“Buya, Umi, keadaan Mas Faris baik-baik saja. Mungkin dia kurang istirahat sehingga seperti ini. Apalagi dia belum pulih benar.” Dokter Aisyah meletakkan stetoskop ke lehernya setelah memeriksa kondisi Melvin yang baru siuman dari pingsannya. Melvin memandang lemah kearah Dokter Aisyah lalu membuang pandangannya kearah luar jendela.
“Mungkin Faris kurang istirahat Nak. Apalagi hari sebelumnya dia jarang tidur. Dia terlalu semangat belajar, sampai tak memperhatikan kondisinya sendiri.” Jawab Buya Hanafi sambil mengelus lembut kepala Melvin yang masih memandang kosong kearah Jendela. Perasaan Melvin tiba-tiba berkecamuk. Antara rasa sakit, rasa gelisah, rasa khawatir, rasa rindu membaur jadi satu.
“Mi, Buya ke Masjid dulu! Para santri sudah menunggu Buya di sana! Tolong jaga Faris dulu sebentar! Setelah mengecek hafalan para santri, Buya langsung pulang kesini!”
“Silahkan Buya! Biar Faris bersama Umi dan Dokter Aisyah disini!” Jawab Umi Fatimah sambil duduk di samping Melvin.
“Buya ke Masjid dulu! Assalamualaikum,” Pamit Buya Hanafi berjalan meninggalkan kamar Melvin menuju Masjid yang berada tidak jauh dari rumahnya.
“Waalaikumsalam.” Jawab serempak Dokter Aisyah dan Umi Fatimah
“Nak makan dulu yah! Dari pagi kamu belum makan. Umi sudah buatkan bubur loh.” Melvin kembali tersadar dari lamunan panjangnya ketika Umi Fatimah mengusap lembut kepalanya.
“Melvin belum lapar Umi.” Sahut pelan Melvin sambil berusaha bangun dari posisi tidurnya. Ia menyandarkan kepalanya di headboard ranjang yang terbuat dari kayu jati.
“Kamu harus makan Nak! Kamu harus sehat! Banyak yang harus kamu lakukan! Jangan seperti ini, masih banyak impian yang belum kamu wujudkan. Mana Faris Umi yang kuat dan tegar? Kenapa jadi melempem kayak gini?” ucap Umi Fatimah dengan berapi-api agar Melvin terpengaruh dengan ucapannya.
“Makan Yah!” Bujuk Umi Fatimah dengan wajah memohon. Melvin menganggukkan kepalanya lemah kearah wanita paruh baya yang kini tersenyum lebar padanya. Umi Fatimah langsung berjalan kearah dapur mengambil bubur untuknya. Sementara Dokter Aisyah masih berada di kamar itu, menemani Melvin yang masih asik terdiam dengan dunianya sendiri.
“Mas, apa yang di rasa sekarang?” Tanya Dokter Aisyah berusaha mencairkan suasana hening itu. Melvin malah asik melihat keluar jendela dengan mode silint-nya. Dokter Aisyah memandang kearah Melvin dengan perasaan sedikit kecewa, karena kehadiran nya merasa diacuhkan oleh Melvin.
Keheningan itu kembali mencair, takala Umi Fatimah datang dengan semangkok buburnya. Ia tersenyum kearah Dokter Aisyah lalu duduk kembali di samping Melvin.
“Umi! Biar saya saja yang menyuapi Mas Faris!” Tawar Dokter Aisyah yang mengambil lembut mangkok yang berada di tangan Umi Fatimah. Umi Fatimah tak bisa menolak, karena mangkok buburnya kini sudah beralih ke tangan Dokter Aisyah.
“Silahkan Nak!” Umi Aisyah bergeser dari posisinya. Ia lebih memilih duduk di kursi kayu yang berada di kamar Melvin.
Melvin nampak memandang bingung kepada Dokter Aisyah yang kini sedang menyondorkan sesendok bubur ke mulutnya. Karena tak enak, Melvin menerima suapan itu. Memakan bubur itu, ia kembali mengingat sosok calon istrinya.
Meida, saya benar-benar merindukan mu! Saya merindukan suapan dari tanganmu ketika saya sakit. Batin Melvin sambil memejamkan matanya. Ia tak ingin lemah dan cengeng ketika mengingat calon istrinya.
“Letakan buburnya di atas nakas saja! Nanti saya akan memakannya sendiri!” ucap lirih Melvin yang masih memejamkan matanya. Mendengar perkataan Melvin, sontak saja wajah Dokter Aisyah memerah karena malu. Tak di pungkiri dalam hatinya terbersit rasa kecewa, atas penolakan Melvin yang terang-terangan padanya.
Melvin menyampingkan posisinya kearah dinding, ketika air mata tiba-tiba menetes di wajahnya.
Meida, saya benar-benar lemah! Merindukanmu, mampu membuat saya menangis.
-
Di ruang ICU.
Keadaan ruang itu cukup mencengkam. Suara peralatan monitoring yang terpasang untuk memantau denyut nadi (Jantung) dan pernafasan, terdengar bagai deting nyaring penjemput kematian. Selang ventilator terpasang di hidung Meida, dengan tangan terifus. Beberapa peralatan medis lainnya terpasang di beberapa tubuh Meida yang masih belum tak sadarkan diri.
Ruang itu di pantau ketat selama 24 jam oleh para Dokter spesialis, Dokter jaga, dan perawat yang kompeten, dengan perawatan yang sangat serius. Dan nampak di luar ruang ICU di jaga ketat oleh para body guard keluarga Atmadja yang sudah stand by dari kemarin untuk menjaga ruang tersebut.
Keluarga besar Atmadja hanya bisa melihat kondisi Meida lewat kaca, karena jadwal besuk masih sangat ketat dan di batasi.
Selama 2 hari ini, Meida mampu melewati masa kritisnya, dan berakhir dengan koma.
“Jo, apa Melvin sudah ada kabar? Apa dia sudah mengetahui keadaan Meida?” Bisik pelan Bi Ina kearah Jonathan yang wajahnya tampak lesu. Jonathan hanya menggelengkan kepalanya lemah dengan pandangan yang masih menatap kearah Meida yang sedang terbaring tak sadarkan diri.
“Sampai sekarang nomor koko tak bisa dihubungi Bu. Koko sepertinya memilih menghilang dari keluarga kita, mungkin karena kita terlalu menyusahkannya hingga koko memilih pergi.” Jawab putus asa Jonathan sambil menyandarkan dahinya di kaca ICU tersebut. Bi Ina menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Jonathan, dengan memegang lembut kepalanya, lalu disandarkan ke bahunya.
“Melvin gak mungkin seperti itu. Ibu percaya sama dia. Mungkin sesuatu telah terjadi padanya, hingga ia menghilang sampai sekarang. Apa kamu sudah menghubungi keluarganya?” Bi Ina mengelus kepala Jonathan yang kondisinya sangat menyentuh hatinya. Sejak kemarin, ia tak beranjak dari ruang ICU sedikitpun, kecuali untuk shalat.
“Nomor mbak Lisa sama Bu, tak bisa dihubungi. Malahan Jo dan Jack pernah datang ke rumahnya, tapi di jaga ketat. Kami tak diizinkan masuk, hanya bisa mengawasi dari kejauhan.” Jawab pelan Jonathan yang memandang nanar kearah Meida. Sementara Johan dan Gilbert sedang menyandarkan kepalanya di kaca. Keadaan mereka sama-sama berantakan, dengan kantong mata hitam yang memerah dengan pakaian yang digunakan sama dengan yang dikenakannya kemarin. Helena masih menangis dipelukan Dian. Setelah sadar dari pingsannya, ia lebih memilih menunggu putrinya, walaupun keadaannya belum pulih 100%.
“Jaslin, Mommy harus apa?” ucap Zaina yang sudah beberapa kali di ulang. Ia tak berhenti menangis sejak kemarin. Setelah mendengar musibah yang menimpa pada putrinya, ia sempat beberapa kali pingsan, dan baru sekarang kembali tersadar.
“Jo, apa kita coba ke rumahnya lagi? Mudah-mudahan sekarang mereka mengizinkan kita untuk masuk. Ibu hanya ingin bertemu Melvin dan memastikan keadaannya. Ibu hanya ingin menagih janji-janjinya untuk mencintai cici-mu.”
-
Jam 12 Malam. Melvin masih berada di masjid dengan Al-Qur’an yang berada di depannya. Sesekali ia menghapus air matanya dan kemudian melanjutkan bacaannya. Ia berusaha mengalihkan perasaan rindunya dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an, dengan harapan perasaan rindu dan gelisah itu hilang.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Melvin membaca ayat itu berulang-ulang kemudian kembali menangis tergugu. Ia tak mampu melanjutkan bacaannya. Ia tak bisa menahan perasaan sedih dan gelisahnya ketika membaca Ayat tersebut.
Yaa Allah, saat saya kehilangan harapan dan rencana, tolong ingatkan saya bahwa cinta-Mu jauh lebih besar daripada kekecewaan saya, dan rencana yang Engkau siapkan untuk hidup saya jauh lebih baik daripada impian saya. Lirih Melvin sambil menutup Al-Qur’an itu lalu menciumnya dengan berderai air mata.
Yaa Allah, saya sangat yakin, jika cinta sejati akan datang tepat waktu. Itulah sebabnya saya akan selalu berharap dan bertahan meskipun pernah merasa kecewa.
Yaa Allah yang maha membolak-balikkan keadaan. Mungkin sekarang kami ditakdirkan untuk saling berjauhan, tapi Saya yakin, Kau juga akan membuat kami berdekatan kelak.
Yaa Allah, Jika bukan karena keyakinan saya bahwa takdir-Mu lebih indah dari segala rencana saya, mungkin saat ini saya sudah menyerah dengan hidup ini.
Melvin kembali meletakkan Al-Qur’an di rekal (Meja lipat Al-Qur’an) lalu mendongkakkan kepalanya kearah lampu yang berada diatasnya.
Untukmu yang jauh di sana, saya harap engkau selalu menjaga hatimu. Seperti saya di sini yang senantiasa menjaga hati saya.
Meida, mungkin mendoakanmu dari jauh adalah cara terbaik agar saya bisa memelukmu dalam rasa rindu ini.
Parau Melvin sambil menghapus air matanya. Ia tak menyadari kehadiran Buya Hanafi yang dari tadi sudah berada di belakangnya. Buya Hanafi pun menyahuti ucapan pelan Melvin.
“Hati yang sedang diuji kesabaran itu memang pahit pada awalnya. Tapi percayalah, ia akan manis di akhirnya. Jadi bersabarlah,nsemoga kesabaran ini berbuah kebaikan.” Melvin langsung menghapus air matanya lalu membalikkan tubuhnya. Ia nampak terkejut dengan kehadiran Buya Hanafi yang sudah berada di belakangnya.
“Buya, sejak kapan Buya ada disini?” Buya Hanafi tersenyum lembut dengan menaikan sebelah alisnya.
“Barusan! Buya mengecek kamarmu, tapi kosong. Jadi Buya kesini, karena Buya yakin kamu pasti ada disini.” Jawab Buya Hanafi. Padahal dia sudah lama berada disitu, sejak pertama kali Melvin menangis. Ia memahami kegalauan yang berada di hati anak angkatnya. Melvin menundukkan kepalanya malu, karena Buya Hanafi kembali memergokinya ketika sedang menangis.
“Nak, Yakinlah! Ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit.” Melvin mengangkat wajahnya menatap wajah lelaki paruh baya yang nampak bersinar dengan aura wibawa yang penuh ketenangan.
“Menanti itu berat, kamu perlu banyak bekal agar kuat. Dan bekal itu ialah dengan mendekatkan diri kepada Allah.” Terang Buya Hanafi sambil menyilakan kakinya. Mereka duduk berhadapan, seperti seorang Ayah yang sedang memberikan anaknya petuah.
“Buya, bagaimana caranya melawan rasa rindu? Semakin saya mengabaikannya rasa ini, rasa ini malah semakin menyesakkan hati saya. Rasanya hati saya seperti akan meledak menahan rasa rindu ini. Saya lemah Buya! Saya lemah dalam menahan rasa ini!” Curhat Melvin dengan wajah menunduk. Buya Hanafi mengangguk-nganggukan kepalanya dengan tersenyum. Karena melvin mulai terbuka mengenai perasaannya. Buya menarik nafas dalam, lalu melepaskan peci putihnya.
“Tubuh dibersihkan dengan air. Jiwa dibersihkan dengan air mata. Akal dibersihkan dengan pengetahuan. Dan Jiwa dibersihkan dengan cinta” Buya Hanafi menjeda ucapannya. Ia menatap langit-langit masjid lalu kembali menatap kearah melvin yang masih menundukkan wajahnya.
“Tapi Ingatlah, Allah selalu memberikan kelebihan di balik kekurangan. Allah juga selalu memberikan kekuatan di balik kelemahan. Mungkin bisa jadi rasa lemah itu, malah yang akan menguatkanmu untuk bertahan.”
“Nak, mungkin sekarang kau berada jauh dari orang yang kau cintai, tapi yakinlah suatu saat nanti kau akan berkumpul dengan mereka. Jarak mengajarkan banyak hal, bersabar menanti pertemuan, selain rasa percaya. Walau tak saling bertatap mata, dan saling bersua.” Melvin menghapus air matanya dengan mengangkat wajahnya. Lalu ia tersenyum kearah Buya yang sedang menatapnya dengan tatapan hangat penuh rasa sayang.
“Jangan terlalu bersedih, karena pertolongan akan selalu datang bersama dengan kesabaran.” Buya Hanafi mengelus lembut kepala Melvin yang terhalang oleh peci hitam yang dikenakannya.
“Sekarang kamu istirahat sudah malam. Kamu belum benar-benar pulih. Jangan terlalu memforsir diri, karena kesehatanmu paling utama. Ayoo kita pulang!” Buya Hanafi menuntun Melvin untuk berdiri. Lalu menggandeng bahunya keluar dari masjid itu.
-
Assalamualaikum cici ...
Lirih Jonathan yang mengenakan gaun luar lengkap dengan sarung tangan dan maskernya menutupi pakaian yang dikenakannya. Ia memegang lembut tangan meida dengan tersenyum getir.
Cici sadarlah ... Maafkan jo, karena menolong jo, cici jadi seperti ini... Bisik parau Jonathan di telinga Meida.
Jo tidak bisa memaafkan diri jo sendiri melihat cici seperti ini, jo yang salah. Seharusnya cici tak datang kesana, seharusnya cici mengabaikan ancaman itu...
Ruang itu kembali hening, yang terdengar hanyalah suara Elektrokardiogram, alat pemicu kehidupan Meida, dan isakan lirih Jonathan yang mengaitkan jari-jarinya ke celah tangan Meida yang terasa dingin.
Cici adalah wanita kuat dan tangguh yang Jo kenal. Wanita luar biasa yang hadir di hidup Jo. Jo sangat berterima kasih sama Allah, karena Allah menghadirkan cici di hidup Jo yang kesepian dan kini berubah menjadi berwarna.
Bukankah cici ingin memiliki keluarga yang bahagia? Keluarga yang saling menyayangi? Sadarlah! Mari kita wujudkan sekarang.
Jonathan kembali menangis dengan menggigit bibirnya.
Ci, bangunlah ...
Sebentar lagi cici akan menikah dengan lelaki yang cici cintai ... apa cici akan melewatinya begitu saja? Sadarlah! Mari kita persiapkan pernikahan yang cici inginkan, bukahkah sebentar lagi? Lirih Jonathan sambil mencium tangan meida. Ia tak mampu menyembunyikan isakan tangisnya, hingga air matanya membasahi tangan Meida yang terpasang selang infus.
Apa cici betah disana karena Ko Melvin belum datang menemui cici? Ci, sadarlah! Ko Melvin pasti datang, dia sangat mencintai cici. Dia tak mungkin mengingkari janjinya. Jo janji akan membawa ko Melvin kesini, jika dengan kedatangan ko Melvin mampu menyadarkan cici. Asal cici janji, setelah koko datang cici harus sadar!
Janji Jonathan yang begitu saja terucap dari bibirnya. Padahal ia tak mengetahui sama sekali dimana keberadaan Melvin sekarang.
Ko, dimana koko sekarang? Datanglah temui kami! Kami sangat membutuhkanmu! Gumam pelan Jonathan menatap dalam wajah Meida dengan binar kesedihannya.
-
-
☕☕☕☕☕😘😘😘😘
Jangan lupa
Like, komen, vote, rate, sareng hadiahnya 🤗😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Shănţý Rămađhãň
baru kali ini baca novel sampe nangis 👍👍👍👍👍👍👍
2022-05-08
0
Nurul Fatimah
thor... aq mewek dr awal baca mpe ini 😭😭😭
2022-05-01
0
Nurcute
😭
2022-03-13
0