Workaholic

Angin berhembus lumayan kencang, langit yang semula cerah kini di hiasi awan hitam, dengan di iringi suara petir yang memekakkan serta kilatan-kilatan putih yang terlihat begitu mengerikan. Cuaca siang hari ini begitu buruk seperti akan terjadi badai.

Di dalam ruangan yang tidak bisa di katakan kecil, yang hanya di isi oleh dua orang saja terlihat begitu lengang. Tidak ada percakapan meskipun mereka berada di dalam 1 ruangan yang sama, keduanya disibukkan dengan kesibukan masing-masing.

Sepasang mutiara coklat milik Devan tak lepas sedikit pun dari tumpukan dokumen yang ada di atas meja, sementara Jessica yang merupakan Sekretaris Devan tengah di sibukkan dengan layar monitor di depannya.

Suasana di dalam ruangan CEO itu begitu dingin seperti suasana di luar sana yang mulai turun hujan.

Dingin bukan dalam artian yang sebenarnya, melainkan sebuah kiasan untuk menggambarkan kebersamaan mereka yang sejak beberapa jam lalu hanya di isi keheningan.

"Presdir! Ini sudah waktunya...!"

"Kau duluan saja." Perintah Devan menyela ucapan Jessica. Matanya masih tetap fokus pada dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya.

'Huft'

Jessica menghela nafas panjang. Mematikan laptop-nya, gadis itu beranjak dari posisi duduknya. Setelah membungkuk dan ijin pada Devan untuk makan siang, gadis itu melenggang dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan.

Cklekk!!

Selang beberapa saat setelah kepergian Jessica. Sosok jangkung mendatangi ruangan Devan dan tanpa permisi orang itu merebahkan tubuhnya pada sofa di tengah ruangan itu.

"Di mana, Jessica? Kenapa aku tidak melihatnya? Apa dia tidak masuk hari ini?" tanya orang itu seraya bangkit dari posisi berbaring nya.

Devan melepaskan kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya, kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari pendingin yang ada di sudut ruangan.

"Dia sedang keluar untuk makan siang." Devan meletakkan sebotol wine dan dua gelas kosong di atas meja. "Apa yang membawamu kemari? Tidak biasanya kau mengunjungi ku di saat jam kerja," ucap Devan kemudian meneguk sedikit wine nya.

"Ralat! Tapi jam makan siang, ini bukan lagi jam kerja Tuan Muda Zhang!! Mengerikan, workaholic sepertimu sungguh tidak mengenal waktu!!"

"Apa semua pekerjaanmu ini lebih penting dari kesehatanmu sendiri? Seharusnya yang kau pikirkan bukan hanya pekerjaan saja, namun dirimu juga." Nasehat pria itu pada sahabat karibnya tersebut. Devan mendengus lelah.

"Berhentilah menjadi nenek-nenek menyebalkan Aria Winata, dan tidak perlu bersikap terlalu berlebihan. Toh sudah biasa aku bekerja seperti ini."

"Terserah kau saja, Tuan Workaholic!" balas Aria menimpali.

Devan terkekeh. Dan memang hanya Aria lah yang sangat peduli padanya. Yang selalu mengingatkan Devan untuk menjaga dirinya. Devan merasa beruntung memiliki sahabat seperti Aria.

Cklekk!

Decitan pintu di buka dari luar menyita perhatian dua pria mapan di dalam ruangan itu.

Keduanya menoleh pada sumber suara. Seorang gadis bersurai coklat terang memasuki ruangan sambil menenteng sebuah bingkisan di tangan kirinya yang langsung ia berikan pada Devan. "Apa ini?" Devan menatap bingung gadis itu.

"Makan siang, aku tau kebiasaan buruk mu itu. Kau suka melewatkan jam makan siang mu. Tidak usah berfikir yang tidak-tidak, dan aku tidak memiliki maksud apa pun, apalagi mencoba mencari perhatian darimu karena bagaimana pun aku bukanlah salah satu dari fans-fans gila mu itu."

"Dan aku pertegas lagi, kau bukanlah tipeku sama sekali. Aku membawakan mu makanan karena aku tidak ingin menjadi pengangguran lagi gara-gara kehilangan bos-nya yang mati karena kelaparan." Jessica nyerocos tanpa jeda, dan segera menarik nafas dalam-dalam setelah menyelesaikan ucapannya.

"Hn!" Devan memandang Jessica, yang kemudian di balas anggukan tipis oleh gadis itu.

"Sica?" Dari Devan, Jessica menggulirkan pandangannya pada pemuda jangkung yang juga berada di dalam ruangan itu. Senyum ceria seketika mengembang menghiasi wajah cantik Jessica melihat siapa orang itu.

"Aria?!"

"Lama tidak bertemu, Nona Alexander. Kau terlihat semakin baik saja."

"Ya, begitu seharusnya. Jika saja tidak ada yang membuat mood ku naik turun setiap harinya." Ujarnya sambil melirik Devan. "Dan bagaimana kabar Sania? Dia dan janinnya baik-baik saja bukan?" tanya Jessica menambahkan.

Devan terkejut, sontak ia menoleh dan memandang Aria dengan tatapan horor. "Kau menghamilinya sebelum menikahinya?" pria yang selalu memasang wajah dingin tanpa ekspresi itu menatap sahabatnya itu tidak percaya.

Aria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian mengangguk kaku. "Ya begitulah." Devan mendengus, ternyata penyakit lama sahabatnya itu memang tidak pernah bisa sembuh.

