"Bang Sat sejak kapan disitu?" ujar Zena mendapati Satya berdiri di ambang pintu saat hendak mengambil piring untuk wadah masakannya.
"Yang sopan!" tukas Satya.
Zena mengernyitkan dahinya tidak mengerti "Apa yang salah?" Pikirnya lalu tak ambil pusing, melanjutkan aktivitasnya.
"Ya ampun gadis ini!" Memijit pelipisnya.
"Bang makanlah dulu!" tukas Zena sambil sibuk memasukkan makanan yang sudah di disahkan ke dalam rantang.
Satya malah diam, dia masih tidak terima dikatai bangsat oleh gadis kecil itu "Katakan apa maksudmu mengataiku bangsat?!" Mencengkram tangan Zena.
"Heh! apa maksudmu?" Menghempas tangan Satya.
"Aku bertanya mengapa kau mengataiku bangsat? Aku tidak mengganggumu, aku cuma melihat kelihaian masak apa itu membuatmu tidak senang?" Cecar Satya.
Zena menghela nafas kasar menahan dongkol dihati terhadap pria di depan mata yang sensi itu.
"Hei bang apa kau sedang datang bulan, makanya otakmu begitu kotor menuduhku yang tidak tidak!"
"Apa maksudmu?" Kembali bertanya.
"Kalau begitu ubah saja namamu jangan Satya, karena otakmu tak bisa menyerap omonganku dengan baik!" Zena berkata seraya menatap nanar wajah Satya, rasanya ingin sekali dia meninju wajah pemuda itu.
"Ma.. Maaf," ucap Satya merasa tak enak setelah otaknya nyambung seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal " Memalukan sekali kau Sat!" Makinya pada dirinya sendiri.
Zena diam saja malas meladeni pria lambat loading itu, setelah rantangnya siap ia langsung melenggang ke luar rumah meninggalkan Satya yang mematung dikerubuti rasa bersalah.
"Dasar pria gila!" gerutu batin Zena meraih sepeda ontelnya.
"Hei tunggu!" Panggil Satya, Zena menurunkan satu kakinya yang sudah terangkat hendak naik sepeda.
Zena menghela napas kasar sambil memutar bola matanya malas "Ada apa lagi bang?" Ucapnya terdengar tak bersahabat di telinga Satya.
"Eh.. Anu.. Yang tadi abang minta maaf," ucapnya kikuk.
"Iya!" jawab Zena singkat lalu duduk sempurna di atas sepeda.
"Udah ya aku pergi dulu nanti nenek lapar terlalu lama menunggu." Mulai mengayuh pedal sepeda namun sepedanya tak bergerak karena Satya menahannya.
"Apa lagi sih bang!" ketus Zena kesal dengan tatapan tidak suka.
"Aku antar!" Kata itu meluncur dari mulut Satya.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri!"
"Ayolah, anggap saja sebagai permintaan maafku atas tuduhan tadi."
"Aku sudah maafin abang, tapi tidak perlu mengantarku."
"Please lah jangan membuatku terus terus merasa bersalah, izinkan aku menebusnya dengan cara menjagamu."
Zena hendak muntah mendengar peryataan menggelikan Satya yang menurutnya berlebihan, toh selama ini sebelum dirinya ada dia baik baik saja.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, ini kampungku."
"Kau tidak memaafkanku?" Satya terlihat putus asa.
"Aku sudah memaafkan abang! Astagfirullah," ucapnya geram kemudian beristighfar.
"Kau tidak memaafkanku, buktinya kau tidak mau aku temani."
"Hugh! Menyebalkan sekali!" umpat Zena dalam hati.
"Baiklah baiklah mari temani aku." Dengan terpaksa zena turun dari sepedanya lalu duduk di bonceng Satya dengan wajah masam.
Di sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan antara dua orang itu, hanya terdengar suara dengungan nyamuk dan suara hewan lainnya yang mengiringi.
"Zen berapa lama lagi sampainya?" tanya Satya membuyarkan lamunan gadis dibelakangnya.
"Ha? Kok kenapa kesini? Kita sudah terlewat jauh, harusnya belok kanan tadi," ujar Zena seraya melirik sekelilingnya yang berupa hutan jati.
"Kamu diam saja, aku pikir tetap lurus," jawab Satya tanpa dosa.
"Bugh!" Zena memukul punggung Satya, kekesalannya semakin bertambah.
"Aduh, kamu kasar sekali jadi wanita." Mengehentikan sepedanya.
"Ku pikir abang tau jalannya, kalau tidak tahu kenapa tidak bertanya!" Ketus Zena turun dari sepeda.
"Maaf aku lupa." Berdiri di samping gadis yang tengah marah itu.
"Apa jangan jangan abang sengaja bawa aku kesini mau berbuat macam macam? maaf bang aku bukan cewek murahan, kalau mau seperti itu cari saja wanita lain!" Tuduh Zena seraya menunjuk kearah wajah Satya dengan tatapan curiga.
"Astagfirullah Zen Zen, pikiranmu terlalu jauh. Aku tak mungkin tertarik pada tulang belulang sepertimu lagi pula kau bukan tipeku!" Balas Satya.
"Baguslah!" sahut Zena bersilang dada memandang pepohonan hijau.
"Seksi begini dibilang tulang belulang." Kesal Zena dalam hati tak mau berdebat lagi.
Tiba tiba seekor anjing besar berwarna hitam muncul dari balik pohon dan langsung menggonggong dikala melihat mereka. "GUK! GUK! GUK!"
"Astagfirullah!" Istighfar Zena namun kakinya terpaku di bumi seraya mata membulat, tubuhnya gemetaran namun tak bisa bergerak.
Satya menarik Zena yang mematung barulah gadis itu dapat naik ke atas sepeda, dengan kaki yang juga gemetaran Satya mulai mengayuh pedal sepeda, badannya juga sudah terasa dingin karena Anjing itu terlihat sangat ganas.
Melihat dua manusia itu menjauh si anjing malah mengejarnya sambil terus menggonggong seakan tak ingin kehilangan jejak orang itu.
"Bang cepat bang, anjingnya mengejar kita!" ucap Zena panik dengan suara bergetar, sudut matanya mengeluarkan cairan bening.
"Jalannya yang mana?" tanya Satya bingung, seketika otaknya nge-blank tak ingat jalan pulang.
"Terserah, yang penting kita lolos dulu dari anjing itu."
Satya mengayuh sepedanya secepat mungkin tak tentu arah, yang dipikirkan sekarang dapat lolos dari kejaran anjing di belakangnya, kalau kena gigit bisa kena rabies pikirnya.
"GUK! GUK! GUK!"
Ayo bang lebih cepat lagi! dia semakin dekat." Desak Zena sambil terus menoleh ke belakang melihat Anjing yang belum berhenti mengejar mereka.
Tak sengaja roda sepeda mereka tersandung akar pohon, Satya kehilangan keseimbangan dan sepeda mereka melaju semakin kencang tak tau kemana apalagi jalannya menurun.
"Aaaa! Nenek aku masih ingin hidup!" teriak Zena histeris sambil berpegang erat pada pinggang Satya.
"Cret! " Baju Zena robek akibat tersangkut ranting pohon.
"Rem nya kenapa gak berfungsi?" Panik Satya seraya terus menekan tali rem.
"Rem nya memang sudah rusak, letakkan sandal abang di roda agar sepedanya berhenti."
"Apa?! " Satya semakin panik dengan sepedanya yang tak terkendali lagi.
"Awas bang ada pohon!" teriak Zena menunjuk sebatang pohon yang sudah roboh di depannya.
"Aaaaa!" teriak keduanya bersamaan.
"Bugh!" Sepeda menabrak pohon yang sudah lapuk, mereka pun terjatuh.
"Aduh sakitnya." keluh Zena merasakan sakit di seluruh tubuhnya.
"Badanku juga sakit Zen, kamu kira kamu saja." Satya bangkit namun masih sempoyongan.
"Kita ada dimana?" Satya memandang ke sekeliling hanya berupa pepohonan.
"Di hutan, di pinggir kebun orang," tukas Zena sambil merintih kesakitan.
"Kamu tahu jalan pulang?"
"Pasti tau, aku anak kampung sini tapi jauh."
"Bantu aku bangun Bang." Tambahnya seraya mengulurkan tangan kanan, tangan kirinya memegangi pinggang.
"Bangun sendiri!"
"Dasar pria jahat!"
"Baiklah, sini ku bantu." Memegang tangan Zena karena tak mau dianggap jahat.
Satya mencoba membantu Zena. " Berat sekali gadis ini, apa dia makan batu?" keluh Satya dalam hati.
Zena masih belum bisa bangun, Satya terus mencoba menarik tangan gadis muda tersebut.
"Yang serius bang bantuinnya, badan saja yang besar, narik aku saja tidak bisa!"
"Kamu berat Zen." Satya keceplosan, ia lupa kalau wanita sangat sensitif masalah berat badan.
"Apa?!"
"Bugh!" Zena menendang kaki Satya dengan keras membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpa tubuhnya.
Wajah mereka sangat dekat hanya berjarak beberapa senti saja. Zena dapat dengan jelas melihat wajah tampan Satya, bola mata cokelat, bibir tipis, hidung mancung & garis wajah yang tegas.
Satya juga sama, memperhatikan wajah manis Zena, bibir merah delima dan lesung pipi di kiri, mata sipit dan hidung pesek.
"Astagfirullah," ucap seseorang mengejutkan mereka berdua.
Sontak Satya langsung bangkit begitu juga Zena dengan tertatih karena pinggangnya masih terasa sakit.
"Pak... Bapak... Bapak... " teriak ibu itu dengan suara lantang.
"Ada apa bu? " Suaminya tergopoh gopoh menghampiri ibu tersebut.
"Lihat pak, mereka berbuat tidak senonoh di kebun kita!" Menunjuk dua anak manusia tersebut.
"Astagfirullah, bu ayo panggil warga yang lain biar kita bawa merek ke rumah RT," ujar si bapak membuat Zena & Satya spot jantung mendengarnya.
"Bu, pak maaf ini salah paham. Ini tidak yang seperti kalian pikirkan." Satya mencoba menjelaskan.
Namun pasangan suami istri itu tidak menggubris ucapan Satya, suami ibu tersebut tetap memanggil warga tanpa mau mendengarkan penjelasan dari muda mudi itu sementara si ibu yang memergoki menunggui Zena & Satya agar tidak kabur.
Sepuluh menit kemudian segerombolan warga datang menggunakan motor.
"Astagfirullah, itu kan Zena cucu nya nenek Uti," ujar ibu ibu yang merupakan tetangga mereka.
"Iya, tidak disangka ya. Saya kira Zena itu anak baik-baik eh ternyata tidak sepolos yang terlihat," sahut ibu lainnya yang juga merupakan tetangga sang nenek.
"Betul itu, kelihatannya tidak pernah pacaran ternyata mainnya sembunyi-sembunyi," timpal ibu lainnya.
"Ibu-ibu kami bisa jelaskan semuanya, ini tidak yang seperti kalian pikirkan." Zena berusaha mencoba untuk menjelaskan.
"Sudah! Maling mana ada yang ngaku, " tukas pak bapak bapak dengan perut buncit.
"Kita bawa saja mereka ke rumah pak RT biar bisa di nikahkan, karena mereka sudah mengotori kampung kita." Tambah bapak lainnya.
"Apa nikah?" Seru Satya dan Zena bersamaan lalu saling berpandangan.
"Tidaakkk!" pekik hati mereka, menggelengkan kepalanya.
"Pak, buk saya mohon dengarkan dulu penjelasan kami," ujar Satya masih berusaha mau menjelaskan namun tampaknya warga tidak perduli.
"Iya Pak, Buk kami akan jelaskan yang sebenarnya terjadi." Tambah Zena lagi.
"Sudah bawa saja mereka, jelaskan nanti saja di rumah pak RT."
Sepasang anak manusia itu di giring ke rumah pak RT, Zena sampai menangis karena kesialan hari ini, satu orang bapak bapak di tugaskan memanggil nenek dari Zena.
"Pak, Buk saya mohon dengarkan dulu... "
"Sudah diam!" ketus ibu ibu yang memegangi Zena.
"Sudah tertangkap basah juga masih berkilah." Tambah ibu ibu lainnya.
"Betul itu, buktinya saja baju kamu robek." Menunjuk pundak Zena yang terekspose.
"Tadi saya mendengar Zena mengeluh kesakitan, saya kira cuma halusinasi saja teryata ada yang sedang nyoblos." timpal ibu pemilik kebun.
"Masih tidak menyangka saya."
"Sama, saya juga."
"Jatuh dari sepeda dan terhempas ya sakit lah buk," ketus Zena geram.
"Sudah diam! Jangan banyak alasan?!" sahut ibu yang memegangi Zena.
Sementara nenek Mutia sudah menunggu cucunya sambil terus menatap ke arah jalan berharap Zena segera muncul sebab perutnya sudah berdemo sejak tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn
kshn bgt mrk
2022-04-09
2
Perempuan Terindah
Bang sat😂😂 kalau gak diterusin bahaya emang, bisa bikin salah pukul🤣🤣
2022-03-15
4
Ria Diana Santi
😆 kalau di sambung mang benar jadinya bang-sat. Tapi kalo di pisah ya bukan lah. Satya, pikiran kamu itu harus di jaga ya. Biar gak salah paham mulu ke Zena. 🤦🏻♀️
2022-03-04
1