Malam ini Raisa dan Elena tidur sangat nyenyak, tanpa terasa adzan subuh sudah berkumandang.
Raisa buru-buru bangun berjalan kekamar mandi, merasakan ibunya bangun Elena mengikuti dari belakang.
Keduanya sholat subuh lebih dulu kemudian Raisa segera memasak untuk sarapan pagi, Elena tak ingin tinggal diam. Sebisanya ia membantu mamanya, jam setengah 6 Raisa mandi dan akan segera berangkat kerja. Elena yang sudah rapi disuapinya dengan sangat telaten, dan membawa bekal untuknya sendiri kemudian melangkah keluar rumah.
Suami dan mertuaku masih tertidur aku sudah berangkat bekerja, Elena masuk ke kamarnya dan main boneka yang kemarin dibelinya bersama sang bunda.
Hari-hari Elena dirumah ia habiskan hanya didalam kamar, bermain sendiri lelah bermain tertidur makan pun gak ada yang memperhatikan.
Elena tak pernah mengadu pada Raisa, tak ingin membuat sang bunda mengkhawatirkannya. Elena juga takut sang nenek akan memukulinya bila mengadu, seperti saat dirinya nangis minta jajan.
"Ca Lo pagi amat datengnya.."
"Daripada kesiangan kan Mel.."
Keduanya bersiap-siap lebih dulu sebelum jam kerja dimulai, tepat pukul 7 mesin-mesin pembuat Jean beroperasi.
Semua karyawan harus sudah siap pada bagianya masing-masing, begitupun dengan siang dan sore hari. Kepala pabrik mungkin kita sebut juga mandor setiap saat mengawasi kerja para karyawannya, mandor bertangguang jawab penuh operasional pabrik beserta karyawannya.
"Ca Lo mau lembur lagi..?" Amel yang melihat Raisa membawa bekal tinggal setengahnya.
"He'em Mel, kebutuhan rumah banyak.."
"Suami Lo suruh kerja Napa ca.."
"Dia udah berusaha nyari Mel, tapi belum dapet aja.."
Amel menghembuskan nafasnya kasar, Raisa terkekeh melihat sahabatnya.
Amel belum menikah tiap hari kerja lembur juga, dikarenakan sebagian penghasilannya dikirim ke kampung halaman untuk membantu adiknya sekolah.
Sedangkan kedua orang tuanya hanya buruh tani, menggarap sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih kurang, Amel sebagai anak pertama bertekat mengubah nasib dikota. Bisa kerja dipabrik udah sangat bersyukur bagi Amel, daripada menjadi beban orang tua.
Sepulang dari lembur seperti biasa Raisa dan Amel bergegas pulang kerumah masing-masing, sesampainya dirumah pukul 22:00 semua anggota keluarga sudah terlelap.
Aku segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berbaring disamping anakku.
Lelahku seharian bekerja seolah sirna melihat wajah polos putriku, kerinduanku seharian aku lambiaskan dengan menciuminya.
Tidur nyenyak nya tidak terusik dengan ulahku, lelah seharian bekerja tidak membuatku berlama-lama mengusik putriku. Raisa segera tertidur dengan memeluk tubuh mungilnya, sumber kebahagiaannya dirumah ini.
Adzan subuh sudah berkumandang Raisa sudah terjaga dari tidurnya kini ia bangkit menuju kamar mandi, selesai dengan ritual paginya Raisa segera memasak untuk sarapan. Dan untuknya membawa bekal, tidak seperti biasanya Elena yang membantunya didapur.
Elena masih tertidur, dan Raisa tak ingin membangunkan putrinya.
Setengah jam berlalu Raisa sudah siap dengan setelan kerja dari pabrik dan alat-alat kerjanya, ia menghampiri elena untuk berpamitan.
Pelan-pelan ia mendekati wajah putrinya dan mencium keningnya, setiap hari sebelum berangkat kerja Raisa selalu menciumi putrinya lebih dulu.
"Loh.. Kok panas.."
Raisa segera bangkit dan menempelkan telapak tanganya pada kening Elena.
"Sayang kamu demam..?"
"Mamamaa... pala ena ******..."
"Ya Allah sayang... kita kerumah sakit ya nak.."
Raisa segera menggendong tubuh mungil putrinya keluar rumah, di persimpangan jalan ia menghentikan angkot yang sedang lewat.
"Pak kerumah sakit.."
"Baik Bu.."
Disepanjang perjalanan mulut Raisa tak henti-hentinya melafalkan do'a untuk kesembuhan putrinya. Air mata sudah tak terbendung lagi.
Dilihatnya tubuh mungil yang ada dipangkuanya, terlihat sangat pucat, bibir yang membiru, tubuh menggigil kedinginan tapi badannya panas.
"Sayang bertahan yaa... Mama sayang Elena.."
Kalimat yang berulang-ulang kali dibisikkan pada putri kecilnya, angkot berhenti persis didepan rumah sakit.
Raisa segera turun dan berlari masuk ke sebuah ruangan yang bertuliskan IGD didepanya.
"suster... dokter.... Tolong selamatkan anak saya.."
Sambil terus menangis Raisa berteriak-teriak memanggil dokter, datang beberapa suster dengan membawa berankar dan menidurkan elena disana.
"Ibu silahkan tunggu diluar dokter akan memeriksa putri ibu.."
Dengan berjalan sedikit terseok-seok Raisa melangkan kakinya keluar, ia mendudukkan tubunya dikursi ruang tunggu.
Tak berapa lama keluarlah seorang laki-laki sekitar 30 tahun berjas putih keluar dari ruang IGD, "Keluarga adek Elena..?" Suara bariton itu mengagetkan Raisa dari lamunan.
"saya ibunya dokter.." Raisa segera bangkit dan menghampiri sang dokter.
"Bisa ikut keruangan saya sebentar..!" Laki-laki itu berjalan memasuki sebuah ruangan. Ruang kerja dokter lengkap dengan meja kerja yang diatasnya terdapat laptop dan tumpukan berkas, lemari kecil tersusun beberapa file disana. Dan satu set sofa mungkin untuknya menerima tamu.
"Silahkan duduk.."Dokter itu menunjuk pada kursi yang berada didepan meja kerjanya, ia kemudian berjalan dan duduk dikursi didepan Raisa.
Seketika dokter menatap mata sayu milik Raisa, dokter baru menyadari betapa cantiknya seorang wanita yang duduk dihadapannya. Tanpa polesan makeup justru terlihat sangat cantik menurutnya.
"Elena anak ibu diagnosa awal saya hanya demam, tapi perlu dilakukan opname karena saya akan terus memantau kondisi Elena. Takut seandainya Elena dibawa pulang terus panas tinggi bisa berakibat kejang.."
Mendengar penjelasan dokter Raisa terus terisak, tak kuasa mendengar kondisi putrinya.
"Lakukan yang terbaik untuk putri saya dokter, saya akan berusaha untuk cari biaya pengobatannya."
"Maaf ibu kalau boleh saya bertanya..?"
"silahkan dokter saya akan menjawab sebisa mungkin..!"
"Kenapa dibeberapa bagian tubuh anak ibuk terdapat banyak memar, apa ibu memukulinya..?"
"Mana mungkin saya memukulnya dokter, saya begitu menyayanginya. mencubitnya aja saya belum pernah bahkan tak akan pernah.."
Air mata Raisa mengalir dengan derasnya, seolah menggambarkan bagaimana perasaanya saat ini.
Setelah melakukan pendaftaran Raisa memasuki ruang tempat Elena dirawat, betapa putrinya yang begitu periang sedang terbaring lemah tak berdaya.
Beberapa alat medis menempel ditubuhnya, selang infus dan selang oksigen dihidungnya.
Aku segera menghambur memeluknya, seolah memberinya kekuatan untuk sembuh. Elena menatapku dengan tatapan penuh kasih.
Ku hujani mukanya dengan ciuman sayang, kupeluk tubuh mungilnya dengan erat. Kulitku menyentuhnya masih terasa panas, suster memberikan nampan berisi bubur padaku untuk Elena.
Aku lupa perut mungilnya belum terisi makanan dari pagi, Elena menghabiskan semangkok bubur dan segelas susu. Anakku bener-bener lapar batinya, perutku yang begitu melilit aku masih bisa menahannya.
Elena yang sudah mendapatkan perawatan membuatku sedikit lega, aku meraih tas kecilku dan melihat ponselku.
Puluhan pesan dan panggilan masuk disana, pasti dari pabrik pikirnya.
Puluhan panggilan dari Amel dan pak Andik mandor nya, Raisa segera menempelkan benda pipih itu ditelinganya.
"Hallo Ca, Lo kemana aja gak jawab telpon ku. kenapa gak masuk kerja..?" suara Amel diseberang sana terdengar mengkhawatirkan dirinya.
"Maaf Mel aku merepotkan, aku lupa mau bilang hari ini gak masuk.." Raisa menceritakan kejadian yang menimpa Elena pada Amel.
"Ya udah Ca nanti aku coba bilang ke pak Andik, soalnya tadi ada kunjungan dari direktur perusahaan. Terus mejamu kosong, aku juga gak tau kamu kemana.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments