Matahari hampir tenggelam saat mobil yang Darren kendarai memasuki halaman rumah. Darren dan Chelsea keluar bersamaan.
Chelsea memandang takjub rumah mewah dihadapannya. Dari matanya, ada senyum yang tersimpan. Tak lama mereka turun, sebuah mobil mewah lainnya masuk.
Darren memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana bahannya. Sementara sebelah tangannya, memegang snelli kebanggaannya.
Terlihat wanita muda yang cantik, keluar dari sana. Wanita itu tersenyum pada Darren. Ia berjalan mendekati Darren dan chelsea.
"Wah, kakak sudah punya pacar ya?" goda Aluna.
Terlihat semburat merah di wajah Chelsea. Ia menunduk malu mendengar ucapan gadis itu. Maunya sih, gitu, kekeh Chelsea dalam hati.
"Sembarangan." Darren mencubit hidung Aluna gemas.
"Soalnya, ini kali pertama kakak bawa wanita ke sini." Aluna terkekeh.
"Ayo, kak, kita masuk!" Aluna menggandeng lengan Chelsea.
Chelsea merasa di atas angin. Mendapat perlakuan lembut dari keluarga Darren, membuatnya yakin, jika rencananya akan berhasil seratus persen.
Kalau begini sih, aku pasti gampang dapetin Darren, batinnya.
Mereka menuju ruang keluarga. Di sana, sudah ada Citra dan Al. Darren dan Aluna mendekati orang tua mereka dan mencium punggung tangan mereka. Begitupun dengan Chelsea.
Citra memperhatikan Chelsea dengan seksama. Ada firasat buruk yang mengatakan, jika gadis dihadapannya ini bukanlah gadis 'baik-baik'.
Namun, Citra menepis perasaan buruk itu jauh-jauh. Ia akan melihatnya lebih dulu. Jika memang gadis itu tidak baik, ia sendiri yang akan membuat gadis itu menjauh.
"Halo, kamu temannya Darren, ya?" Citra menyapanya lebih dulu.
"Ma, pa, Darren naik sebentar," pamit Darren seraya mengedipkan sebelah matanya.
Citra tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Darren pun berpamitan pada Chelsea. Aluna pun mengikuti langkah kakaknya meninggalkan ruang keluarga.
"Duduk!" Citra tersenyum dan menunjuk pada sofa dihadapan mereka.
Chelsea merasa sedikit canggung. Tak lama, seorang ART datang membawa minuman. Chelsea mengucapkan terima kasih.
*****
Chelsea tetap tinggal di sana sampai makan malam. Sikap ramah kedua orang tua Darren serta adiknya, membuat Chelsea nyaman. Belum lagi rumah mewah dengan perabotan mahal yang ada di dalamnya. Semakin memanjakan mata Chelsea.
Bahkan taman di depan kediaman itu pun terlihat indah dengan tatanan bunga yang cantik. Sepertinya, Citra—ibu Darren— menyukai keindahan.
Wah, aku jadi semangat mengejar Darren kalau begini.
"Chelsea, ayo!" Chelsea menoleh dan mendekati Darren.
Ia bergelayut manja di lengan Darren. Sebagai pria, Darren jelas merasa risih. Beberapa kali ia menyingkirkan tangan Chelsea dari lengannya. Sepertinya, Chelsea tak mempedulikan penolakannya.
Usai mengantarkan Chelsea ke rumahnya, Darren memilih pulang. Ia merasa sangat lelah. Namun, tak seperti bayangannya di jalan tadi, Al justru memanggilnya ke ruang kerja.
"Darren, papa baru saja membeli sebuah perusahaan yang hampir bangkrut. Papa ingin kau mempelajari ini." Al menyodorkan berkas yang harus Darren pelajari.
Darren mengulurkan tangannya dan membaca berkas-berkas yang Al sodorkan. Ia mengerutkan keningnya membaca barisan angka dan huruf yang berjajar di sana. Telunjuknya menggaruk keningnya yang tak gatal.
"Papa gak salah, kasih berkas ini padaku?" Al menggeleng.
"Kamu pasti bisa." Al bersedekap dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya.
"Seharusnya papa berikan ini pada Luna. Aku ini bukan alumnus ekonomi atau bisnis. Jadi, aku gak paham. Istilah di sini pun aku tidak mengerti." Darren merasa semakin lelah.
"Kamu pasti bisa. Papa akan kasih kamu waktu dua minggu untuk memecahkan kesalahan dalam laporan keuangan ini." Darren berdiri dan akan meninggalkan ruang kerja ayahnya itu.
