"Siapa yang tahu ya Neng. Umur seseorang itu tidak diukur dari sakit atau sehat. Buktinya Bibi meninggal begitu saja padahal Bibi sehat masih muda belum menikah." Tutur Supirnya mengajak Sani bicara.
"Udah takdir Mang." Ucap Sani singkat yang masih memalingkan wajahnya ke arah jendela.
"Bibi sudah mengurus Non sejak dari kecil, Mamang pasti sedih bakalan terus ingat Bibi." Ucap Supirnya yang terus memperhatikan Sani.
Sani masih diam dengan murung dan tidak menjawab perkataan Supirnya.
"Neng benar mau ikut ke pemakaman?" Tanya Supirnya mengalihkan pembicaraan.
"Berhenti di depan Mang!" Ucap Sani tiba-tiba.
Supirnya langsung memarkirkan mobil ke samping jalan mengikuti permintaan Sani.
"Mau pergi kemana Non?" Tanya Supirnya tercengang karena sikap Sani.
Sani hanya turun dari mobil tanpa menjawab, kemudian menutup pintu mobil. Sani langsung berjalan di samping dan terlihat menunggu seseorang menjemputnya.
Di mata Supir Ayahnya Sani tidak cukup simpati, sikapnya yang persis sama begitu m dengan Ayahnya. Padahal Sani tahu Bibi itu sudah sangat lama tinggal dengannya satu rumah, tapi dia tidak peduli untuk mengantarkan Bibi sampai ke tempat terakhir, Sani memilih pergi daripada harus terus melanjutkan jalan.
Tanpa supir itu ketahui berbeda dengan kenyataan yang dirasakan Sani. Sani juga bersedih dia harus kehilangan orang terdekat satu persatu, tapi rasanya dia tidak ingin lagi menerima kebenaran jika satu persatu orang pergi dari sisinya, dia tidak sanggup karena hidupnya yang selalu sendirian ditambah sikap Ayah yang selalu main perempuan.
Mobil sport warna merah langsung terparkir di depan mata Sani. Sekali melihatnya dia langsung bisa menebak siapa yang datang saat itu. Ira adalah sahabatnya.
"Wah tuan putri nunggu di pinggir jalan nih!" Ledek Ira sambil tertawa. Sani langsung manyun saja mendengar ledekan Itu.
"Ah pasti banyak masalah lagi ya, Kan?" Tanya Ira langsung menebak ketika dia kembali menyetir lagi.
"Kamu tau sendiri lah hidup seorang Sani selalu banyak masalah!" Ucap Sani malas. Dia mengangkat kakinya ke atas jok mencari posisi nyaman untuk tidur.
"Ih Sani, di depan banyak polisi. Pakailah sabuk pengamannya!" Protes Ira karena tak terima dengan tingkah Sani.
Sani tidak mendengarkan dan tidak mengindahkan permintaan sahabatnya itu.
Perjalanan cukup lama, sangat bosan karena tidak ada yang ingin dia ceritakan lagi kepada orang lain. Sani bisa langsung ketiduran cukup lama.
Hingga matanya langsung terbangun sekaligus. Sani tercengang saat melihat di dalam mobil gelap dan tidak terdengar suara mesin mobil. Saat melihat ke arah samping Sani melihat Ira yang sudah tidak memegang kemudi nampak kepalanya menyandar ke kemudi. Sekilas Sani menebak jika sahabatnya itu sedang bercanda. Perlahan tangan Sani menggoyangkan tubuh Ira, reaksi yang didapat Sani langsung membuatnya tercengang tidak percaya. Semua tubuh Ira bergerak karena kaku. Sani memperhatikan lebih detail lagi, dia melihat jika banyak darah yang menetes dari kepala Ira dan saat matanya bergerak ke bagian tubuh darah sudah banyak tertampung di pakaian Ira. Sani tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Ira meninggal? Pikirnya yang sangat terkejut. Sani langsung memastikan ke semua sudut di dalam mobil yang benar-benar gelap dan hanya sedikit cahaya yang berasal dari terang bulan saja. Sani kembali terkejut melihat jika di depannya adalah sebuah pohon besar yang ditabrak oleh mobil Ira. Jadi dia menyimpulkan sebuah kecelakaan yang sudah terjadi menimpanya. Sani panik, tangannya gemetar bahkan tak kuasa mencari Hp yang seharusnya ada di bawah atau dimana pun. Sani terus menunduk ke bagian bawah mencari Hp yang mungkin tergeletak tidak begitu jauh. Saat akan mengangkat tubuhnya lagi tiba-tiba Sani merasa sesuatu sudah menghalangi, seperti tubuh seseorang. Tapi tidak mungkin jika itu Ira, karena Ira masih diam di tempat semula. Lantas siapa?
Sani hanya terdiam, dia berharap jika semuanya adalah mimpi lagi. Saat menutup mata dan membukanya lagi Sani masih melihat pemandangan yang sama. Dia melihat ada kain dan rambut panjang hitam sampai menyentuh kakinya. Bulu kuduknya langsung tak tahan berdiri. Dia gemetar dan merasakan hawa panas karena rasa takut yang muncul dipikirannya.
"TOLONG!!" Teriak Sani sekencangnya.
"Sani! SANI!" Teriakan dan sebuah tepukan yang langsung kembali menarik kesadaran Sani saat itu.
Sani langsung membuka matanya dan nampak linglung. Di depan matanya jelas ada Ira. Dia masih diam saking kagetnya.
"Mimpi apa sih San?" Tanya Ira yang langsung terdengar lagi menembus Indra pendengarannya.
Perlahan Sani menarik napas dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Sudah jelas jika dia baru saja terbangun dari mimpi buruk.
"Kita berhenti di depan cepat Ra!" Pinta Sani tiba-tiba dan setengah memaksa.
Ira bingung tapi dia langsung menuruti perkataan Sani.
"Masih jauh San, kok mau berhenti di tengah jalan?" Tanya Ira jengkel saat keluar mobil.
Kebetulan sekali mobilnya berhenti di depan sebuah restoran.
"Aku mau makan Ra." Jelas Sani terlihat berbohong.
"Bener nih mau makan?" Tanya Ira memastikan.
"Cepat lah kita makan!" Ajak Sani segera menarik lengan temannya itu memasuki restoran.
Setelah beberapa menit berlalu, Sani masih terdiam tidak mengatakan apapun. Di depannya Ira yang masih sibuk melihat menu makan yang akan dipilihnya. Sesekali Ira memperhatikan jika Sani terus saja melihat ke arahnya.
"Giliran mu!" Ucap Ira sambil menyerahkan buku menu.
"Oh ia Ra." Ucap Sani masih terlihat gugup.
Ira tahu ada sesuatu sebabnya yang membuat Sani ingin menghentikan perjalanan dan dia mencari alasan karena lapar.
"Cerita deh San, ada masalah kan?" Cetus Ira tak tahan melihat sahabatnya terus bertingkah tidak sesuai.
"Apa Ra?" Tanya Sani bingung.
Ira tidak menjawab, dia masih memandangi Sani. Sikap Ira langsung membuat Sani menundukkan wajah seperti berusaha menyembunyikan sesuatu agar tidak diketahui Ira.
"Ra kamu tadi pilih makan apa?" Tanya Sani yang masih menyembunyikan matanya. Sani terus menghindari tatapan langsung dengan Ira dan dia mencoba mengalihkan perhatian Ira.
"Seperti biasanya." Jawab Ira singkat.
Sani tidak bertanya lagi dan membiarkan suasananya menjadi dingin. Dia tahu apa kesalahannya yang membuat Ira bisa marah. Tapi tidak mungkin juga jika ia menceritakan mimpi buruk menakutkan seperti itu, untuk mengingat kembali rasanya tidak sanggup.
Sani terus membolak-balik buku menu, dia tidak begitu ingin makan tapi tidak mungkin juga jika membiarkan Ira sendirian yang makan. Apalagi saat Sani terus memastikan dia sudah melihat temannya itu yang mulai kesal.
Ira masih tidak bicara, begitupun Sani yang membiarkan Ira terus diam. Dia tidak ingin menyinggung temannya. Sani memilih mengedarkan penglihatannya ke arah lain, sesekali dia mengamati setiap orang di restoran itu. Melihat seorang pelayan dan saat matanya kembali bergerak ke arah salah satu pintu uang dia tebak mungkin di dalam itu adalah ruangan masaknya tempat semua koki. Sani sedikit tertarik dengan sesuatu yang hitam dan menjuntai ke lantai. Dia tersentak kaget. Pikirnya itu adalah rambut. Dan rambut yang sampai menyentuh lantai? Serasa jantungnya langsung berhenti berdetak. Sani segera memalingkan wajahnya ke arah lain, meski pikirannya yang tidak bisa tenang karena masih memikirkan penglihatannya itu. Sangat kebetulan dengan mimpinya, dia melihat rambut itu juga.
"San kenapa sih?" Tanya Ira membuyarkan pikiran Sani.
Sani langsung menangkap ekspresi kesal dari wajah Ira. "Tidak ada Ra." Ucap Sani yang masih tidak bisa membohongi Ira.
"Dari tadi tuh diam saja, bengong terus. Ada masalah apa sih San? Biasanya kan kamu itu suka cerita." Ira terus mendesak Sani karena dia tidak tahan sikap Sani yang terus terlihat membohonginya.
"Beneran Ra gak ada apa-apa."
"Silahkan dinikmati sajiannya." Ucap seorang pelayan mengantarkan makanan ke meja mereka berdua. Dan berhasil menghentikan perdebatan antara Sani dan Ira.
Sani masih saja diam kembali tanpa menyentuh sedikitpun makanan di depan matanya. Ira terus memperhatikan Sani yang seperti sedang memikirkan sesuatu dan berhasil membuatnya sibuk sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments