada di samping kamar yang ada di sebelah kamar Dila. Hanya berjarak satu kamar, tapi bangunannya terpisah.
Dila sungguh terkejut saat membuka kunci pintu kamar kontrakannya, karena kamar itu kosong, hanya ada selembar tikar pandan yang ada di kamar itu.
Sebelumnya Dila membayangkan mungkin kamar sempit dengan sewa 150 ribu per minggu sudah ada kasur, bantal dan lemari kecil untuk menyimpan pakaian. Tapi pemandangan di depannya membuatnya mengerutkan dahi, hanya ada selembar tikar tipis disana.
" As, kok cuman ada tikar saja di sini".
" Memangnya mau kalian sewa kamar 150 ribu per minggu itu seperti apa?, lengkap dengan kasur dan ber AC?, itu si harga kontrakan di wilayah pinggiran".
Terdengar suara penghuni kamar sebelah, suara seorang pemuda dengan dialek Jawa yang kental.
Asri masuk dan meletakkan tas besarnya, kemudian bersandar di dinding kamar yang terbuat dari papan triplek.
Pantas saja apa yang di ucapkan Dila bisa terdengar dari kamar sebelah, ternyata dinding penyekat antar kamar mereka dengan dua kamar di samping kanan kirinya hanyalah papan triplek.
" Ya sudah kita buka saja tikarnya, lantainya dingin, aku mau tiduran, capek".
" Ternyata ini bukan tembok Dil, cuma papan triplek, pantesan ucapan kamu bisa terdengar sampai kamar sebelah, dan suara dari kamar sebelah bisa terdengar keras dari sini".
Asri sengaja mengetuk-ngetuk papan triplek tempatnya bersandar. Dila semakin mengernyitkan dahinya.
" Ternyata biaya hidup di kota besar cukup mahal ya, kita harus cepat-cepat kerja, biar cepet dapet penghasilan", ucap Dila sambil menggelar tikar pandan yang ada di kamar itu.
Dila dan Asri merebahkan tubuhnya di atas tikar dengan berbantalkan tas besar tempat baju mereka.
" Hidup di perantauan itu memang keras neng, butuh usaha dan perjuangan, apalagi kalau baru merintis seperti kalian berdua, harus pandai-pandai mengatur pengeluaran biar bisa bertahan hidup".
Lagi-lagi suara pemuda dari kamar sebelah itu terdengar. Tapi Dila dan Asri tidak ambil pusing, hidup merantau harus supel dan ramah, apalagi pemuda itu akan menjadi tetangga kamarnya untuk beberapa minggu.
" Mas nya dari daerah mana?, suaranya medok, mungkinkah berasal dari daerah yang sama dengan kita berdua?", Dila mencoba mengajak bicara pemuda yang ada di kamar sebelahnya.
" Saya asli Pemalang Mbak, Mbaknya dari mana?".
" Saya Banyumas ".
" Dan saya dari Sokaraja", jawab Asri memperkenalkan diri.
" Owh, ya masih serumpun itu mba, nggak jauh-jauh amat dari Pemalang".
Mereka terus mengobrol santai setelah mengetahui sesama orang Jawa. Padahal mereka belum saling berkenalan, maupun saling melihat wajah satu sama lain, karena mereka bertiga mengobrol di dalam kamar masing-masing.
" Warung yang jualan nasi sebelah mana Mas?, tadi cuma di kasih tahu kalau ada warung di depan, tapi nggak tahu di depan mana". Asri yang merasa lapar akhirnya mengajak Dila makan siang ke warung.
" Belum tahu ya Mba, mau saya antarkan ?, sekalian saya mau makan siang juga".
Dila dan Asri keluar dari kamar dan mengunci pintu kamar mereka sebelum pergi. Pemuda itu juga keluar dari kamarnya, dan melakukan hal yang sama mengunci pintu kamarnya. Ternyata pemuda itu berperawakan tinggi berambut ikal dan wajah ramah.
" Wah ternyata Mbak berdua cantik dan manis, tahu begitu dari tadi saya keluar dari kamar".
" Kalau boleh tahu namanya siapa mbak-mbak yang cantik ini?. Kalau saya Evan".
Evan mengulurkan tangannya, pemuda berusia sekitar 19 tahun itu kakak angkatan Dila, dan baru 6 bulan merantau.
" Saya Dila".
" Saya Asri".
Mereka bertiga saling berkenalan sambil berjalan menuju warung makan depan kontrakan, yang ternyata jaraknya cukup jauh, karena harus melewati tanah kosong yang bersemak. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terus mengobrol santai.
" Mas Evan kok jam segini masih di kontrakan?, nggak kerja ?", tanya Dila penasaran.
" Saya lagi masuk shift malam, berangkat jam 3 sore terus pulangnya jam 11 malam".
Dila menatap layar ponselnya, " berarti satu jam lagi harus sudah sampai PT dong Mas?".
Evan mengangguk, " Makanya cari makan dulu, habis makan mandi, terus nunggu bus jemputan di situ tuh", tunjuk Evan di halte tempat Dila dan yang lain turun dari bus tadi.
Ternyata bekerja di PT yang ada di kota besar ada transportasi yang disediakan PT untuk antar jemput.
Dila dan Asri mengangguk-angguk baru mengerti. Lumayan juga punya kenalan yang sudah lebih dulu merantau, jadi bisa cari-cari informasi.
Mereka bertiga sampai di warung makan, dan makan siang bersama.
" Sebagai tanda awal perkenalan, jadi makanan kalian saya bayari, lain kali kalau kalian berdua sudah bekerja dan terima gaji bulanan, gantian kalian yang traktir makan".
Dila dan Asri tersenyum sumringah sambil mengangguk cepat, " terimakasih Mas Evan", ucap mereka serempak.
" Panggilan Evan saja, selisih umur kita kan cuma beda setahun, jadi masih sepantaran lah, panggil nama saja, nggak usah pakai sebutan Mas, jadi merasa tua". protes Evan saat mereka berjalan pulang menuju kontrakan.
" Hehe, siap Mas... eh.. Van", ujar Dila sambil terkekeh.
Mereka bertiga berpapasan dengan beberapa teman Dila yang tadi berangkat bersama, mereka baru mau cari makan siang. Dila tersenyum ramah menyapa mereka, karena sebenarnya Dila juga belum kenal dengan teman-teman yang lain, mereka berasal dari sekolah dan daerah yang berbeda-beda.
" Apa mereka itu teman kalian?", tanya Evan penasaran.
" Mereka berangkat bareng kita, tapi belum sempat berkenalan, di bus mereka asyik ngobrol sendiri-sendiri", jawab Asri.
Dila jadi teringat tadi di bus dirinya juga sibuk ber balas pesan dengan teman-temannya di rumah.
" Aku sampai lupa belum ngabarin bapak dan ibu kalau sudah sampai disini, mereka pasti menunggu-nunggu kabar ku". Dila langsung mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada orang tuanya jika dirinya sudah sampai di Bekasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
El_Tien
maaf aku gak bales bom like kakak ya. tapi aku baca pelan2 cerita nya bagus
2022-04-11
1
VLav
hidup diperantauan ada susah ada senengnya kok 😢
2022-04-09
1