Devan menggelengkan kepalanya, kemudian beranjak dan lekas kembali kemejanya tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang Jessica bawakan untuknya.

Bukan karena Devan merasa ragu atau berfikir jika ada racun di dalam makanan itu. Tapi Devan memang tidak sempat karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.

"Sudah waktunya aku kembali bekerja. Sica, Devan. Aku pergi dulu." Pamit Aria yang segera melesat keluar.

Lagi-lagi keheningan menyelimuti kebersamaan Devan dan Jessica. Aura dingin yang begitu kental di dalam ruangan itu begitu terasa.

Keduanya di sibukkan oleh pekerjaan masing-masing, sesekali Jessica menatap serius pada bos-nya yang super dingin, yang tengah membolak-balik dokumen yang ada di tangannya dengan tenang.

Ekspresi yang dia tunjukkan benar-benar mendukung suasana dalam ruangan itu.

Sekali lagi Jessica memperhatikan penampilan Devan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebuah celana bahan hitam, kemeja putih yang lengannya di gulung sampai siku, dengan balutan Vest hitam berkombinasi abu-abu yang menjadi lapisan luar kemejanya, dan rambutnya yang di tata rapi dengan sedikit menjuntai jatuh di atas dahinya.

Untuk sesaat Jessica melupakan bagaimana caranya bernafas. Ini kedua kalinya ia bertemu dengan sosok pria yang begitu sempurna, setelah kekasihnya yang sudah meninggal 4 tahun yang lalu.

"Sica, kemari lah!"

Merasa terpanggil. Gadis itu pun bangkit dari posisinya kemudian menghadap sang atasan yang duduk dengan tenang di balik meja kerjanya.

"Ya Presdir!"

"Semakin hari kerjamu semakin baik saja! Tidak sia-sia aku menunjuk mu sebagai Sekretaris ku." Komentar Devan masih sambil terus membaca tulisan-tulisan di dalam dokumen itu

"Tapi aku belum cukup puas dengan hasil ini, dan kau harus berusaha lebih baik lagi untuk semakin memajukan perusahaan ini."

"Baik Presdir, saya akan bekerja lebih giat lagi." Segera Jessica menutup mulutnya yang menurutnya sangat kelewatan itu.

Jessica hanya merasa terlalu bahagia karena setelah satu bulan lamanya, ini pertama kalinya Devan memuji dirinya.

Devan melepas kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya, kemudian memijit pelan keningnya.

Kepalanya terasa pening, semua pekerjaan-pekerjaan ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Devan menumpuhkan sikunya di atas meja, pandangannya tertuju pada Jessica yang berada di dalam satu ruangan dengannya.

"Kau memang berbeda dengan sekretaris ku yang sudah-sudah, Jess!" Ucapnya pelan nyaris tak terdengar.

Devan merasa lega karena setelah sekian lama, akhirnya Ia bisa memiliki Sekretaris yang membuatnya merasa tenang.

Selama beberapa tahun ini, setidaknya ada 10 Sekretaris yang Devan pecat secara tidak hormat. Mereka selalu bersikap genit dan mencoba mencari muka di depannya dan hal itu membuat Devan merasa sangat muak.

Selain tidak berguna, mereka seperti kumpulan wanita penghibur yang selalu mencoba menarik perhatiannya dengan pakaian bak kurang yang mereka kenakan.

Getaran pada ponsel yang tergeletak di atas meja membuat perhatiannya teralihkan. Devan mendesah panjang, itu adalah kakeknya dan Devan tau betul apa alasan kakek tua itu menghubunginya.

Mata coklatnya menatap layar ponselnya dengan sedikit tidak berminat, nama yang tertera di layar tipis itu membuatnya sangat jengkel.

Dengan berat hati Devan pun menjawab. "Ada perlu apa kakek menghubungiku? Aku sedang sibuk di sini."

"Cucu bungsuku! Apa kau sudah menemukan calon mu? Ingat, waktumu hanya 1 minggu lagi. Temukan gadis pilihanmu atau kau pasrah dengan perjodohan yang telah kakek persiapkan."

"Aku tau kakek, dan aku tidak pura-pura amnesia. Jadi tidak usah bersikap dramatis."

Terdengar tawa kecil dari seberang sana."Kakek hanya memastikan, Nak! Dan kakek sudah tidak sabar melihatmu menikah kemudian memiliki anak, hanya itu. Hahaha!"

'Tut! Tut! Tut!' sambungan telfon pun terputus.

Dengan marah Devan membanting ponselnya membuat orang yang berada satu ruangan dengannya terlonjak kaget karena ulahnya.

Devan kembali memijit keningnya, urusan di kantor sudah membuatnya pusing setengah mati dan sekarang kakeknya menambah beban pikirannya.

Devan merutuki kebodohannya yang menjanjikan 1 bulan pada sang kakek untuk membawa calon istrinya, karena tidak sudi jika harus di jodohkan dengan pilihan bapak tua itu.

Tapi yang menjadi masalahnya, hingga detik ini Devan belum menemukan calon yang tepat. Jangankan calon, teman wanita saja Devan tidak punya.

-

Bersambung

Terpopuler

Comments

Rebbeca Kim

Rebbeca Kim

Seru

2022-02-07

1

Lisa

Lisa

Iya aku ingat banget sama cerita ini. Disini ternyata sica pacar kakaknya Devan yang meninggal kan

2022-02-07

0

Salsa

Salsa

Aku masih memantau, belum ada tanda2 cinta kah?🤔🤔

2022-02-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!