Aska mengusap rambut keponakannya ketika menasihatinya. "Belajar dari mana kata-kata itu?" tanya Aska pada Gavin.
"Daddy telalu bilang tepelti itu."
"Anak gua dewasa sebelum waktunya," timpal Aksa yang baru saja tiba di kantin. "Diajakin curhat mulu sama uncle-nya."
Aska tertawa mendengar ucapan dari sang abang sedangkan Gavin sudah duduk di pangkuan sang ayah. Mungkin bagi sebagian orang tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh bocah dua tahun kepada sang paman. Namun, pada nyatanya Gavin adalah anak yang mendapat pendidikan parenting yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Pola pikir anak tergantung pola pikir pengasuh, yaitu kedua orang tuanya. Itulah yang menyebabkan Gavin bisa menerima dengan mudah apa yang diucapkan oleh sang ayah.
"Mommy nana?" tanya Gavin.
"Masih di ruang ICU. Empin sama Daddy dulu, ya."
Aska akan menggelengkan kepala jika melihat ayah dan anak itu. Kalau tidak ada Riana mereka akan sangat akrab, tetapi jika Riana hadir Gavin seolah memusuhi ayahnya karena tidak memperbolehkan ayahnya dekat dengan ibunya.
"Kenapa lu keluar?" sergah sang adik kepada Aksa yang' tengah mengusap lembut rambut sang putra.
"Dokter bilang gantian. Jangan banyak-banyak." Aksa menjeda ucapannya. Terdengar helaan napas kasar yang keluar dari mulutnya. "Gua gak tega lihat Daddy."
Melihat wajah Aksa yang muram membuat Aska sedih. Dia bisa menebak bagaimana reaksi ayahnya saat ini.
"Kakek 'kan adalah keluarga satu-satunya Daddy. Kakek Winarya pun sudah terlebih dahulu tiada," terang Aska. Aksa mengangguk pelan.
"Bukannya lu ada proyek besar?" Aska bertanya kepada sang Abang. Hanya sebuah anggukan yang menjadi jawaban dari Aksa.
"Rugi besar dong," lanjutnya lagi.
Aksa menatap serius manik mata Askara. "Kerugian materi yang gua, Daddy, Kak Echa dan si Bandit derita gak sesuai dengan pengorbanan Kakek selama ini untuk kita." Aksa menjeda ucapannya. "Pengorbanan Kakek sangatlah besar untuk membahagiakan kita. Sampai sekarang Kakek tidak pernah menuntut balasan. Inilah waktunya untuk kita berada di samping Kakek dan menemaninya. Milyaran bahkan triliunan uang tidak akan pernah bisa mengganti banyaknya pengorbanan Kakek untuk kita."
Tanpa kakek Genta Wiguna, Aksara, Giondra, Echa tidak akan pernah menemukan kebahagiaan mereka. Campur tangan seorang Genta Wiguna lah yang membuat mereka menemukan pendamping yang mampu membahagiakan mereka. Akankah Aska bernasib sama seperti kedua kakaknya? Masih ada campur tangan sang kakek dalam jodohnya.
.
Anak dan cucu-cucu Genta Wiguna sudah seminggu ini berada di Melbourne. Mereka bergantian menjaga Genta Wiguna. Hanya Gio yang tidak ingin beranjak barang sedetik pun meninggalkan ayahnya.
"Pah, makan dulu." Echa sudah mengusap lembut pundak ayah sambungnya. Gio terus menatap tubuh lemah ayahnya.
"Apa Kakek akan bertahan?" Suara lirih Gio membuat Echa memeluknya dari belakang. Dia tahu papah sambungnya ini tengah dilanda kesedihan yang mendalam.
"Papah belum siap kehilangan Kakek. Papah belum bisa jadi seperti Kakek yang mampu menjaga dan melindungi kalian."
Aksa dan Aska yang sedari tadi berada di belakang kakaknya pun mendekat. Mereka berdua memeluk tubuh sang ayah.
"Daddy adalah ayah yang luar biasa." Aksa membuka suaranya.
"Daddy ayah yang hebat," tambah Aska.
Ketiga anak Giondra seakan tengah menguatkan hati ayah mereka. Mereka belum pernah melihat ayah mereka seperti ini. Ketika kakek Genta kritis karena diracun oleh Brandon pun, Gio masih terlihat biasa. Namun, sekarang sangat berbeda.
Hari ini hari ketujuh di mana mereka semua terus berada di rumah sakit. Belum ada perubahan sama sekali dari kakek Genta Wiguna. Masih terpejam dan belum bisa melalui masa kritisnya.
Dokter sudah masuk ke dalam ruang ICU. Gio dan Aska yang kini berada di dalam sana. Mereka berdua memperhatikan dokter yang menangani kakek Genta. Dokter terbaik sudah Gio datangkan dari berbagai negara.
"Bagaimana, dok?" Pertanyaan itu yang selalu keluar dari mulut Giondra.