"Tanpa bantuan Luna!" Darren berhenti melangkah selama beberapa detik.
Setelah itu, ia melangkahkan kakinya keluar tanpa menoleh lagi. Citra melihat dan mendengar semua ucapan suaminya pada putranya itu.
"Sabar ya, Nak." Citra mengusap lembut punggung Darren.
Darren menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian menganggukkan kepala dan melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
"Apa itu?" Luna baru saja keluar saat Darren tiba di lantai atas.
"Ah, bukan apa-apa." Darren menyembunyikan berkas itu dan masuk ke kamarnya.
Luna menatap punggung kakaknya hingga menghilang. Luna pun kembali ke kamarnya. Awalnya, ia ingin turun mengambil air hangat. Namun, ia urungkan.
*****
Pagi yang cerah kini mewarnai hidup Leo. Meski kini statusnya hanya sebagai kepala divisi import, ia merasa bangga. Tak masalah dengan status itu.
Istrinya pun, kini mulai mengurangi gaya hidup sosialitanya. Ia tak ingin semakin memberatkan suaminya. Begitupun Inggrid menasihati twins. Twins pun mengerti dan menuruti ucapan kedua orang tuanya.
Al sendiri merasa puas dengan kinerja Leo. Melihat Leo mampu melakukan pekerjaannya selama satu minggu, membuat Al yakin ada yang tidak beres dengan perusahaan.
"Gimana, Sur?" Al mendekati teman sekaligus asistennya yang tengah menyelidiki kasus ini.
"Ya, bagian keuangan langsung mengundurkan diri, saat mengetahui pergantian jabatan dari Leo padamu." Al menganggukkan kepalanya.
"Sudah ku duga. Kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?"
Suryo menganggukkan kepala mengerti. "Tenang saja. Semua sedang diproses." Al tersenyum puas.
Siang hari, Al sengaja memanggil Leo dan ingin membicarakan masalah perusahaan. Tidak Al sangka, jika Leo cukup kompeten dalam hal ini. Al semakin tidak mengerti, apa yang salah di sini.
"Saya suka dengan ide pak Leo. Secepatnya, akan saya realisasikan." Al menjabat tangan Leo.
******
Sementara itu, di puncak tertinggi gedung Big group, Frans memasuki ruangan CEO. Ia akan melaporkan hasil pemantauannya selama kurang lebih sebulan ini.
"Bagaimana, Frans?" Dimitri masih menatap berkas di atas mejanya. Membalik halaman demi halaman dengan malas.
Frans menundukkan kepalanya. "Naratama corp., telah diambil oleh Brahmana group, tuan."
Dimitri mengangkat pandanganya. Matanya menatap tajam pada Frans. Yang ditatap hanya bisa gemetar ketakutan. Ia merasa tungkainya lemas. Bahkan, dengan tatapan yang diarahkan Dimitri padanya, serasa ada pedang yang siap menebasnya.
Dimitri terlihat menarik napas dalam. Tak ada yang bisa membaca kedalaman hatinya saat ini. Frans merasa jiwanya kembali ditarik dari jurang kematian.
"Baiklah. Awasi saja terus. Aku hanya menginginkan Aura. Kau tahukan, bagaimana caranya?"
"Saya mengerti, tuan." Dimitri mengibaskan tangannya, menyuruh Frans keluar.
Twins Bening baru saja menyelesaikan kelas mereka. Rasa lelah setelah mengikuti ujian semester, membuat keduanya ingin pulang dan beristirahat.
"Aku lelah kak." Aira menempelkan kepalanya pada Aura.
"Sama." Aura merangkul bahu adiknya.
Suara klakson mobil mengejutkan keduanya. Senyum terbit di wajah mereka saat melihat ibunya di sana. Keduanya berlari mendekati mobil itu.
"Mami," pekik keduanya.
"Hai, twins! Mami mau ajak kalian makan di restoran biasa." Inggrid tersenyum pada kedua putrinya.
"Mau, mi." Keduanya segera masuk ke mobil.
"Kalau begini, rasa lelahku hilang kak." Aira menoleh ke belakang melihat kakaknya.
"Iya, aku juga. Makasih ya, mi." Aura memeluk ibunya dari belakang.
"Sama-sama, Sayang." Inggrid mengusap lengan putrinya.
*****
Sampai sini dulu ya genks.... sampai jumpa besok🤗🤗🤗😘😘😘💖💖💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments