Ibu Mirna sudah meninggal dikabarkan bunuh diri di dalam kamar. Kabar itu langsung meluas sampai ke telinga semua orang, tidak butuh Hp atau TV untuk menyiarkan beritanya. Dari satu mulut ke mulut saja bisa langsung mengumpulkan banyak orang untuk datang ke tempat kejadian.
Orang-orang mungkin berpikiran sama, akan merasa bersedih karena Sani yang masih kelas 1 SD harus ditinggalkan secepat itu, dia masih kecil sendirian tanpa seorang Ayah satu-satunya keluarga yang dia punya, karena sudah beberapa bulan terakhir Ayahnya tidak terlihat mengunjungi Sani.
Semua orang menangis saat melihat Sani yang tampak polos dipangku oleh Ibu RT. Sani tidak menangis, sorot matanya terlihat bingung bertanya-tanya karena setiap melihat orang pasti sedang menangis di hadapannya.
"Sani lapar?" Tanya Bu RT.
Sani mengangguk.
Bu RT langsung mengambil makanan dari dalam tasnya. Sebuah roti yang lalu dengan tangis yang langsung pecah saat melihat Sani mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil roti. Sani terlihat senang dan tidak ragu dia langsung melahapnya.
Pemandangan yang membuat setiap orang saat melihatnya langsung menangis. Sani hanya anak yang masih polos tidak banyak mengerti. Dia hanya tahu apa yang dirasakan oleh dirinya sendiri saja seperti lapar atau haus. Dan Sani tidak tahu hal terbesar yang sedang dialaminya pada usia 7 tahun, yaitu kehilangan sosok Ibu untuk selamanya.
"Ibu kok pake baju putih Bu? Itu Ibu Sani." Ucap Sani menunjuk jenazah Ibunya yang akan disolatkan dengan ekspresi kaget. Sani berusaha turun dari pangkuan Bu RT saat itu, hingga akhirnya dia menangis karena tidak diperbolehkan untuk menghampiri Ibunya. Tangisan Sani memecah perasaan setiap orang yang melihatnya, rasanya nasib sudah salah membuat dia kehilangan dan menangis karena sesuatu yang tidak dia pahami benar.
Sampai perpisahan itu mulai bisa dia pahami saat sudah semakin besar, dan penderitaan yang sebenarnya adalah rasa rindunya karena sudah lupa bagaimana rupa Ibu dan kehangatannya yang dia rasakan sejak kecil dulu.
####
"Sani... Sani!!" Teriakkan dari arah lantai bawah membuat Sani terperanjat dari ingatan yang selalu menjadi tamu tak diundang. Sani terburu-buru berdiri dan mengusap air matanya yang sudah membanjir, karena menangis saat bercermin di depan kaca matanya sudah merah.
"Sani cepat turun!"
"Ia Ayah ada apa?" Teriak Sani cepat menjawab sambil berusaha menutupi kesedihannya tadi dengan menaburkan bedak tipis di wajahnya.
"Itu ambulan di bawah sudah datang, kamu urus yah sama supir Ayah!" Terdengar lagi perintah Ayahnya.
Sani tidak menjawab, dia hanya segera mempersiapkan diri dan turun ke bawah.
Saat ini dia harus kehilangan lagi Bibi asisten di rumahnya secara tiba-tiba. Memang tidak ada yang tahu kapan musibah itu datang menghampiri. Rasanya Sani masih mengobrol tadi dengan Bibi belum lama, tapi sekarang Bibi sudah dibawa ambulan karena sudah tiada.
Sani dengan tenang menuruni anak tangga dan satu tangan yang memegang pegangan tangga. Baru beberapa langkah saja dia terkejut karena sesuatu seperti menghalangi langkahnya, seperti kaki yang hampir diinjak. Sani langsung menghindar tapi alhasil dia terjatuh ke depan karena tidak bisa menahan tubuhnya dengan seimbang. Bukan main Sani terjatuh dari tangga tertinggi dan harus meringis karena posisi terjatuhnya itu.
"Sani tidak apa-apa?" Teriak Ayahnya panik mendengar Sani terjatuh dari arah tangga.
Sani masih bisa mendengar suara Ayahnya, dia juga bisa merasakan tubuhnya yang kesakitan.
"Kenapa tidak hati-hati sih?" Ayahnya masih panik dan segera membantu Sani untuk berdiri.
"Tadi ada sesuatu seperti_" Perkataan Sani terhenti, tidak mungkin kan jika ada kaki seseorang karena dari arah tangga hanya ada di seorang. Sani langsung terdiam tidak meneruskan perkataannya.
"Seperti apa kamu bilang? Beruntung kami tidak terus jatuh sampai ke bawah." Ayahnya tidak bertanya lagi.
Sani masih diam dan sesekali meringis menahan tubuhnya yang terasa seperti remuk karena terbentuk dengan anak tangga. Sebenarnya dia bingung dengan penglihatannya tadi, matanya sangat jelas jika tadi ada kaki yang menghalangi anak tangga. Tapi kaki siapa? Mungkin halusinasi lagi. Sani langsung bereaksi kesal karena dia merasa ada sesuatu yang sangat aneh.
Dia menepis tangan Ayahnya tanpa mengatakan apapun dan hanya sekilas memandangi Ayahnya dengan jengkel, tanpa berkata apapun Sani langsung pergi.
"Anak itu selalu saja seperti itu." Protes Ayahnya yang masih bisa didengar Sani dengan jelas. Tapi dia sudah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Ayahnya.
"Mas, ngapain di atas terus turun dong!" Terdengar seorang wanita dari bawah meneriaki Ayahnya. Sani hanya terus memandangi wanita yang ada di hadapannya itu dengan perasaan kesal juga, sama kesalnya seperti dia masih marah setelah sekian lama kepada Ayahnya. Sani tidak peduli jika dia sekarang akan dibicarakan oleh wanita simpanan Ayah karena sikapnya.
Saat berpapasan dengan Wanita itupun Sani tidak mengatakan satu katapun.
"Jatuh ya?" Tanya wanita itu kepada Sani
Sani tidak menjawab dan dengan judes meninggalkan Ayah dan wanitanya.
"Non Sani, itu dari tadi sudah di depan menunggu Ambulan nya ayo cepat!" Ucap supir Ayahnya itu.
Sani langsung mengangguk.
Dia berjalan ke arah gerbang rumahnya yang letaknya lumayan jauh.
"Kenapa tidak dibuka saja dari tadi Mang?" Tanya Sani sedikit kesal karena dia harus berjalan jauh-jauh untuk membukakan gerbang.
"Mamang kan nunggu perintah Tuan, katanya nanti tunggu Non Sani." Jawab Supir Ayahnya itu menjelaskan.
Sani hanya berdecak kesal, dengan malas yang berusaha menyeret kakinya untuk berjalan.
"Dibawa ke sana ya!" Pinta Sani ke supir Ambulan.
Mobil pun melaju, tapi harus terhenti lagi saat Ayahnya lagi-lagi menghentikan mobil dengan tiba-tiba.
Sani memandanginya dengan kesal dari kejauhan.
Supirnya langsung berlari ke arah Ayahnya dan tak lama dia kembali.
"Aduh kayanya kita langsung bawa ke mesjid saja, minta tolong ke pak RT dan mengurus jenazah langsung agar segera dimakamkan.!" Jelas Mamang Supir.
"Kok bisa? Kenapa gak kita urus di rumah, sudah tanggung padahal!" Ucap Sani protes.
"Tuan menyuruh kita putar balik lagi dan langsung ke mesjid saja." Jawabnya dengan hati-hati.
Sani tidak bertanya lagi, dia sangat kesal mengapa Ayahnya tidak ingin jika sebentar saja jenazah Bibi disemayamkan di rumah, padahal Bibi sudah sangat berjasa dan lama tinggal di rumah.
Sani menunggu di luar pintu gerbang karena supir kembali berjalan ke grasi untuk membawa mobil.
Sani tahu mungkin Ayah tidak ingin diganggu lagi. Pikir Sani karena benar juga jika Ayahnya itu hanya ingin berdua saja di rumah dengan wanita itu.
"Ke mesjid mana Mang?" Tanya Sani di dalam mobil.
"Yang terdekat saja Neng." Jawab supirnya singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Kaisar Tampan
singgah juga ke novelku ia simpanan brondong tampan
2022-07-06
1