Jelita berbaring di atas sofa dengan mata yang menerawang ke atas langit-langit kamar. Wanita itu tampak merenung memikirkan nasibnya yang kini sebagai istri yang tidak diidamkan. Untuk mundur, sudah tidak mungkin karena mereka sudah sah sebagai suami istri.
"Sekarang aku serahkan semuanya pada-Mu ya Tuhan. Apapun yang akan terjadi nantinya, aku yakin adalah yang terbaik. Sabarkan aku ya Tuhan, untuk mengahadapi sikap suamiku. Semoga suatu saat, pintu hatinya terbuka dan menerimaku dengan ikhlas. Amin,"
Pintu kamar mandi terbuka kembali bersamaan dengan selesainya Jelita memanjatkan doa dan harapannya. Wanita itu sontak berbalik membelakangi ranjang, menghadap sandaran sofa dan memejamkan matanya.
Sementara itu, Gavin menggerakkan ekor matanya melirik ke arah sofa. Pria mengangkat bahunya dan dengan santai beranjak naik ke atas ranjang, tidak peduli dengan Jelita.
Pria itu menyenderkan tubuhnya ke sandaran ranjang sembari memainkan ponselnya.
Tok ... tok ... tok ...
"Gavin, Jelita!" terdengar suara wanita yang tidak lain adalah suara Melinda dari arah pintu.
Gavin sontak melompat dari atas ranjang dan menghampiri Jelita.
"Hei, bangun, bangun!" Gavin menepuk-nepuk pundak Jelita dengan wajah panik.
Jelita membuka matanya, yang tadi sudah sempat tertidur dan berbalik menatap Gavin.
"Ada apa?" desis Jelita dengan lirih, khas orang baru bangun.
" Mama ada di depan pintu. Sekarang kamu naik ke atas ranjang dan tidur di sana. Ingat kamu jangan bersuara sama sekali, dan jangan sampai mengadu apapun!" Gavin tanpa sadar menarik tangan Jelita dan membawa paksa Istrinya itu ke atas ranjang.
"Tapi, kenapa aku harus tidur di sini? bukannya tadi kamu tidak mau kalau ___"
"Diam! jangan banyak bacot! yang jelas sekarang kamu berbaring dan pura-pura tidur! ingat jangan bersuara sama sekali dan jangan mengadu, paham!" Gavin mengulangi perintahnya. Kemudian pria itu melangkah ke arah pintu untuk membukakan pintu untuk mamanya yang dari tadi tidak berhenti mengetuk pintu.
"Ada apa sih, Ma?" Gavin membuat suaranya se malas mungkin, khas orang bangun tidur sembari menguap.
"Mana Jelita? kamu tidak berbuat kurang ajar kan ke dia?" Melinda memasukkan kepalanya ke dalam kamar, untuk melihat keberadaan Jelita menantunya. Dari tadi hati wanita itu merasa tidak tenang, takut kalau-kalau Gavin putranya melarang menantunya itu tidur di sampingnya.
"Jelita sudah tidur, Mah."
"Kamu tidak memintanya tidur di sofa ataupun di lantai kan?" alis mamanya bertaut, curiga.
"Nggak dong, Ma. Apa, Mama curiga dengan anak sendiri?" Gavin berpura-pura memasang raut wajah kecewa.
"Mana tahu kan? karena dari tadi perasaan mama tidak enak,"
"Segitu sayangnya mama sama si kucel itu," batin Gavin, kesal.
Sementara itu, dari sudut mata Jelita, keluar cairan bening sebening kristal, mendengar ucapan mama mertuanya yang sangat menyayanginya.
"Awas, kamu minggir! Mama mau melihat apa yang kamu katakan benar atau tidak," Melinda menyingkirkan tubuh Gavin yang menghalanginya.
Seulas senyuman terbit di bibir wanita setengah baya itu, begitu melihat Jelita yang tertidur di atas ranjang.
"Tuh kan,Mah,.aku tidak bohong," ucap Gavin yang sudah berdiri di belakang mamanya.
Melinda memutar badannya dan tersenyum manis ke arah putranya itu.
"Maaf, kalau mama tadi sempat tidak percaya. Ternyata mama saja yang berpikir berlebihan," ucap Melinda tanpa menanggalkan senyuman dari bibirnya.
"Gavin, tolong sayangi dia. Dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini selain kamu suaminya, mama dan papa. Mama yakin, Nak kalau dia adalah gadis yang baik dan sangat cocok untukmu,"
Lagi-lagi, butiran cairan bening kembali keluar dari sudut mata Jelita yang terpejam. Beruntung, posisinya membelakangi dua orang ibu dan anak itu, sehingga wanita setengah baya itu tidak melihat air matanya.
"Iya, Mah!" terdengar sahutan dari mulut Gavin, yang terkesan terpaksa.
"Ya udah, mama kembali ke kamar dulu ya! ingat pesan mama," Melinda mengayunkan kakinya melangkah ke luar setelah Gavin menganggukkan kepala, mengiyakan.
Sebelum Melinda mencapai pintu, tiba-tiba wanita itu berhenti melangkah dan kembali memutar tubuhnya.
"Ada apa lagi, Mah?" Gavin mengrenyitkan keningnya.
"Emm, apa kalian tidak melakukannya?" tanya Melinda, ambigu dengan nada yang sangat pelan hampir mirip dengan berbisik.
"Melakukan apa?" kening Gavin semakin berkerut dan matanya mengecil.
"Kamu jangan berpura-pura bodoh! Mama yakin kamu sudah cukup dewasa, untuk mengartikan apa yang mama maksud," tutur Melinda, dengan ekspresi jengah, melihat putranya yang menurutnya sedang berpura-pura tidak tahu.
Gavin seketika, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, begitu paham kemana arah pembicaraan mamanya.
"Emm, belum, Mah. Tadi aku masuk kamar, Jelita sudah tertidur," Gavin memberikan alasan berharap mamanya percaya dan tidak bertanya lagi.
"Ohh, begitu?" Melinda mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti.
"Kasiannya kamu! baru malam pertama udah ditinggal tidur," ledek Melinda , sembari mengelus-elus punggung putranya itu.
" Kamu yang sabar ya! masih ada malam-malam lain, untuk kamu dan Jelita membuat cucu untuk mama dan papa. Tiap malam kalian bisa melakukannya, dan mama yakin kalau kegiatan itu bukan kegiatan yang membosankan walaupun dilakukan tiap malam,"
Jelita, hampir terbatuk mendengar ucapan mama mertuanya yang menurutnya terlalu frontal. Untungnya dia berhasil menahan dengan cara menutup mulutnya.
"I-iya, Mah. Sekarang, Mama balik ke kamar ya. Papa pasti bingung, kalau Mama tiba-tiba gak ada di sampingnya,"Gavin terlihat mulai tidak sabar. Pria itu takut kalau mamanya akan tetap berceloteh, tentang sesuatu yang menurutnya tidak berfaedah itu.
"Oh, iya, mama lupa!" Melinda menepuk jidat sendiri. "Papamu pasti kecarian, karena mama tidak pamit keluar dari kamar tadi," dengan tergesa-gesa, Melinda keluar dari kamar Gavin.
Gavin seketika menutup kembali pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam
"Cih, emang siapa yang mau melakukannya Hal itu dengannya? melihatnya saja aku enggan, apalagi menyentuhnya, " gumam Gavin yang masih bisa didengar oleh telinga Jelita.
"Hei, bangun kamu! jangan keenakan tidur di sini!"
Jelita membuka matanya dan duduk. Gavin seketika bergeming, melihat wajah wanita itu yang sembab. Seketika hati pria itu merasa iba, tapi rasa egonya lebih besar dibandingkan dengan rasa ibanya, sehingga rasa iba itu dengan cepat tersingkirkan oleh ego itu.
"Kamu menangis? buat apa kamu menangis? kamu kira air matamu itu bisa membuatku iba? itu tidak mempan sama sekali. Justru air matamu membuat kasurku basah dan kotor, Sekarang kamu kembali ke sofa!" PP
Jelita tidak menjawab sama sekali, karena menurutnya tidak ada gunanya untuk membalas ucapan pria itu. Dia tetap akan kalah. Jelita melangkah, melewati tubuh Gavin begitu saja dan langsung membaringkan tubuhnya di sofa.
Wanita itu, kembali berbaring dengan posisi membelakangi ranjang.
Gavin tercenung, tidak langsung naik ke atas ranjang. Ada perasaan tidak enak yang timbul di dalam hatinya. Pria itu memutar tubuhnya, berbalik melihat ke arah sofa. Tampak bahu Jelita yang turun naik, pertanda kalau wanita itu sedang menangis.
"Apa aku sudah terlalu kejam padanya?" batin Gavin sembari memijat pangkal hidungnya.
"Tidak! kamu tidak kejam, Gavin! ingat jangan pernah tersentuh dengan air matanya. Dia itu hanya berpura-pura di depanmu. Jangan pernah berbuat baik padanya, nanti dia bakal melunjak," rasa bersalah yang tadi sempat singgah, pergi entah kemana, begitu pemikiran negatif tentang Jelita kembali datang ke dalam pikirannya.
"Sepertinya, berbahaya kalau aku masih tinggal di rumah ini. Aku benar-benar tidak leluasa bergerak nantinya. Jadi sebaiknya aku meminta pada mama dan papa untuk mengizinkan kami tinggal di rumah yang berbeda," Gavin kembali membatin sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
SOO🍒
ku sumpahin bucin ntar baru tau rasa loe gavin😡😡
2023-02-02
1
Ely
sabar2....jelita. badai pasti berlalu...🌿🌿🌿
2022-04-02
0
ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀⸙ᵍᵏ
lanjut
2022-03-29
0