Namun, kali ini dokter itu hanya terdiam. Wajahnya terlihat sendu.
"Dok, bagaimana kondisi kakek saya?" Kini, Aska yang membuka suara.
"Harapan untuk sadar sudah semakin tipis."
Bagai disambar petir di siang bolong mendengar ucapan dokter. Tubuh Gio seakan tidak menapak di bumi. Sama halnya dengan Aska.
"Tiga puluh persen untuk bisa kembali sadar."
Aksa meraih tubuh sang ayah yang sudah terlihat oleng. Dia membawa tubuh ayahnya untuk duduk di kursi. Mengusap lembut pundak sang ayah seraya berucap, "Kakek pasti sadar."
"Kita hanya tinggal menunggu keajaiban saja. Usaha sudah kita lakukan semaksimal mungkin," ucap dokter itu. "Kalau begitu, saya permisi."
Aska terus mendampingi ayahnya. Dia tahu bagaimana terpukulnya ayahnya ketika mengetahui orang yang amat dia sayangi seperti ini. Apalagi, dokter sudah mengatakan vonis terburuk.
Setelah mendapat kabar dari Aska, semua keluarga Giondra datang ke rumah sakit, termasuk si triplets. Aksa terpaksa membawa Gavin padahal putranya itu tengah demam.
"Empin sama Mommy dulu, ya. Daddy mau ke dalam sebentar." Gavin menolak. Ketika dia sakit dia akan bermanja dengan sang ayah.
"Daddy gak lama kok. Empin sama Mommy dulu, ya." Riana tengah membujuk sang putra. Akhirnya Gavin mau juga.
"Abang masuk dulu, ya." Aksa mengecup kening istri juga putranya bergantian.
Ketika Aksa hendak masuk, Aleesa keluar dari ruangan tersebut.
"Kakak Sa, bagaimana ...."
"Kakak Sa gak bisa lihat yang menyangkut keluarga Kakak Sa sendiri."
Aksa mengangguk mengerti dan dia segera masuk ke ruang ICU. Suasana haru sudah tercipta. Apalagi sang ayah sudah tak mau melepaskan genggaman tangannya kepada kakek Genta.
"Tetap temani Gi, Ayah."
Aksa sangat melihat kerapuhan dari sang ayah. Pria gagah, garang pada musuh kini berubah menjadi pria yang lemah. Seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggal pergi oleh sang ayah.
"Gi, belum bisa membahagiakan Ayah."
Echa sudah berada di dalam pelukan suaminya. Aska dan sang ibu tengah memeluk tubuh Gio dan kini Aksa yang mendekat. Dia bersimpuh di hadapan sang ayah dengan menggenggam tangan ayahnya.
"Bagaiman kami akan kuat kalau Daddy lemah?" Ucapan Aksara membuat Gio menoleh kepada putra pertamanya.
Sekarang, Aska juga bersimpuh di samping kiri sang ayah. Dia pun menggenggam tangan Giondra. "Kita harus kuat, Dad. Kita harus terus mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Kakek," imbuhnya.
Echa mengurai pelukannya dari sang suami. Ikut bersimpuh di samping kanan ayah sambungnya.
"Terkadang vonis dokter tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan," ujar Echa yang kini memegang lengan sang papah. "Papah masih ingat 'kan ketika Echa koma." Gio pun terdiam. "Dokter mengatakan bahwa Echa tidak akan selamat. Namun, sampai sekarang Echa masih hidup dan masih bersama Papah dan juga yang lainnya."
Air mata Gio menetes begitu saja. Dia memeluk tubuh ketiga anaknya dengan sangat erat. "Makasih, Nak."
Tanpa mereka sadari, ujung mata kakek Genta Wiguna mengeluarkan bulir bening. Sepertinya dia merasakan keharuan yang tengah terjadi antara anak dan ketiga cucunya.
Ponsel Aska terus bergetar dan membuat Aska risih bukan main. Dia mundur beberapa langkah dan membuka pesan dari sekretarisnya. Dahi Aska mengkerut ketika melihat sebuah foto yang dikirimkan.
"Jingga," gumamnya sangat pelan.
"Nyonya ini bersikukuh ingin bertemu dengan Bapak." Itulah isi pesan yang sekretaris itu kirimkan.
Helaan napas berat keluar dari mulut Aska. Dia sangat merindukan sosok wanita yang menunggunya itu. Wanita yang sudah banyak berubah. Namun, dia juga tengah berada di dalam kubangan duka keluarga. Siapa yang harus dia pilih? Menemui Jingga Andhira atau tetap bersama keluarga besarnya menemani kakek Genta Wiguna.
...****************...
Komen dong ..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 309 Episodes
Comments
Yus Nita
klu emang rindu dan pen kete. u srh aja ker. h skt. itung2 jd emguat rada gundah dan tskut
2024-10-22
0
RATNA RACHMAN
mantap ..lanjut author
2022-07-02
0
Wiendhiet
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
2022-02-19
0